PIRAMIDA.ID- Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia menyelenggarakan kegiatan “Leaders Talk” melalui webinar dengan tema ‘Mewujudkan Keadilan Substansial Melalui Mega Korupsi dan Penerapan Restorative Justice di Indonesia’, pada Sabtu, 18 Maret 2022.
Kegiatan tersebut turut hadir Jaksa Agung Republik Indonesia, yaitu Burhanuddin sebagai narasumber dengan moderator webinar Jefri Gultom (Ketua Umum PP GMKI) dan Sahat Sinurat (Sekretaris Umum DPP GAMKI).
Jaksa Agung menyampaikan dalam mengusut tuntas kasus mega korupsi diperlukan langkah strategis, dan perlu dilakukan pencegahan agar kasus tindak pidana korupsi dapat diatasi.
“Di sisi lain peran sentral kejaksaan tidak tergantikan dalam menuntaskan kasus korupsi, sebagai contoh kejaksaan melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap kasus Jiwasraya dan Asabri,” ujar Burhanuddin.
Jaksa Agung mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan juga untuk membela rakyat-rakyat kecil dan juga para pensiunan yang menaruh harapan terhadap BUMN tersebut untuk menyimpan dana mereka. Salah satu cara yang dilakukan membela hak rakyat tersebut adalah dengan menuntut hukuman mati terdakwa kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri.
“Pemberantasan tindak pidana korupsi juga dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan aset negara, Kejaksaan juga melakukan terobosan dengan menerapkan prinsip hukum, yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan dengan melakukan Restorative Justice,” ucap Jaksa Agung.
Restorative justice dilakukan agar hukum tidak hanya dipandang sebagai sarana satu-satunya untuk sanksi pidana.
“Bahwa restorative justice ini dilakukan dengan cara mendamaikan korban dan pelaku dengan pemulihan nama baik serta memperkuat kekeluargaan diantara mereka. Penerapan restorative justice dilakukan untuk menawarkan hukum yang baik dengan mencapai keadilan yang substantif,” ujarnya.
Melalui Jefri Edi Irawan Gultom selaku Ketua Umum GMKI dan Sahat Martin Philip Sinurat selaku Sekretaris Umum GAMKI, GMKI dan GAMKI menilai setidaknya terdapat beberapa catatan terobosan, sebagai berikut:
Pertama, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang paling mendapatkan perhatian masyarakat adalah tuntutan seumur hidup dan hukuman mati yang diterapkan dalam skandal mega korupsi Jiwasraya dan Asabri.
Berdasarkan penelusuran GMKI dan GAMKI, sepanjang sejarah Indonesia, baru pada kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanudin saat ini kejaksaan berani mengajukan tuntutan mati terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi.
“GMKI dan GAMKI berpendapat dalam perkara ini, keberanian kejaksaan patut diapresiasi. Hal itu menandakan kejaksaan telah menerapkan hukum tidak hanya tajam ke bawah, namun juga tetap tajam ke atas. Selain itu, upaya penyelamatan dan recovery kerugian negara yang dilakukan oleh kejaksaan juga sangat signifikan. Tercatat sepanjang tahun 2021, Kejaksaan RI menangani 1.852 kasus korupsi dan menyelamatkan Rp21,2 Triliun dan mengeksekusi pidana badan sebanyak 935 terpidana,” papar Jefri Gultom yang juga merupakan mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia.
Sekalipun keberanian kejaksaan itu patut diapresiasi, namun GMKI dan GAMKI menekankan agar kejaksaan dapat melihat setiap perkara secara proporsional. Kejaksaan memiliki beban untuk dapat membuktikan bahwa tindak pidana itu memang benar terjadi, dan si pelaku memang memiliki niat untuk melakukannya.
Kejaksaan yang juga memiliki fungsi penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi sekiranya tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan setiap langkah penyidikannya. Selain upaya pemberantasan korupsi melalui tindakan pro justisia, kejaksaan juga diharapkan dapat menjadi salah satu lembaga yang memiliki peran sentral dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
Kedua, penerapan restorative justice, yang juga turut meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Sejatinya, keadilan restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.
Sederhananya, keadilan restoratif menitikberatkan pada pemulihan korban, dan penebusan kesalahan pelaku tindak pidana dengan upaya perdamaian tanpa harus membawa perkara tersebut ke pengadilan. Harapannya permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya tindak pidana dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara pelaku maupun korban.
Keadilan restoratif adalah pendekatan yang menggunakan kacamata hati nurani yang lebih menitikberatkan pada aspek keadilan dan kekeluargaan tanpa harus melewati proses peradilan di pengadilan pidana yang cenderung lama dan kontra produktif.
“Survey Kompas mencatat bahwa pendekatan keadilan restoratif lebih diterima oleh publik karena dinilai humanis dan cenderung menyelesaikan permasalahan dengan menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat,” pungkas Jefri.
Suksesnya penyelesaian tindak pidana ringan dengan pendekatan keadilan restoratif memiliki peran yang signifikan terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat pada kejaksaan.
Hukum dinilai memiliki fungsi yang lebih penting untuk merehabilitasi dan mengembalikan korban pada keadaan semula melalui jalur perdamaian yang dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Namun demikian, penerapan pendekatan keadilan restoratif tetap perlu pengawasan yang ketat. Hal ini diperlukan, agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum yang hendak dicapai.
Agar penerapan keadilan restoratif kiranya tetap dapat didudukkan pada semangat awalnya, pengawasan terhadap penerapan kebijakan ini menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Salah satu lembaga yang bertugas untuk mengawasi kinerja Kejaksaan adalah Komisi Kejaksaan.
Sebagai lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri dan tetap bertanggung jawab kepada Presiden, Komisi Kejaksaan memiliki peranan yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan dan penilaian terhadap penerapan pendekatan keadilan restoratif agar tetap pada tujuan awalnya yang mulia.
Demikian juga halnya dengan fungsi Komisi Kejaksaan untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jaksa yang menangani permasalahan tindak pidana korupsi.
Untuk mencegah adanya praktik yang bertentangan dengan hukum dalam menindaklanjuti perkara pidana, Komisi Kejaksaan memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja jaksa. Misi penting yang diemban oleh Komisi Kejaksaan dalam pengawasan kinerja kejaksaan kiranya perlu tetap dilakukan agar prestasi baik yang telah diukir oleh Kejaksaan RI dalam pemberantasan korupsi dan penerapan restorative justice yang saat ini gencar dilakukan tetap sesuai dengan nilai- nilai keadilan yang humanis.
Untuk tetap memaksimalkan dua prestasi baik sebagaimana disebutkan di atas, kejaksaan memerlukan kehadiran Komisi Kejaksaan untuk memastikan bahwa penegakan hukum mengenai tindak pidana korupsi dan pendekatan keadilan restoratif tidak menjadi bias dan transaksional, melainkan murni untuk penegakan hukum semata.
Dalam webinar tersebut juga turut hadir senior GMKI Maruarar Sirait, beliau mengatakan, dari data survey, popularistas ST Burhanuddin sangat rendah sekali tetapi masyarakat sangat puas dengan kinerja Jaksa Agung saat ini.
“Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah orang yang sangat bekerja bagus, bekerja keras dan low profile, bapak Burhanuddin tidak ingin tampil di media dengan cara-cara tidak baik untuk bisa terkenal,” sebut Maruarar.
Setelah sesi tanya jawab, Burhanuddin didaulat sebagai Jaksa Agung RI yang paling berani dan tegas melalui piagam penghargaan yang diberikan oleh Jefri Gultom.
Di akhir webinar Jefri Gultom selaku moderator webinar menyimpulkan ada 5 hal yang menjadi catatan penting:
1. GMKI dan GAMKI berharap agar Kejaksaan tetap mempertahankan ritme yang sudah berjalan saat ini, terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. GMKI dan GAMKI meminta agar dalam penanganan tindak pidana korupsi kejaksaan dapat memprioritaskan pemulihan kerugian negara, dan tidak semata-mata menekankan pada tuntutan hukuman badan.
3. Selain melakukan penindakan, GMKI dan GAMKI berharap agar kejaksaan dapat menjadi lembaga yang sentral dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
4. GMKI dan GAMKI meminta agar kejaksaan juga memperkuat komitmen individu para jaksa dalam pemberantasan korupsi. Untuk menjaga komitmen itu, maka perlu diberlakukannya mekanisme kinerja berbasis reward and punishment yang ketat.
5. Sinergitas Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan membuat penegakan hukum lebih baik dan pengawasan kepada kejaksaan yang dilakukan Komjak secara profesional menjadi check and balance agar kejaksaan tidak melakukan abuse of power penyalahgunaan kekuasaan.(*)