Supriadi Harja*
PIRAMIDA.ID- Aku lupa, kapan aku pernah mengenal orang ini. Begitu melihatku, ia memperkenalkan diri. Namanya Pak Sukri. Namun sebentar saja memandang wajahnya, aku merasa akrab dengannya.
Semula, pada suatu sore dia datang bertamu ke rumahku. Dia langsung mengucapkan salam dan dengan sok akrab menyebutku: Bos. Kami pun langsung ngobrol “ngalor-ngidul” tentang masa 30 tahun yang lalu, ketika ia menjadi sopir ku di kantor–penempatan dinasku–di Kota Binjai.
“Masih ingat enggak, Pak … ketika suatu malam minta saya antar menonton bioskop di Medan. Bapak waktu itu kaget, ketika ternyata di dalam bioskop itu diputar “blue film” …,” tanya Sukri mengingatkanku.
“Hehehe … waktu itu kamu sengaja membawaku ke situ, kan? Kamu memang kurang ajar … Sukri, Sukri!” Aku tertawa terkekeh diingatkan peristiwa tahun 1990-an di Medan itu.
Begitulah, Sukri adalah sopir dinas di Kantor atau Instansi Kedinasan di Kota Binjai. Ia menjalani pekerjaannya sebagai sopir selama 30 tahun dan kini telah pensiun–di usianya yang sudah 58 tahun.
Siapapun yang pernah menjabat kepala dinas di kantor itu tentu pernah memakai jasa Sukri. Sekarang ia sedang mudik ke kampung halamannya di Majalaya. Ia menyempatkan diri mengunjungi rumahku di Kota Bandung.
Kini kami sama-sama sudah menua. Yang diobrolkan seputar anak-anak kami, yang sekarang semuanya sudah dewasa. “Ngomong-ngomong … bagaimana dengan tiga anak lelakimu yang pernah kauperkenalkan dulu itu. Di mana mereka sekarang?”
“Alhamdulillah, Bos … semuanya sudah ‘jadi orang’ sekarang,” jawab Sukri sambil tersenyum bangga.
“Hahaha … Sukri, Sukri … memangnya anak-anakmu itu dulunya tuyul … dan baru sekarang berubah jadi orang!” ledekku, mengajaknya bergurau.
“Hehe … bos nih masih suka bercanda kayak dulu ya! Si bos nggak berubah, masih sama seperti dulu.”
Sukri melanjutkan ucapannya. “Saya bersyukur, berkat sering ngobrol dengan bos ketika itu, saya jadi terinspirasi melakukan segalanya untuk membuat anak-anak semuanya sukses masa depannya. Tiga anak saya sekolah sampai jadi sarjana semua. Alhamdulillah … dua anak saya sekarang sudah jadi kepala dinas statistik di Kabupaten Sigli Aceh dan di Merauke Papua sana….” Sukri dengan asyiknya menceritakan hal ihwal perjalanan hidupnya membesarkan dan mendidik ketiga putranya.
Sukri menceritakan bahwa putra sulung dan putra keduanya lolos seleksi pendidikan kedinasan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Setelah menyelesaikan masa pendidikannya selama 4 tahun di STIS, anak-anaknya itu langsung diangkat jadi PNS di lingkungan BPS (Badan Pusat Statistik).
Akhirnya, kedua anaknya itu sukses berkarier di sana dan sekarang sudah menjabat Kepala BPS tingkat kabupaten. Sedangkan putra bungsunya lolos seleksi Akademi Kepolisian (Akpol) dan kini sudah jadi Kapolsek di sebuah kecamatan di daerah Sinjai, Sulawesi Selatan.
Bagi Sukri, yang PNS golongan terbawah–sebagai sopir–bisa membesarkan dan mendidik ketiga putranya hingg semuanya sukses berkarier sebagai PNS adalah sebuah kebanggaan yang wajar. Mimik wajah penuh kebanggaan disertai senyum terlihat di wajah tuanya selama bercerita. Aku sebagai mantan bos-nya dan sekaligus temannya, tentu saja ikut senang melihat keberhasilannya mendidik anak-anaknya itu.
Tak mungkin aku bisa melupakan kenangan bersama mantan sopir kantorku Pak Sukri ini, meskipun telah tiga dasa warsa berpisah, baru berjumpa lagi sekarang. Kini nampak wajahnya tua mulai berkerut. Tak patut bila kupanggil namanya saja. Sudah setua itu layaknya kusebut: Pak Sukri.
Teringat ketika aku pertama kali menginjak tanah Kota Binjai pada tahun 1990—tiga puluh tahun yang lalu. Pak Sukri disamping bertugas formal mengemudikan mobil dinas kepala dinas setempat, juga sekaligus menjadi ‘guide’ bagi setiap bos baru yang ditempatkan untuk memimpin kantor dinas di Binjai.
Binjai adalah kota kecil yang berlokasi dekat Kota Medan (ibukota provinsi Sumatera Utara). Bisa ditempuh dengan mengendarai mobil sekitar 15 menit dari Medan. Tak mengherankan, jika orang-orang berduit dan para bos dari Binjai tempat refreshing-nya ke Kota Medan.
Sebagai ibu kota provinsi, Medan memiliki berbagai fasilitas, seperti umumnya yang ada di kota-kota besar di Pulau Jawa. Tahun 1990-an sudah banyak supermarket dan pusat-pusat pertokoan yang menjual berbagai barang kebutuhan warga. Pun telah banyak bertebaran fasilitas hiburan malam, seperti: night club, diskotik, fasilitas karaoke, panti pijat plus, dan seterusnya.
Yang unik kala itu, adanya bioskop besar di pusat kota Medan, yang beberapa kali dalam seminggu memutar film porno. Tahun 1990-an belum ada internet ataupun social media. Kala itu, sangatlah langka bisa berkesempatan nonton ‘blue film’ di sebuah bioskop besar di pusat kota.
Kejadian maraknya penayangan “film XXX” di Medan ketika itu, sempat menjadi berita di Majalah Tempo, hingga heboh. Mana ada kota-kota besar lainnya di negri ini yang berani nekat memutar film seperti itu. Ini Medan, Bung!
Sukri bukan asli orang Sumatera Utara. Penduduk asli yang tinggal di provinsi ini mayoritas suku Melayu, sebagian suku Batak dan banyak penduduk berasal dari Pulau Jawa yang merantau ke sini untuk mencari nafkah.
Penduduk yang berasal dari Jawa, populer disebut keturunan: Jakon alias Jawa Kontrak. Konon pada zaman penjajahan Belanda dikerahkan orang-orang dari Jawa untuk dipekerjakan sebagai tenaga buruh kontrak di area-area perekebunan sawit yang ada di Sumatera Utara.
Akhirnya sebagian besar kaum urban yang berasal dari Jawa itu menetap dan beranak-pinak di Sumatera Utara. Makanya di Medan dan kota-kota sekitarnya banyak warga keturunan suku Jawa. Sukri adalah salah satu warga Binjai berasal dari Pulau Jawa, yang sudah puluhan tahun menetap dan membesarkan anak-anaknya di Kota Binjai.
Sukri adalah orang yang tak terlupakan oleh siapapun—pejabat yang pernah ditempatkan sebagai kepala dinas di kantor itu. Begitu pun denganku. Ketika itu, Sukri setiap hari menyopiriku, baik pergi maupun pulang kantor dan sepanjang hari bila sedang menghadiri rapat-rapat antar instansi.
Sukri pula yang setiap hari sambil mengemudikan kendaraan dinasnya berceloteh banyak hal tentang segala sesuatu mengenai Medan dan seluk beluknya. Boleh dikatakan, ia menjadi “guide’ tak resmi bagiku, karena aku “buta” dengan situasi dan kondisi lingkungan Kota Medan dan sekitarnya. Apalagi, ada gambaran yang mengerikan bagi pendatang baru yang menginjak tanah Medan. Sampai-sampai kata “Medan” diplintir kepanjangannya jadi: Matilah Engkau Dalam Api Neraka.*
Penulis merupakan pegiat literasi media sosial. Bekerja sebagai Kepala Area BUMN di Jawa Timur. Pernah berdomisili di Medan.