Reiner Emyot Ointoe*
PIRAMIDA.ID- “Saya akan kembali ke angin.
Kemarin dan esok
adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan
sama saja
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa”
~W.S. Rendra (1935-2009)
Tak mudah ditempeli emblem (lencana) intelektual. Selain harus pikul “salib” moral, intelektual bukan predikat apalagi gelar.
Sama halnya sebutan budayawan. Tak segampang itu disapa malah didaulat dengan perasaan jumawa meski sering bicaranya blepotan tak karuan dan nalar publiknya miring lebih dari sembilanpuluh derajat.
Tak banyak orang suka disebut intelektual. Meski sejak abad-18, istilah intelektual mulai menjamur bak cendewan dan rata-rata mereka yang digelari intelektual itu lebih sering menjadi seorang kalau bukan aktivis (true believers, istilah Eric Hoffner), juga pujangga, dan filsuf.
Gerakan intelektual mulai marak pada awal abad duapuluh. Ketika itu, filsuf Perancis Julien Benda (1869-1956) bikin heboh dengan bukunya: The Treason of the Intellectuals (1928).
Pengkhianatan Kaum Intelektual besutan Benda mencengangkan Eropa Barat pada umumnya ketika mereka (kaum intelektual) — dari sainstis, aktivis humanisme hingga budayawan dan filsuf — dituduh melacurkan diri demi menghindari dari tekanan politik rezim otoriter (sosialisme, komunisme, dan marxisme) serta totalitarianisme seperti yang bisa dipetik dari tragedi tekanan politik Nazi menimpa Hannah Arendt (1889-1981) yang “nikah siri” sejak muda dengan filsuf Jerman, Martin Heidegger (1889-1976).
Tuduhan Benda atas pengkhianatan kaum intelektual (Perancis: Traihon du Clercs) lebih disebabkan tekanan politik dibanding sebagai pelacuran politik.
Jika tekanan politik rezim lebih menumbuhkan perlawanan dengan gerakan massa (true believers), pelacuran politik lebih melahirkan para intelektual bukan organik (misalnya, karna prestasi akademis atau ilmuwan) bahkan partisan (menjadi jurubicara atau public speakers rezim politik otoriter di semua media).
Karena itu, sosiolog Ron Eyerman harus merekam bagai jejak sejarah kaum intelektual dalam sejarah masyarakat kontemporer. Mereka sedang mendayung di antara dua karang “budaya dan politik.”
Dengan kata lain, fungsi dan peran serta posisi sejati kaum intelektual kapanpun — meminjam istilah Gramsci — harus berlaku dalam lingkup sosiologi intelektual sebagai bentuk yang lebih organis. Bukan unorganic apalagi partisan.
Intelektual organik adalah mereka yang bisa melintas zaman. Lalu lalang bahkan menjauh dari godaan struktural yang akan mereduksi fondasi mental mereka sebagai nadinya sikap dan tindakan mereka.
Tanpa mentalitas organik itu bahkan anti struktur, jangan harap kebenaran bukan arus yang harus dicegat, monopoli dan dihegomoni. Tapi, dipertukarkan atau didialogkan dalam isi dan bentuk yang distorsif dan manipulatif.(*)
Penulis merupakan pengamat media sosial. Dikenal sebagai budayawan Sulawesi.