Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Persoalan yang dihadapi kaum penulis saat ini bukan lagi soal “kenapa buku harus laku” atau “kenapa buku tidak laku”, tetapi soal bagaimana agar kehidupan intelektual masyarakat kita tidak medioker karena terlalu banyak mengkonsumsi nilai-nilai popular yang dikemas para penulis pop tanpa pemahaman yang memadai terhadap kebudayaan yang membentuk dirinya dan masyarakatnya.
Tulisan-tulisan pop itu seakan-akan datang dari negeri antah berantah, tak menjejak di bumi Nusantara dan dihasratkan akan menjadi budaya massa, sehingga masyarakat menderita keterputusan budaya dengan leluhurnya. Padahal, budaya yang diwarisi dari leluhur, merupakan ikatan yang membuat bangunan nation kita menjadi kokoh sebagai sebuah negara.
Kekokohan bangunan nation itu akhirnya terbelah, terkotak-kotak, karena masing-masing budaya yang membentuk bangunan nation, telah dihancurkan oleh ahli warisnya atas nama budaya massa. Budaya massa yang membuat masyarakat menjauh dari kehidupan intelektualitas, mendekatkan masyarakat untuk membenarkan apa yang pernah disebut Noam Chomsky bahwa negara kita tidak lebih dari pasar atas barang dan jasa produksi negara lain. Dan, memang, sebagai pasar, masyarakat kita telah tumbuh hanya pandai melihat sampul dan hidup dalam mimpi yang dibingkai oleh produk barang dan jasa yang dikonsumsinya.
Dulu, di awal dekade 1990-an, ketika Hilma Hariwijaya menciptakan Lupus, anak muda kota metropolitan yang kurang paham nilai-nilai tradisi karena memang tak tahu apa itu tradisi, cepat menjadi contoh bagi anak-anak muda di kota metropolitan. Gaya rambut Lupus, kebiasaan makan permen karet, dan celana panjang yang menyempit pada bagian ujung menjadi kebiasaan yang ditiru oleh anak-anak muda. Bukan itu saja, perilaku tak mengenal nilai-nilai tradisi pun menjadi keseharian anak-anak muda, yang ditandai dengan kecenderung untuk bersikap meremehkan segala sesuatu yang disebut tradisional.
Satu dekade sebelumnya, Ali Topan Anak Jalanan menjadi figur yang dicontoh oleh anak-anak muda. Anak-anak gang motor muncul di mana-mana lengkap dengan atribut dan gaya hidup yang nyaris menolak segala bentuk pengekangan. Setelah Ali Topan, generasi muda kita dicekoki oleh sosok anak muda kaya raya dalam karya Catatan Si Boy. Salah satu bagian dari catatan Si Boy yang menjadi anutan generasi muda adalah sosok si Emon, laki-laki lentik yang aduhai. Komunitas si Emon muncul di mana-mana, menyatrakan eksistensi dirinya.
Lalu, setelah generasi anak muda Lupus lewat, muncul kisah-kisah pop yang berlatar belakang agama. Kisah-kisah yang dirancang untuk membangun imajinasi tentang manusia beragama ini, dikemas dalam cerita-cerita berbasis nilai-nilai agama yang sangat kental dengan bahasa yang diserab dari Arab. Pembaca buku-buku ini mengimitasi diri sebagai orang beragama alumni Kairo — karena banyak menyajikan nilai-nilai agama seakan-akan semua orang Indonesia itu orang Arab–bukan orang beragama yang asli Indonesia. Kisah-kisah populer ini, dikemas dalam manajemen marketing yang khas, menawarkan buku-buku industri sembari menjanjikan keterampilan-keterampilan menulis bagi para pembacanya.
Banyak muncul pelatihan-pelatihan menulis yang ditaja oleh para penulis populer trersebut, dan pengekornya pun bermunculan. Mereka merasa dirinya sangat luar biasa karena berhasil menerbitkan satu dua buku yang dianggapnya luar biasa. Dia tidak pernah memikirkan, apakah tulisan-tulisan yang dihasilkannya mampu membangun sebuah iklim inteletualitas yang mumpuni atau tidak.
Mereka pikir, soal seperti itu bukan urusan seorang penulis pop, padahal novel paling populer seperti Harry Potter saja mampu membangun intelektualitas–setidaknya, penulisan harry Potter tak akan pernah terjadi tanpa sebuah kerja inteletual yang mumpuni dari penulisnya.
Saya teringat pada seorang ilmuwan sekaligus sastrawan asal Inggris, CP Snow. Dalam ceramahnya yang disampaikan di Universitas Cambridge. Dia menggambarkan kehidupan intelektual masyarakat Barat terbelah dua antara bidang ilmu alam dan humaniora, dan dia menyebutnya sebagai fenomena “Dua Budaya”.
Snow mengalami sendiri dua jenis kehidupan intelektual ini. Sebagai ilmuwan alam sekaligus sastrawan, ia harus bolak-balik di antara keduanya. Ia bekerja dengan koleganya dari ilmu alam di waktu siang dan bertemu teman-temannya sesama sastrawan di waktu malam. Di antara dua kelompok pertemanan itu, tak ada yang saling mengenal. Bahkan, di antara mereka “terkadang (terutama di antara yang muda-muda) ada permusuhan dan kebencian”. Orang-orang dari lingkar ilmu alam menganggap orang-orang humaniora tak ilmiah, politis, dan sering kali punya pandangan suram dan pesimistik terhadap kemajuan sains, sedangkan orang-orang humaniora menganggap para ilmuwan terlalu optimistik dan tidak mengerti kondisi manusia.
Di Jepang, ilmu humaniora nyaris tidak punya tempat. Di Indonesia, bukan perkara ilmu yang dipersoalkan, bukan pula perkara intelektualitas. Para penulis justru sibuk dengan dirinya sendiri, merasa apa yang dicapainya sebagai luar biasa. Tidak sadar, mereka hanyalah pasar yang dipersepsikan oleh para produsen sebagai sesuatu yang hanya harus menerima karena intelektualitas sudah tidak ada.(*)
Penulis lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis esai di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).