Haz Algebra*
PIRAMIDA.ID- Intelijensia Artifisial (AI) barangkali akan menjadi agen perubahan paling penting di abad ke-21. Ini akan mengubah ekonomi kita, budaya kita, politik kita dan bahkan tubuh dan pikiran kita sendiri dengan cara yang hampir tidak bisa kita dibayangkan.
Jika Anda mendengar sebuah skenario tentang dunia pada tahun 2050 dan kedengarannya seperti fiksi ilmiah, ini mungkin salah; Tapi jika Anda mendengar skenario tentang dunia pada tahun 2050 dan tidak terdengar seperti fiksi ilmiah, ini pasti salah.
Teknologi memang tidak pernah deterministik. Ia dapat digunakan untuk menciptakan jenis masyarakat yang sangat berbeda.
Pada abad ke-20, kita bisa melihat bagaimana kereta api, listrik dan radio, di satu arah, digunakan untuk merancang kediktatoran Nazi dan Komunis, namun di arah yang lain, juga digunakan untuk mendorong Demokrasi Liberal dan Pasar Bebas.
Pada abad ke-21 ini, AI akan membuka spektrum kemungkinan yang lebih luas lagi. Sehingga, memutuskan yang mana untuk direalisasikan mungkin merupakan pilihan terpenting yang harus diciptakan manusia dalam dekade-dekade mendatang.
Pilihan ini bukan sekadar masalah rekayasa atau sains. Ini adalah masalah filosofis hingga politis. Oleh karena itu, ini bukan sesuatu yang bisa kita serahkan begitu saja ke Silicon Valley – ini haruslah menjadi item terpenting dalam agenda filosofis dan politik kita.
Sayangnya, AI sejauh ini hampir tidak terdaftar di radar politik kita. Ini bukan topik utama dalam kampanye pemilu, dan kebanyakan partai, politisi dan para pemilih tampaknya tidak memiliki pendapat mengenai hal itu.
Tentu saja, tanpa pemahaman lapangan yang lebih baik, kita tidak akan bisa memahami dilema yang kita hadapi. Dan ketika sains dan teknologi menjadi politik, ketidaktahuan ilmiah kita akan menjadi resep untuk bencana politik.
Revolusi AI akan mengubah banyak masalah filosofis menjadi pertanyaan politik praktis dan memaksa kita untuk terlibat dalam apa yang disebut oleh filsuf Nick Bostrom sebagai “filsafat dengan tenggat waktu”.
Para filsuf, misalnya, telah berdebat tentang kesadaran dan kehendak bebas selama ribuan tahun, tanpa pernah mencapai konsensus. Ini memang sedikit penting di zaman Plato atau Descartes, karena pada masa itu, satu-satunya tempat di mana kita bisa menciptakan superintelijensia adalah hanya dalam imajinasi kita.
Namun di abad ke-21, perdebatan ini bergeser dari fakultas filsafat ke jurusan teknik dan ilmu komputer. Dan sementara para filsuf adalah orang-orang yang sabar, insinyur tidak pernah sabaran, dan para investor adalah orang-orang yang selalu gelisah.
Ketika insinyur Tesla datang untuk merancang mobil yang dapat mengemudi sendiri, haruskah mereka menunggu para filsuf selesai berdebat tentang etikanya?
Penulis merupakan penggiat media sosial. Penerjemah buku.