Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Membahas tentang demokrasi merupakan hal yang menarik melihat praktek demokraksi yang sedang dilangsungkan oleh para penyelenggara pemerintahan di Indonesia saat ini.
Namun, sebelum kita masuk lebih dalam mari memahami defenisi dari demokrasi itu sendiri. Ada banyak ahli yang mendefenisikan tentang apa itu demokrasi. Secara etimologis, demokrasi diadaptasi dari bahasa Yunani; demos yang artinya rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan secara sederhana dapat dikonsepkan sebagai pemerintahan rakyat.
Konsep ini sejalan dengan konsep demokrasi yang populer pada sebagian besar orang saat ini yang dicetuskan oleh Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat yang menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from people, for people, and by people) bisa kita pahami bersama bahwa pemerintahan untuk rakyat menegaskan ide pemerintahan ada demi warga negara bukan demi kepentingan segelintir penguasa atau pun kepentingan kaum oligarki, karena jika demikian maka namanya akan beda lagi.
Untuk mencapai tujuannya demokrasi sendiri mempunyai beragam jenis, yang di antaranya demokrasi langsung dan demokrasi representatif.
Saat ini demokrasi di Indonesia memakai sistem demokrasi representatif atau sistem perwakilan yang di mana rakyat memilih para wakilnya yang kemudian para wakil itulah yang menciptakan regulasi atau hukum demi menjamin ketertiban dan keadilan dalam kehidupan bernegara, sebagaimana yang tercantum di dalam Sila ke-4 Pancasila.
Berbicara perihal konsep demokrasi representatif merupakan gagasan yang diperjuangkan oleh salah satu filsuf kebangsaan Inggris yang bernama John Stuart Mill, yang baginya demokrasi representatif merupakan satu-satunya cara agar sistem demokrasi dapat bertahan di dunia modern. Dan sejauh ini memang benar perkataannya, demokrasi hasil gagasannya tersebut hingga kini masih tetap eksis bahkan diterapkan juga di negara kita Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat realita dalam kehidupan bernegara mendorong munculnya pertanyaan apakah di negara Indonesia sudah menerapkan demokrasi sesuai dengan konsep atau defenisinya umumnya?
Sejauh mana Indonesia sudah menerapkan demokrasi demi mengupayakan tercapainya tujuan Indonesia sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan alinea ke-4 Undang Undang Dasar 1945?
Ini tentunya menjadi pertanyaan besar yang belum memiliki jawaban pasti bagi orang-orang atau masyarakat yang mendambakan demokrasi yang sebagaimana mestinya.
Hidup dalam negara yang menerapkan prinsip demokrasi sudah seyogianya menjunjung tinggi asas-asas dalam kehidupan berdemokrasi yang di antaranya adalah:
1. Terjaminnya hak kebebasan berpendapat;
2. Hak atas kesetaraan;
3. Hak atas kepemilikan.
Namun berdasarkan realita yang menyuguhkan kita kepada situasi dan kondisi saat ini, penulis beranggapan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini sedang berpotensi lumpuh, kata lumpuh yang penulis tuliskan di sini tentunya bukan tak berdasar, laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mengenai Indeks Demokrasi 2020, tercatat Indeks demokrasi di Indonesia turun dari skor 6,48 di tahun 2019 menjadi 6,3 di tahun 2020.
Ini bisa kita buktikan melalui rangkaian beberapa peristiwa seperti revisi UU KPK yang menuai penolakan karena dinilai sebagai upaya pelemahan terhadap institusi KPK reaksi penolakan besar-besaran datang timbul dari berbagai aktivis pro demokrasi, organisasi pergerakan mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Yang kemudian tetap bisa lolos dan dilakukan pengesahan oleh pemerintah. Kemudian yang paling dekat pengesahan RUU Omnibus Law Cipta kerja yang jelas-jelas menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat di berbagai wilayah kabupaten/kota di Indonesia, karena dinilai lebih pro terhadap Investor dan mengesampingkan hak-hak para buruh.
Dua peristiwa di atas menimbulkan gejolak yang sangat besar bagi kehidupan berdemokrasi di negara ini, di mana suatu RUU mendapatkan penolakan besar-besaran namun tetap bisa lolos dan mendapatkan pengesahan dan pemerintah hanya bisa berargumen bahwa jika dianggap tidak pro rakyat silahkan ajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi untuk kemudian dilakukan pengujian sesuai mekanisme hukum.
Dari sini terlihat jelas bahwa pemerintah sudah tidak mendengarkan aspirasi dari rakyatnya, di mana merupakan hal paling esensial di dalam konsep demokrasi.
Demokrasi kemudian semakin lumpuh seiring dengan perkembangan dari UU ITE, sebagaimana yang kita ketahui bahwa hak kebebasan berpendapat sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 yang diwujudkan salah satunya lewat tindakan mengkritik pemerintah kini dibentengi dengan adanya Undang-Undang ITE, kebebasan berpendapat kini hanya dirasakan oleh para buzzer pemerintah atau fans berat fanatik dari rezim yang selalu berupaya untuk mengiring opini publik sesuai dengan sudut pandang pemerintah.
Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh SAFEnet, jumlah kasus UU ITE sejak tahun 2008 hingga 2019 terdapat 285 kasus pemidanaan terhadap hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE.
Berangkat dari data yang dipublikasikan oleh SAFEnet di atas, penulis beranggapan bahwa kritik terhadap pemerintah kini seakan-akan telah menjadi teror bagi pemerintah, hal ini sangat disayangkan karena sesempit pemikiran dari penulis kritik dapat menjadi salah satu faktor pendorong demi perkembangan demokrasi kearah yang lebih baik.
Terlepas dari segala permasalahan yang timbul dalam praktek demokrasi di Indonesia saat ini, penulis beranggapan bahwa kita patut untuk tetap bersikap optimis bahwa rezim akan akan lebih bijak di dalam menanggapi setiap persoalan kritik di media sosial dan juga penyampaian aspirasi yang dilangsungkan dalam bentuk demonstrasi demi perkembangan demokrasi ke arah yang lebih baik dalam kehidupan bernegara di Indonesia.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Fakuktas Hukum Universitas Jambi.