Ados Aleksander Sianturi*
PIRAMIDA.ID- Sejatinya Indonesia bukanlah negara yang hidup berlandaskan satu ajaran agama tertentu. Indonesia adalah negara kebangsaan yang berdiri di bawah pondasi junjungan atas keberagaman. Negara yang sangat beragam dalam budaya, bahasa, agama, suku, maupun ras. Keberagaman ini sudah ada jauh sebelum kemerdekaan resmi berpihak pada Indonesia.
Kemerdekaan negara saat ini adalah hasil perjuangan dari para pendahulu yang tentunya memiliki latar belakang yang beragam. Dimulai dari perbedan agama, suku, bahasa, ras dan lain sebagainya. Ada pejuang yang beragama Kristen, ada yang beragama Islam, Buddha, Hindu, hingga aliran kepercayaan lainnya.
Sama halnya dengan perbedaan suku, ada yang dari suku Batak, Jawa, Melayu, Nias, Minangkabau, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akan tetapi keberagaman tersebut bukanlah penghalang bagi para pejuang pendahulu untuk bersatu merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Melainkan keberagaman tersebut menjelma menjadi suatu kekuatan yang tak terkalahkan dalam wujud persatuan.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya ide, gagasan, maupun tekhnik yang menggumpal menjadi satu yang tak dimiliki oleh para penjajah.
Cukup disayangkan bilamana dalam kehidupan yang serba nikmat saat ini kita lupa akan indahnya persatuan yang mampu menjadi suatu kekuatan.
Cukup kita tak tahu diri bilamana warisan persatuan yang diperjuangkan berlumur darah oleh para pejuang kita nodai dengan ego perpecahan yang kita gaungkan. Jelas, jika persatuan itu sudah tak lagi menjadi kekuatan, kehancuran dan perpecahan adalah hal yang mutlak menjumpai negeri ini.
Beberapa hari yang lalu kabar duka kembali menjadi perbincangan publik. Perilaku intoleransi yang menciderai persatuan bak agenda Islamisasi ternyata masih bercokol dalam sekolah negeri. Hal ini bermula pada seorang siswi beragama Kristen di salah satu sekolah di Padang yang orangtuanya dipanggil karena siswi tersebut tidak mengenakan jilbab saat berada di sekolah.
Yang mana sekolah tersebut notabenenya adalah sekolah yang berstatus “negeri” atau sekolah yang berada dalam naungan pemerintah yang harus menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama.
Dilansir dari detiknews, kabar ini diawali dari video yang viral di media sosial yang memperlihatkan percakapan antara orang tua murid Eliana Hia dan pihak SMK Negeri 2 Padang pada Kamis (21/12021). Eliana dipanggil pihak sekolah karena anaknya, Jeni Cahyani Hia tidak mengenakan jilbab.
Peristiwa ini bukanlah peristiwa yang pertama. Sebelumnya sudah terjadi beberapa peristiwa lain yang mendapat perhatian publik akan tetapi mungkin tidak mendapatkan penanganan yang serius sehingga hal serupa harus terulang.
Sekolah sebagai tempat transformasi ilmu dari guru kepada siswa sebagai modal dalam pertahanan bangsa seharusnya bebas dari segala dogma radikal yang terkonstuksi dalam sebuah regulasi yang tidak sejalan dengan Pancasila. Toleransi dan kebebasan dalam beragama harus terus dijunjung tinggi sebagai bentuk penghormatan akan keberagaman dalam negara ini.
Sekolah terkhusus sekolah negeri mestinya harus hadir sebagai salah satu institusi yang menjamin dalam merawat dan melindungi kebebasan beragama di negeri ini. Sekolah negeri haruslah terbuka bagi siapa saja, dari latarbelakang manapun tanpa ada diskriminasi. Dalam bentuk apapun. Aturan yang terdapat dalam sekolah negeri haruslah aturan yang memang tidak hanya memihak pada golongan (agama) tertentu.
Istilah mayoritas dan mayoritas dalam sekolah negeri haruslah dihilangkan dalam proses penentuan kebijakan. Kepentingan semua warga sekolah tersebut tentunya haruslah menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan supaya setiap warga sekolah memiliki hak dan perlindungan yang sama tanpa pembedaan.
Pada zaman perebutan kemerdekaan, Padang adalah suatu tempat yang melahirkan pemikir – pemikir dan para pejuang kemerdekaan republik ini yang jasa dan gagasannya cukup berarti bagi Indonesia. Akan tetapi saat ini juga perjuangan mereka mempersatukan republik ini seakan tak dihargai di daerah kelahirannya sendiri.
Pemaksaan akan pengenaan jilbab pada siswa nonmuslim ini haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sebab, tindakan dari oknum sekolah negeri ini seakan ingin melakukan islamisasi pada siswa nonmuslim disana yang jelas sudah merampas kebebasan dari siswa tersebut dalam menjalankan ajaran agamanya.
Negara ini haruslah bebas dari keterikatan agama tertentu yang mengakar pada institusi-institusinya mengarah pada hilangnya prinsip toleransi kepada penganut agama lain. Negara ini sudah cukup baik dan indah bila beragam. Islamisasi kepada penganut agama lain merupakan tindakan yang tercela karena sama saja tidak menghargai penganut agama lain tersebut.
Segala tindak tanduk pembelaan diri yang dilayangkan pihak sekolah untuk melindungi citra putih yang terlanjur hitam baiknya bukan menjadi pertimbangan untuk perombakan regulasi yang merugikan. Yang salah haruslah tetap diluruskan dan kebenaran sesuai konstitusi haruslah ditegakkan.
Peristiwa ini merupakan bentuk kegagalan negara dan kegagalan pendidikan dalam mendidik guru maupun birokrat setempat hingga mereka lengah dan abai pada aktualiasasi nilai Pancasila yang memayungi kebhinekaan. Tak salah bila ada anggapan masyarakat yang berkata bahwa sekolah swasta lebih baik daripada sekolah negeri yang notabenenya diasuh oleh pemerintah bila tindakan intoleran seperti ini masih terus terjadi.
Sebagai penutup, kita harus mengapresiasi langkah yang diambil oleh orangtua dari siswi yang didiskriminasi untuk mengangkat peristiwa ini ke media sosial. Karena sejatinya negara telah menjamin kebebasan itu.
Para petinggi negara yang sudah mendengar kabar ini kiranya tak berfungsi hanya sebagai pendengar dan pemerhati yang berempati dalam kesementaraan. Akan tetapi negara harus hadir dalam tindakan yang nyata dalam perombakan regulasi yang diskriminatif terhadap warga minoritas dalam bentuk apapun.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Jambi. Anggota GmnI Cabang Jambi.
🤗🤗
Terimakasih untuk tulisan ini, semoga setiap kita, pendidik, pemerintah maupun masyarakat disadarkan dan semakin menjunjung kesatuan.