Yogi Setya Permana*
PIRAMIDA.ID- Belum lama ini terbit edisi khusus bertajuk “Authoritarian Innovations” tentang perkembangan terkini demokrasi Asia Tenggara di Jurnal Democratization. Ini jurnal prestisius yang khusus kepada kajian demokrasi global.
Dalam tulisan pengantar, Curato & Fossati (2020) menyatakan, edisi khusus ini untuk mencermati kecenderungan penurunan tingkat demokrasi di negara-negara Asia Tenggara. Argumen utama yang disampaikan adalah corak politik kontemporer negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sesungguhnya bercorak otoritarian.
Hal ini karena mereka mendefinisikan otoritarian bukan pada level ‘rezim’ seperti studi-studi terdahulu, melainkan pada level praktik (practice). Mereka menemukan berbagai praktik otoritarianisme di negara-negara Asia Tenggara, yang bermuara pada ruang partisipasi politik masyarakat menympit meskipun tanpa ada kudeta militer atau kemunculan diktator.
Walaupun sistem politik secara formal demokratis, langgam politik keseharian diwarnai wajah otoritarian.
Edisi khusus itu tentu saja memberikan kontribusi berharga dalam studi tentang demokrasi dan perubahan rezim, terutama pada konteks Asia Tenggara.
Saya selalu merasa ada yang terlewat dalam karya sebagian besar para sarjana dalam studi demokrasi, termasuk edisi khusus itu. Aspek-aspek biasa sebagai penilaian kualitas demokrasi adalah pemilu, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap minoritas. Hampir pembicaraan tentang kerentanan manusia (human vulnerability) dampak bencana alam maupun kerusakan lingkungan selalu absen dalam tulisan para sarjana pengkaji demokrasi.
Termasuk, para pengkaji demokrasi Indonesia sendiri yang sebagian besar lebih senang fokus kepada persoalan politik identitas akhir-akhir ini.
Menurut saya, kelangkaan kajian tentang demokrasi dan kerentanan manusia merupakan ironi karena Indonesia bahkan Asia Tenggara memiliki persoalan serius dengan bencana alam dan kerusakan lingkungan.
Sebagai gambaran, Indonesia bersama Filipina adalah dua dari lima negara yang memiliki frekuensi bencana alam terbanyak di dunia dari 1995-2009 (Lin, 2015: 1279). Bencana, bukan hanya karena mekanisme alam seperti gempa bumi juga berhubungan erat dengan ulah manusia (anthropogenic).
Bencana anthropogenic, misal terkait kerusakan tata ruang (spatial planning) karena kontrol publik lemah dan klientelisme kuat. Jadi, sudah saatnya, para sarjana mulai menempatkan isu kerentanan manusia dan bencana sebagai isu serius yang perlu jadi perhatian dalam hubungan dengan demokrasi.
Demokrasi, kapasitas negara, dan bencana alam
Mulai muncul perkembangan menarik dalam studi kerentanan manusia (human vulnerability) yang mengindikasikan secara meyakinkan, bahwa ada hubungan antara demokrasi dengan bencana alam, terutama bencana alam yang terprediksi (predicted-natural disaster). Bencana alam yang bisa diprediksi ini berkaitan dengan ulah manusia (anthropogenic) hingga seharusnya bisa dimitigasi.
Studi dari Lin (2015) terbitan Jurnal Social Forces menjadi sangat berharga karena mengisi kelangkaan kajian yang mencermati keterhubungan antara demokrasi dengan bencana. Dia berargumen, negara demokratis dan berkapasitas mampu mengurangi jumlah korban jiwa dan pencegahan efektif terhadap dampak destruktif yang ditimbulkan suatu bencana terhadap penduduk. Ini terutama terhadap bencana yang terprediksi seperti banjir atau badai.
Sebaliknya, rezim otoritarian atau non-demokrasi dengan kapasitas negara lemah bisa memperburuk kondisi kerentanan manusia terhadap bencana (Lin, 2015: 1268).
Lin (2015) membuktikan bangunan argumennya dengan suatu data set yang menunjukkan hubungan antara tipe rezim (demokrasi maupun non demokrasi) dan kapasitas negara (state capacity) dengan tiga macam bencana yakni banjir, badai, dan gempa bumi.
Banjir dan badai tergolong sebagai bencana yang bisa diprediksi. Sedangkan, gempa bumi adalah bencana tak terprediksi. Sedangkan kapasitas negara didefinisikan oleh Lin (2015) sebagai Gross Domestic Product (GDP) yang dalam bahasa Indonesia disebut produk domestik bruto (PDB). PDB lazim untuk mengetahui kemampuan sumber daya ekonomi suatu negara sekaligus biasa sebagai penunjuk ukuran kapasitas negara.
Lin mengumpulkan data bencana di seluruh negara-negara dunia dari 1995 sampai 2009 dengan menggunakan Emergency Event Database (EM-DAT) yang dikeluarkan Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRES) yang berbasis di Belgia.
Berdasarkan pemodelan dari data set, Lin mengidentifikasi dua temuan penting. Pertama, negara yang demokratis mampu mengurangi signifikan korban meninggal dan korban terdampak bencana banjir dan badai namun tidak berpengaruh siginifikan terhadap bencana gempa bumi. Korban terdampak merujuk kepada warga yang mengalami luka-luka dan butuh pengobatan darurat serta warga kehilangan tempat tinggal.
Kedua, korban meninggal di negara-negara demokrasi, baik kaya maupun miskin, jauh lebih sedikit dari negara-negara yang tidak demokratis baik kaya maupun miskin pula. Temuan ini membantah asumsi, negara kaya walau tidak demokratis bisa mengantisipasi bencana dengen efektif.
Ada beberapa penjelasan yang ditawarkan Lin untuk menjelaskan mengapa negara-negara demokratis lebih responsif terhadap bencana seperti yang tergambar dalam data set dan pemodelan itu. Pertama, ada insentif lebih besar bagi politisi di negara demokrasi untuk aktif menginisisi kebijakan mitigasi dan respon bencana dibandingkan negara non demokrasi atau otoritarian karena terkait kepentingan pemilu (voting preference).
Kondisi ini mensyaratkan, publik berperan krusial sebagai pemilih kritis terhadap agenda kolektif seperti penanganan bencana. Kedua, warisan kelembagaan dalam negara demokratis membuat mereka lebih responsif terhadap kebutuhan warga negara terkait antisipasi bencana.
Mereka mengalami sejarah panjang perjuangan politik yang membuat negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warga seperti dicontohkan di negara-negara Skandinavia.
Menaruh dalam konteks Indonesia secara lebih spesifik, kita bisa refleksikan dengan mengambil contoh bencana banjir di Luwu Utara yang baru terjadi. Banjir bandang di Luwu Utara, pada pertengahan Juli lalu menyebabkan puluhan orang meninggal dan hilang serta merendam ratusan rumah tinggal.
Berdasarkan laporan Mongabay (2020), banjir bandang oleh dua faktor yaitu alam dan manusia. Faktor alam karena curah hujan tinggi, sedangkan faktor manusia karena ada pembukaan lahan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Balease dan alih guna lahan secara masif untuk perkebunan sawit. Selain itu, terjadi alih fungsi hutan di hulu untuk pertambangan.
Banjir merupakan bencana tercipta karena interaksi dua ruang, ruang udara dan ruang daratan. Curah hujan tinggi dengan tata ruang berantakan adalah katalisator yang memicu banjir.
Dalam pemerintahan demokratis, publik mempunyai kontrol kuat terhadap agenda bersama seperti perencanaan tata ruang. Tata ruang jalur perjalanan air dari hulu ke hilir akan terawat hingga mengurangi kemungkinan luapan.
Politisi yang menduduki jabatan publik pun pasti akan berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan karena terkait kepentingannya dalam pemilu agar bisa mencalonkan diri kembali. Bukan dengan memberikan konsesi ekonomi ekstraktif yang berakibat pada alih guna bentang alam yang memperburuk tangkapan air dan bisa berdampak pada bencana bagi penduduk.
Karena itu, kegagalan mitigasi banjir kemungkinan terkait kepentingan ekonomi-politik dan tata kelola pemerintahan yang jauh dari prinsip demokrasi.
Kesimpulan
Saya ingin menggarisbawahi, ada urgensi bagi para sarjana pengkaji demokrasi Indonesia untuk mulai mengarusutamakan aspek kerentanan manusia terkait bencana dan kerusakan lingkungan dalam fokus analisis. Sudah saatnya penilaian dan evaluasi demokrasi Indonesia, tidak hanya melihat pada aspek pemilu atau isu minoritas juga mulai memasukkan aspek kontrol publik terhadap lingkungan.
Kondisi ini karena kita menghadapi keniscayaan sejarah bahwa demokrasi tak akan mungkin bisa terwujud tanpa lingkungan berkelanjutan (sustainable). Agenda untuk usaha mewujudkan lingkungan berkelanjutan seharusnya masuk jadi agenda akademik dari para pengkaji demokrasi Indonesia.
Pada level masyarakat sipil, perlu lebih kritis memilih kandidat pemilu. Pastikan kandidat pemilu kepala daerah maupun lembaga legislatif memiliki agenda jelas dalam tata kelola lingkungan dan tak mempunyai catatan buruk rekam jejak perusakan lingkungan.
Masyarakat sendiri yang akan menerima dampak dari pilihan politik secara langsung, jadi berkah atau bencana.
Penulis adalah Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI dan mahasiswa PhD di KITLV, Universitas Leiden. Artikel ini pertama kali dipublikasi untuk Mongabay Indonesia.