PIRAMIDA.ID- 21 Oktober 2021, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) mengadakan workshop dan diseminasi “Hasil Kajian Dampak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”.
Kegiatan dilakukan secara virtual melalui aplikasi Zoom pada tanggal 21 Oktober 2021. Adapun narasumber dalam workshop ini, yakni Sutoro Eko (Akademisi), Yando Zakaria (Lingkar Pembaruan Agraria dan Adat), Dr. Badikenita Sitepu (Anggota DPD RI) dan Audo Sinaga dari unsur pengkaji (Bakumsu). JAMSU adalah aliansi beberapa NGO yang salah satu konsernnya terhadap isu desa dalam hal ini UU Desa.
Hal ini juga yang menjadi salah satu fokus dan perlu untuk dikaji. Karena dalam perjalanannya UU Desa ternyata banyak mengalami intervensi dari berbagai kebijakan yang ada. Lahirnya Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada dasarnya memberi peluang besar bagi desa untuk mengembangkan sektor pembangunan srategis yang ada di desa dan menjadi pelaku utama dalam mengembangkannya.
Secara normatif, aspek yang menguntungkan dapat terlihat dari partisipasi pembangunan langsung masyarakat di desa, pengakuan desa adat, adanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Namun dalam 7 (tujuh) tahun perjalanannya, undang undang tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah, justru yang terjadi malah semakin “membelenggu” desa dengan berbagai aturan/kebijakan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat, baik oleh Kementerian dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan dan/ataupun kementerian/Lembaga lainnya yang secara langsung masih bersentuhan dengan program-program berbasis desa.
Alih-alih menjadikan desa lebih mudah dalam melaksanakan Undang Undang Desa, akan tetapi yang terjadi desa semakin tidak berdaya dan hanya sebagai “pekerja” teknokratis dan administratif yang semuanya menjauhkan dari cita-cita luhur lahirnya Undang Undang Desa.
Pasca disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut Undang Undang Cipta Kerja), puluhan Peraturan Pemerintah (PP) pun turut disahkan di tahun 2021 ini. Undang-undang yang sejak proses pembahasan rancangan oleh pemerintah dan/atau DPR yang masyhur disebut Omnibus Law Cipta Kerja banyak menimbulkan sikap pro dan kontra, terutama kalangan pekerja.
Meskipun dalam waktu bersamaan saat itu ada 3 Rancangan Undang Undang (RUU), yaitu: RUU Cipta Kerja, RUU Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang telah disiapkan dengan konsep Omnibus Law.
Dari banyaknya PP yang diterbitkan atas mandat Undang Undang Cipta Kerja, menurut hasil pencermatan, setidaknya terdapat 7 (tujuh) peraturan yang ditandatangani presiden itu yang bersinggungan dengan desa. Dari ketujuh PP tersebut, ada satu yang secara langsung mengubah kedudukan yuridis undang-undang, yakni PP Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
Sedangkan 6 (enam) peraturan pemerintah lainnya berdampak tidak langsung terhadap muatan materi Undang Undang Desa. Meskipun secara muatan materi tidak memberikan mandat langsung terhadap perubahan Undang Undang Desa, namun dalam pelaksanaannya berdasarkan pengaturan sektoral yang dimaksud.
Implementasi Undang Undang Desa tetap harus dilakukan singkronisasi dengan PP turunan Undang Undang Cipta Kerja. Keenam PP tersebut meliputi: PP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Daerah, PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun Dan Pendaftaran Tanah, PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Kekhawatiran munculnya distorsi dan pelemahan terhadap implementasi Undang Undang Desa setelah ditetapkannya PP turunan Undang Undang Cipta Kerja merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Karena sejak pertama kali diimplementasikannya Undang Undang Desa pada tahun 2015, tanda-tanda ketidakonsistenan, ketidakseriusan dan ketidakpatuhan yang ditunjukkan melalui terbitnya beberapa peraturan nenteri yang berkaitan dengan turunan Undang Undang Desa banyak ditemukan indikasinya.
Kementerian Desa, PDTT dan Kemendagri terkesan “berlomba memproduksi” peraturan menteri mengabaikan persoalan tumpang tindih dan inkonsistensi di antara keduanya. Demikian halnya antara peraturan turunan Undang Undang Desa dengan undang undang sektoral lainnya yang kemudian “mengalahkan dan melemahkan” kewenangan desa yang sejatinya salah satu kekuatan Undang Undang Desa.
Bahwa sejatinya desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Kedudukan desa sebagai subyek dalam mewujudkan desa yang kuat, mandiri dan demokratis visi yang dimandatkan Undang Undang Desa.
Undang Undang Desa memberikan mandat yang tegas bahwa seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus berorientasi dan berpihak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan ekonomi lokal desa dan penanggulangan kemiskinan serta mencerminkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan untuk semua.
Menumpuknya peraturan teknis atas mandat Undang Undang Desa mulai dari peraturan pemerintah sampai dengan peraturan daerah kabupaten/kota ditambah dengan regulasi teknis atas perintah Undang Undang Cipta Kerja baik langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap pengaturan dan implementasi Undang Undang Desa, diharapkan tidak memperparah permasalahan dan menambah beban berat desa.
Sehingga proses penyusunan regulasi teknis harus mempertimbangkan: pertama, berkait kesiapan sumber daya manusia pemerintah desa yang secara realita masih banyak keterbatasan untuk memahami dan merespon cepat perubahan regulasi yang ada. Kedua, tidak terjadi lagi tumpang tindih antara turunan Undang Undang Desa dengan peraturan perundangan lainnya, sehingga saling “merasa paling benar” yang membuat desa semakin pusing dalam implementasinya.
Dan ketiga, sejak awal proses penyusunan harus dibangun harmonisasi kebijakan antara desa dan lintas sektor baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun daerah.
“Undang Undang Desa baru mengalami perubahan di tingkat teks. Belum terjadi perubahan konteks. Undang Undang Desa tidak akan terimplementasi dengan baik jika tidak dimiliki oleh masyarakat desanya. Literasi ini sangat penting. Tanpa literasi yang kuat pada UU Desa tidak akan bagus. Dana desa yang besar hanya akan terserap untuk beberapa saja, kepala desa dan lainnya,” ujar Yando Zakaria.
“Kalau kita mau kembali kepada kemajuan, ya seharusnya kembali bahwa negara untuk rakyat, bukan begara untuk Investasi. Investasi akan berakibat kepada desa. Karena investasi memerlukan beberapa kemudahan baik untuk perijinan maupun pelaksanaannya. Maka, investasi akan merugikan warga di sekitarnya. Sebelum ada UU Cipta Kerja, Musyawarah Desa itu sebelumnya tidak jalan ya. Semakin ada UU Cipta Kerja, semua itu diabaikan. Karena sebelumnya begitu investasi datang itu perlu persetujuan warga sekitar menerima atau menolak. Maka jika di kota banyak mengatakan bahwa desa inilah penghambat investasi atau program strategis,” ujar Sutoro Eko.
“Akan lebih mudah mendaftarkan Bumdes melalui online itu bukan mempersulit. Bahkan dulu, harus melalui notaris. Ini cukup mendaftarkan dan pendaftarannya sangat murah. Jadi sebenarnya hal ini lebih mempermudah melalui UU Cipta Kerja. Begitu juga UMKM, itu untuk kemudahan perizinan berusaha. Kita juga tidak bisa langsung mengatakan hal tersebut menjadi sulit. Harapannya ini menjadi tugas bersama untuk bagaimana masyarakat di desa, yakni SDM di desalah yang muncul,” ujar Dr. Badikenita Sitepu, anggota DPD RI.(*)