Rina Adriani Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Rabu pekan kemarin, kami mengadakan acara sederhana peringatan hari ulang tahun dua rekan kerja kami. Acara ini merupakan sebuah tradisi yang kami bangun untuk mempererat nuansa kekeluargaan.
Sebuah tradisi khusus untuk seluruh anggota di instansi kami bekerja yang sudah kami terapkan sejak dua tahun belakangan.
Flashback sejenak ke masa kecil, ketika menginjak usia empat tahun, undangan untuk menghadiri perayaan ulang tahun dari teman sepermainan kerap bergulir.
Dekorasi penuh balon warna warni, pita, snack, topi bertemakan ulang tahun menambah semarak acara. Bertumpuk kado pemberian dari teman-teman, saudara, paman dan tante serta keluarga lainnya menambah euforia momentum ini.
Kumandang lagu ‘panjang umurnya’ senantiasa terdengar merdu dan dinyanyikan dengan antusias pada sebagian besar orang yang merayakannya.
Namun bagaimana dengan mereka yang berulang tahun pada usia 60 tahun ke atas? Barangkali mulai timbul perasaan bahwa usianya tidak lagi bertambah namun berkurang dan semakin berikhtiar agar sisa umurnya menjadi berkat.
Betapa indah bila kita memaknai dan menghayati secara intens bahwa setiap hari adalah hari kelahiran sebagaimana setiap malam adalah malam kematian.
Hal ini meneguhkan bahwa saat kematian adalah yang paling dekat dengan manusia.
Tidak harus selalu sakit, ataupun usia yang sudah tua, menjadi penyebab dari kematian manusia, syarat itu tidak mutlak harus dipenuhi manusia sebelum kematian menjemputnya.
Seperti senang yang berpasangan dengan sedih, demikian pula kehidupan dan kematian laksana siang dan malam yang saling melengkapi.
Tidak ada kematian tanpa proses kehidupan yang mendahuluinya. Meski sebagian orang takut bila berbicara tentang kematian. Karena bagi banyak orang, kematian adalah kejadian yang sangat menakutkan terlebih bila ia datang tiba-tiba.
Peristiwa ini bila tidak disikapi dengan bijak akan berdampak negatif bagi psikis individu yang mengalaminya.
Tak ada orang yang ingin lekas meninggalkan dunia. Komponen bangunan kehidupan yang telah dibangun dengan kemapanan materi, kerja keras, nama baik, popularitas hingga prestasi cemerlang membuat hampir semua orang terlena dengan nikmatnya kehidupan duniawi.
Dengan meninggalnya seseorang otomatis segala yang dimilikinya di dunia pun ikut terlepas. Mulai dari keturunannya, harta yang susah payah dikumpulkan (emas, deposito, bangunan, kendaraan) dan lainnya.
Jika diamati dengan seksama, perjalanan hidup manusia merupakan rangkaian pertumbuhan, hantaman problematika, pengenalan kekuatan diri, keberserahan pada Tuhan YME, lalu diukir dengan kemenangan.
Berbagai proses kehidupan yang berlangsung dinamis ini melahirkan beragam emosi cemas, berharap, doa, syukur dan melalui proses itu terjadi seleksi alami bagi para sahabat bahkan musuhnya.
Namun perlu dipahami, setiap orang yang berada pada poros kehidupan sejatinya sedang menuju pada kematian.
Tentu berat bagi seseorang yg sedang berada di puncak karir dengan popularitas dan lembar rupiah yang diraupnya tiba-tiba harus meninggalkan dunia. Ketika kematian menjemput, artinya tugas Di dunia telah selesai.
Jika dirunut dari awal, ketika benih tumbuh subur di rahim sang ibu, di tempat inilah calon bayi mulai mengenal kehidupannya. Rahim ibu adalah tempat paling nyaman karena di ruang inilah calon bayi merasa terlindungi, tidak khawatir kelaparan, jauh dari suara hingar bingar karena yang paling dekat didengarnya adalah suara beserta detak jantung ibu yang mengandungnya.
Beberapa dari kita mungkin pernah bertanya, kenapa respon bayi menangis bukan tertawa ketika dilahirkan?
Saya memaknai tangisan pertama saat bayi lahir sebagai suatu respon yang menyatakan bahwa “si bayi sudah nyaman beberapa waktu berada di rahim ibu”.
Maka ketika ia ‘keluar’ dari ‘zona nyamannya’ yang sudah memberinya nikmat, keteraturan, serta perlindungan, ia bergejolak dan mengekspresikannya dengan menangis sekencang-kencangnya.
Ketakutan si bayi ketika keluar dari rahim, perlahan pudar saat ia benar-benar hidup di dunia yang baru diinjaknya.
Begitu juga ketika seseorang akan keluar dari dunia ini, meninggalkan dunia yang penuh dengan segala data tarik kemewahan dan kompleksitas masalah.
Kematian adalah pintu masuk untuk menuju kehidupan lain yang akan lebih nikmat dibandingkan kenikmatan duniawi.
Yang perlu dipersiapkan sebelum kematian menjemput adalah bagaimana kita mengubah kondisi suasana saat kelahiran. Jika suasana saat kelahiran si bayi menangis sementara orang disekitarnya tersenyum, saat kematian tiba kondisi demikian sepatutnya dibalik.
Orang yang meninggal pergi dengan tersenyum, dan orang yang ditinggalkannya menangis haru mengingat perbuatan baik yang dilakukan selama hidup.
Kehidupan adalah suatu ruang kesempatan untuk belajar dan melayani. Seperti bunyi kalimat bijak “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama”.
Kematian adalah hal yang pasti, ia adalah bentuk dimensi selanjutnya setelah kehidupan, karena kematian sesungguhnya melengkapi kehidupan.
Penulis merupakan lulusan Fakultas Ekonomi USU yang memiliki minat di bidang menulis. Penulis lahir 33 tahun lalu dan menggunakan nama reena_adriani pada akun media sosial Instagramnya. Pada kesempatan sebelumnya, penulis sudah menelurkan berbagai artikel opini dan juga puisi.