Hanter Oriko Siregar*
PIRAMIDA.ID- Jika ada kesempatan, semua orang akan kapitalis. Mengapa bisa begitu? Dunia ini berputar, bung. Seperti kata pepatah “roda kehidupan ini akan berputar”. Lalu bagaimana kita agar mendapatkan kesempatan dan posisi yang bagus. Bekerjalah dengan bijak, gunakan setiap kesempatan sebaik mungkin, jangan pernah takut gagal dan teruslah berjuang.
Saya kira itu kata kuncinya.
Lalu orang menjadi kapitalis, kok bisa? Manusia makan dari tanah, tapi tanah tak bisa dimakan. Manusia agar dapat memakan tanah, butuh sesuatu yang dapat mengolahnya menjadi makanan yang cepat saji. Perusahaan yang dapat mengolahnya tersebut adalah padi dan jenis tanaman lainnya. Sebagai contoh, tanaman padilah yang menyerap zat-zat pada tanah dan memproses menjadi makanan manusia. Itu artinya keseluruhan adalah bagian dari ekosistem dari hidup itu sendiri, mustahil dapat dipisahkan.
Pun dengan kapitalisme, mereka hanya mendapat kesempatan yang jauh lebih bagus dari Anda dan saya, semua semata-mata karena kerja keras dan usahanya dalam mencapai posisi yang baik dalam hidup ini. Ditambah keberuntungan berpihak pada mereka. Para kapitalis memiliki peran penting dalam perekonomian masyarakat, pemerintah, negara dan bahkan dunia.
Mereka sudah terlanjur berperan penting dalam menentukan jalan hidup ini atau bagian penting dari ekosistem ekonomi kehidupan manusia di muka bumi ini. Jikalaupun mereka sedikit kejam dalam meraup untung, semata-mata mereka hanya ingin menunjukkan bahwa hidup ini sungguh keras dan kejam.
Pun mereka dalam mengapai pada posisi saat itu, butuh kerja keras, usaha, tekat dan perjuangan yang tanpa henti. Sedikit bercerita tentang pengalaman penulis. Sore itu, saya kerja di sawah, tepat menjelang malam minggu. Sawah tersebut terletak di dekat perkampungan, dihimpit oleh dua kampung yang berbeda, di sebelah kiri dan kanan.
Air dari sawah itu mengalir dari parit, yang adalah air sebagian besar dari hasil pembuangan kamar mandi di setiap rumah di kampung itu. Entah itu hasil nyuci kain, piring, atapun hasil permandian sekujur tubuh dan – yang lebih ngeri lagi – air hasil pembuangan tinja (BAB) masyarakat di kampung itu semua.
Maklum, orang kampung, sebagian masyarakat buang air besar kebanyakan masih di parit persis di belakang rumahnya atau di sungai terdekat. Kalau pun di WC, tetap pembuangannya dialiri ke parit. Nyatanya, tau gak? Tak dipungkiri air di parit itu juga yang dimanfaatkan para petani dalam mengaliri setiap sawahnya.
Perlu Anda bayangkan, di setiap pangkalan air dari parit yang mengalir langsung ke sawah itu, kadang menggumpal kotoran dari hasil pembuangan limbah masyarakat itu sendiri.
Tak terhindarkan sekaligus disyukuri juga, sih. Hehehe.
Bagaimana kalau gak ada sama sekali sawah yang mau dikerjakan. Kebetulan sawah itu adalah kepunyaanmu atau milikmu, dan merupakan harta dari warisan nenek moyang Anda. Suatu saat Anda membersihkan untuk ditanami kembali padi. Pas membersihkannya dengan mengunakan cangkul dan/atau peralatan lainnya, Anda bisa bayangkan airnya muncrat seketika ke mulutmu dan membasahi bibir lembutmu, lumpurnya pun turut serta bersumbangsih mengotori wajahmu.
Ditambah Anda menyadari, kotoran semua orang kampung itu menghiasi pintu masuk yang mengaliri sawah tersebut. Semua noda itu seakan menari-nari dan menyambutmu dengan gembira, persis di aliran air yang mengalir ke sawah tersebut. Jika Anda benar ada di posisi itu, bisa-bisa gak selera makan selama seminggu. Benar-benar pekerjaan yang menawarkan kejijikan. “Iiiiih dasar…,” bayanganku mencolek.
Entah mengapa, saat itu pikiranku malah bebas membawaku entah ke dunia mana. Akan tetapi yang jelas, saya terhanyut dalam angan-angan. Jika kebetulan saat itu Anda berada pada posisi itu, masih mudah, dan lumayan.
Saya yakin, seketika Anda juga akan terhempas oleh angan-angan. Dalam dunia imajinasi itu, cita-cita akan mengembara sedemikian hebat, ia akan mengguncang hati, pikiran dan jiwamu. Rayuannya yang penuh hasrat, akan membuat Anda terawang-awang dalam pelukannya.
Kemudian saat Anda tersadar dengan mulut rasa yang tak terkatakan dan wajah yang menjijikkan, serta aroma bau lumpur yang menyengat. Jika seketika itu juga aku berada persis di hadapanmu dan bertanya, Anda mau memilih seperti ini atau menjadi seorang kapitalis?
Saya kira jawabanmu persis seperti yang saya duga. Ya setidaknya, menghindari menjadi seorang petani. Wkwkwkw.. Hidup ini realistis, bro! Tapi sayang waktu belum memberikan keberuntungan. Tapi, bukankah petani itu pekerjaan yang mulia?
Separuh masyarakat mengakui bahwa petani dikatakan sebagai pekerjaan yang mulia. Busset daah..! Itu pernyataan saya kira omong kosong. Ya, tak sepenuhnya benar sih dan tak bisa juga disalahkan. Menurutku, itu kata-kata tidak lahir dari para petani dan mereka tidak mengakui yang dimaksudnya.
Saya kira, kalaupun bisa menghindar, saya yakin mereka akan menghindar. Kata-kata itu lahir dari orang yang bukan petani, bermaksud semata-mata hanya untuk menyemangati para petani belaka. Tak percaya? Coba aja suruh mereka yang berkata demikian bertani, saya yakin kebanyakan dari mereka tidak akan mau.
Kalaupun mau, ya setidaknya karena lahannya disediakan. Maklum, masyarakat suka yang serba gratisan. Namun pada akhirnya, saya menulis demikian bukan bermaksud menjadi seorang kapitalis. Setidaknya hanya memberikan pemahaman yang mencoba menawarkan keseimbangan. Ya, para kapitalis jangan dihujat sepenuhnya, dikritisi habis-habisan. Nyatanya hidup kita jauh lebih ambruk (buruk).
Penulis merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Simalungun.