Lidya Putri*
PIRAMIDA.ID- Korupsi, yang kata Latinnya ‘corruptio’ dari kata kerja ‘corrumpere’ yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Menurut Kartono, korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna memperoleh keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Sementara menurut Wertheim, korupsi berawal dari balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seseorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya atau hingga kepada kelompoknya. Secara garis besar, korupsi merupakan tindakan yang mementingkan kepentingan pribadi dengan cara ilegal sehingga bersifat merugikan kepentingan umum.
Ada beberapa sebab terjadinya korupsi. Menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah pertama kelemahan moral, kedua tekanan ekonomi, ketiga hambatan struktur administrasi, dan keempat hambatan struktur sosial.
Sebab lainnya yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna, administrasi yang lamban serta tidak luwes, tradisi untuk menambah penghasilan, anggapan “sudah biasa” terhadap tindakan korupsi di mana contohnya seperti pembiasaan budaya suap-menyuap, dan hukuman yang cenderung ringan dan tidak sesuai dengan besaran yang telah dikorupsi.
Sementara menurut pendapat sosiolog legendaris, seperti Ibn Khaldun (1332-1406), sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Untuk memenuhi belanja kemewahan itulah kelompok yang memerintah terpikat dengan urusan-urusan korupsi. Sebab-sebab lain merupakan efek lanjutan yang disebabkan oleh korupsi selanjutnya, merupakan reaksi berantai yang disebabkan oleh korupsi.
Korupsi kelompok penguasa menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi, dan kesulitan ini pada gilirannya menjangkit korupsi yang lebih lanjut.
Dalam suatu masyarakat korup, dualisme dalam kegiatan lembaga-lembaga negara paling banyak dijumpai. Dalam setiap kasus senantiasa ada prosedur resmi dan tidak resmi. Para penaksir pajak mengunjungi rumah dan menawarkan pengurangan taksiran untuk memperoleh imbalan.
Pemasukan universitas bisa dilakukan melalui pintu belakang. Berbagai izin bisa diperoleh melalui cara yang sama. Membuat Surat Ijin Mengemudi (SIM) juga sudah umumnya ada dua jalur. Dalam hampir setiap kegiatan resmi bisa ditemui dualisme ini.
Pertalian korupsi dan kriminalitas merupakan suatu fenomena yang dikenal luas. Namun, bentuk-bentuk pertalian itu berbeda-beda menurut derajat korupsinya. Ketika korupsi berkembang makin parah, bentuk-bentuk ini makin berlipat ganda. Demikianlah, kasus-kasus yang menyeret para elit politik saat ini sudah semakin lumrah terjadi.
Jika melihat kasus ke belakang, ada kasus korupsi wisma atlit (Hambalang) yang menyeret para elit politik Partai Demokrat, kemudian kasus lain misalnya korupsi impor sapi yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Kendatipun kita kadangkala bisa mendapatkan beberapa data tentang korupsi, namun ini sama sekali tidak cukup untuk membenarkan usaha biaya korupsi.
Kasus- kasus korupsi yang diketahui hanyalah bagian tidak berarti belaka dari kegiatan ini. Dalam kelangkaan data statistik, usaha untuk menaksir harga korupsi dan menetapkan tipologinya, menjadi betul-betul sia-sia. Hal ini tidak bisa dilakukan lebih dari generalisasi-generalisasi yang sudah jelas.
Pada pihak lain, penelitian terhadap fenomenologi dan tipologi korupsi, begitu juga dengan fungsinya sebagaimana dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang terjadi dalam suatu negeri yang dilanda korupsi hebat, bisa membantu meningkatkan pemahaman dan penjelasan kita atas fenomena tersebut.
Jarangnya data kuantitatif yang cukup tidak berarti tiada soal lain yang harus dikaji. Efek-efek perkembangan korupsi sangatlah jelas. Dalam kasus Indonesia, tak seorangpun baik dari partai politik, kelompok sosial, hingga administrasi pemerintahan pernah mengingkari adanya korupsi. Efek-efeknya terlalu jelas untuk disembunyikan. Monograf ini bukanlah suatu studi deskriptif tentang korupsi dalam suatu kawasan tertentu, akan tetapi suatu penjelajahan teoritis tentang fenomena itu, dengan ditopang data kontemporer yang tersedia tentang korupsi.
Budaya korupsi di dalam birokrasi bisa diminimalisir dengan cara merubah paradigma birokrat itu sendiri, untuk memberikan asumsi terhadap cara merubah secara fundamental birokrasi di negara kita, bahwa penanggulangannya harus dimulai dengan cara yang tersistematis. Dalam hal ini, mengawali dengan sistem perekrutan dan pengangkatan harus dijauhkan dari asas kekeluargaan atau politik, sehingga birokrat yang terpilih adalah birokrat profesional.
Kedua, adalah penyederhanaan meja-meja birokarsi dalam merumuskan dan menjalankan suatu program kerja, dengan demikian peluang pejabat untuk mendapatkan gratifikasi dapat diminimalisir.
Ketiga, ada evaluasi dari pelayanan publik yang disediakan tiap-tiap penyelenggara setiap waktu yang sebelumnya telah disepakati, dengan cara meminta angket dari masyarakat. Keempat, menggunakan pelayanan publik berbasis teknologi komputer (IT).(*)
Penulis merupakan Mahasiswa UMRAH. Saat ini tinggal di Kijang, Bintan. Untuk keperluan diskusi terhadap penulis dapat menghubungi kontak berikut: 0877-9171-6810.