PIRAMIDA.ID- Sejumlah penulis dan pembuat film di abad lampau sering mempertanyakan dan membayangkan kehidupan umat manusia pada masa mendatang. Sering-seringnya, gambaran yang ada dalam buku fiksi atau film karya mereka ini tidak terlalu menggembirakan. Tidak seperti utopia, novel-novel distopia banyak menggambarkan pandangan akan masa depan yang suram.
Gambaran ini muncul sebagai efek samping Revolusi Industri di abad ke-19, dan pertanyaan atas kepercayaan orang-orang pada teknologi dan kemajuan pada saat itu. Berikut karya-karya distopia yang ditulis puluhan tahun lampau namun masih, dan semakin, relevan dengan keadaan masa kini.
Pergulatan kekuasaan dan pengawasan massa
Novel alegoris berjudul Animal Farm karya George Orwell diterbitkan 75 tahun lalu tanggal 17 Agustus 1945. Novel ini bercerita tentang hewan-hewan yang bekomplot untuk menggulingkan kekuasaan manusia atas diri mereka. Ceritanya merujuk pada kekacauan dan trauma akan Perang Dunia II yang dituliskan dalam satir politik. Novel ini mengungkapkan pandangan suram tentang kemanusiaan.
Sementara di buku lainnya yang berjudul 1984 yang terbit tahun 1949, Orwell juga melukiskan gambaran suram tentang kontrol oleh negara totaliter. Buku ini menggambarkan keadaan di tahun 1984 di mana pemerintah melakukan pengawasan massal dan represif terhadap perilaku keseharian warganya. Tidak ada yang bisa lepas dari pengawasan ini dan melarikan diri tampaknya sungguh mustahil karena adanya para polisi pengawas pemikiran.
George Orwell, yang merupakan jurnalis asal Inggris ini hidup antara tahun 1903 hingga 1950. Semasa hidupnya, ia sama sekali tidak membayangkan bahwa suatu hari nanti, novel fantasinya akan jadi begitu mirip dengan kenyataan karena keberadaan internet dan media sosial yang senantiasa memantau warga dunia.
Kebebasan berpikir dan konsumerisme
Dalam novel fantasi yang berjudul Fahrenheit 451, sastrawan asal Amerika Serikat, Ray Bradbury, menggambarkan bahwa pemikiran yang bebas dianggap berbahaya dan antisosial. Di Amerika yang pengukuran suhunya memakai satuan Fahrenheit, Fahrenheit 451 adalah suhu di mana kertas diperkirakan dapat terbakar dengan sendirinya. Dalam novel yang terbit tahun 1953 ini, Ray Bradbury menggambarkan keadaan di sebuah negara di mana orang tidak boleh memiliki atau bahkan membaca buku.
Masalah kebebasan berpikir juga sempat disinggung dalam dongeng berjudul Momo, karya Michael Ende. Dalam bukunya, penulis asal Jerman ini sempat menyinggung anak-anak yang dikirimkan ke sekolah agar tidak ‘membuang waktu’ dengan banyak bermain dan berimajinasi bersama teman-teman.
Alih-alih bermain dengan sesamanya, anak-anak digiring untuk bermain sendiri dengan sebuah boneka yang akhirnya mendorong mereka kepada gaya hidup konsumeris dan terasing.
Dampak penemuan mesin terhadap manusia
Film bisu karya sutradara asal Jerman, Fritz Lang, yang berjudul Metropolis pertama kali tayang di tahun 1927. Film ini berlatar di kota besar imajiner pada tahun 2030. Saat itu umat manusia dibagi menjadi dua kelas: Satu kelas memanjakan diri dalam kemewahan, sementara yang lain harus bekerja keras di sebuah mesin besar yang terletak di dunia bawah. Jurang antara para pekerja dan kaum berpunya digambarkan begitu lebar.
Sayangnya, kesenjangan sosial yang begitu nyata antara para super kaya dan kaum miskin bukan hal yang aneh pada saat ini. Pada saat dirilis, karya epik Lang mendapat kritik beragam. Film ini mengeksplorasi dampak inovasi teknis dan dianggap sebagai pelopor genre distopia.
Sementara di buku berjudul The Futurological Congres, penulis kelahiran Polandia, Stanislaw Lem, seolah telah meramalkan pergolakan teknis abad ke-21 dengan sungguh menakjubkan. Tidak hanya itu, dalam karyanya yang lain seperti Golem XIV dan Solaris, Lem sering berfokus pada pertanyaan penting seputar masalah filosofi dan etika. Ke mana arahnya teknologi otomasi yang begitu diagungkan umat manusia? Protagonis dalam karya-karya Stanislaw Lem tidak selalu berpandangan optimistis.
Kebahagiaan ada di mana?
Di mana letaknya tanah yang bisa mencukupi kebutuhan para warganya? Di mana orang-orang yang bahagia hidup? Pertanyaan ini menjadi pokok persoalan di buku Utopia karya penulis Inggris dari abad ke-16 yakni Thomas More. Dia hidup di era Renaisans, Reformasi, dan penemuan Dunia Baru.
Buku ini menampilkan tokoh yang bekerja sebagai pelaut dan menggambarkan keadaan masyarakat yang ideal. Tokoh tersebut dan More memperdebatkan prinsip-prinsip kepemilikan pribadi dan kesetaraan sosial. Novel “Utopia” pada akhirnya membentuk genre sastra fiksi utopia.
Sumber: DW Indonesia