PIRAMIDA.ID- Awal 2021, Indonesia dihadirkan dengan sejumlah bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Para ahli ekologi beranggapan bahwa rentetan bencana alam disebabkan peralihan lahan yang merusak tatanan ekologis di tanah air.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan Agustus 2020 di jurnal Ecology and Society, para peneliti menyampaikan peralihan lahan yang diabaikan otoritas Indonesia untuk perluasan perkebunan monokultur seperi sawit dan karet. Akibatnya meningkatkan potensi banjir yang berdampak buruk bagi kehidupan.
Peneliti gabungan dari Institut Pertanian Bogor, University of Göttingen, bersama BMKG mewawancarai sejumlah petani, masyarakat desa, dan pemangku kebijakan di Provinsi Jambi.
Para peneliti membandingkan dan menganalisa wawancara itu dengan pengukuruan ilmiah pada curah hujan, sungai, permukaan air tanah, pendataan terhadap properti dan pengunaan lahan pada wilayah tersebut.
Antara 1990 hingga 2013, mereka menemukan bahwa hutan di Jambi berkurang 25 persen, dari 6.835 kilometer persegi menjadi 5.108 kilometer persegi. Saat ini sebagian besar kawasan hutan tersisa di pegunungan atau hulu sungai.
Selama 20 tahun terakhir, area yang ditanami sawit meluas hingga 54 persen dari 939 kilometer persegi menjadi 1.451 kilometer persegi. Perkebunan karet meningkat 25 persen dari 2.714 kilometer persegi menjadi 3.404 kilometer persegi. Sedangkan area persawahan campuran relatif sama dalam periode penelitian.
Dalam temuan metode diskusi kualitatif, mereka mengungkapkan bahwa masyarakat setempat mengalami perubahan drastis terkait intensitas frekuensi banjir selama 10 hingga 15 tahun terakhir.
Mereka menyebutkan maraknya banjir terjadi setelah kawasan hutan dan rawa yang selama ini menjadi penahan dan penyimpan air telah berubah menjadi perkebunan sawit dan karet. Di sisi lain juga curah hujan tidak lagi mengikuti pola musim dan sulit untuk diprediksi masyarakat, khususnya petani.
“Pengamatan umum di antara penduduk desa adalah bahwa banjir saat ini akan terjadi lebih cepat, dan bahkan setelah curah hujan yang singkat,” ungkap para peneliti. “Dalam ingatan mereka, banjir di masa lalu hanya terjadi setelah curah hujan yang berkepanjangan.”
Melalui penelitian dengan metode kuantitatif, para peneliti mengamati permukaan air sungai setelah mendapatkan laporan masyarakat. Mereka menemukan setiap bulan sungai Tembesi di Jambi mengalami peningkatan ketinggian yang signifikan dari rata-rata permukaan air sungai tahunan, sebesar 0,10 meter dalam periode 1997-2016. Peningkatan ini lebih tampak pada musim hujan dengan rata-rata 0,12 meter per tahun, dibandingkan peningkatan di musim kemarau dengan 0,06 meter per tahun.
“Analisis ketinggian air sungai menunjukkan bahwa banjir merupakan komponen penting dalam hidrologi Sungai Tembesi. Oleh karena itu, kami menggunakan model elevasi digital dan jaringan sungai untuk menghasilkan peta risiko banjir,” terang mereka.
Dari pendapat masyarakat, pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase juga berkontribusi pada perubahan pola banjir lokal. Karena perkebunan kelapa sawit secara khusus semakin banyak dibudidayakan di lahan basah—seperti lahan gambut—pemilik perkebunan yang berusaha mengontrol banjir di tanah mereka melalui fasilitas tersebut.
“Namun, bendungan seperti itu sering kali menyebabkan peningkatan banjir di persawahan petani kecil di sekitarnya,” Terang Jennifer Merten, peneliti University of Göttingen, melalui rilisnya.
“Tentu, sangat penting untuk meregulasi dan mengontrol intervensi bentang alam untuk melindungi dari banjir dan (sebagai) drainase. Jika tidak ditindak, akan menyebabkan dampak peningkatan banjir kepada masyrakat yang lebih miskin, sebab perusahaan besar hanya membuat airnya lewat begitu saja.”
Marten bersama timnya juga memprediksikan sekitar 408 kilometer persegi tanah yang berdekatan dengan sungai akan tergenang. Bencana ini dapat berdampak negatif pada infrastruktur lokal, pertanian, dan penduduk desa.
Tentunya, peristiwa bencana dan sulitnya memprediksi banjir musiman berdampak pada sosial ekonomi secara signifikan, seperti gagal panen yang terjadi pada petani kecil di kawasan tepi lokal. Akibatnya, berdasarkan laporan pemerintah setempat, kerugian itu menjadi alasan utama bagi para petani mengubah lahannya menjadi perkebunan kelapa sawit.(*)
National Geographic