Jibal Windiaz*
PIRAMIDA.ID- Rokok sebagai sarana diplomasi telah teruji lewat berbagai kesempatan. Seperti pada penggalan sejarah Haji Agus Salim pada perjamuan di Westminister Abbey, London, Inggris tahun 1953. Kepulan asap kretek The Grand Oldman itu mampu membuat Duke of Edinburgh, suami Elizabeth II terpahami berkat timpalannya menyoal kretek.
Patut diakui, rokok dari waktu ke waktu telah mengisi ruang-ruang tradisi serta kehidupan masyarakat. Menjadi perekat sosial antar golongan. Sejarah budaya dari produk tembakau ini telah memberi andil besar bagi perjalanan suatu bangsa.
Di fase kenormalan baru ini, media tak henti pula menyoroti persoalan COVID-19 dan rokok. Pihak pemerintah dan para ahli kesehatan menganjurkan masyarakat untuk sadar menjalani protokol penanganan COVID-19. Sebagian pihak bahkan ada yang mengait-ngaitkannya dengan kebiasaan mengonsumsi rokok.
Pada faktanya, rokok dan tembakau juga dijadikan sarana untuk memudahkan proses-proses tim medis maupun aparat demi penanganan COVID-19. Seperti halnya yang pernah terjadi di Papua, tepatnya di Distrik Ambatkuy. Tenaga kesehatan dari Puskesmas setempat menggunakan rokok untuk memudahkan berkomunikasi dengan warga sekitar.
Dengan sebungkus atau dua bungkus rokok, mereka melakukan barter dan memulai percakapan dengan masyarakat asli pedalaman yang kesehariannya hidup dari berburu dan berkebun di hutan. Lewat perkenalan yang akrab dengan rokok, mereka membangun kepercayaan masyarakat untuk kemudian dapat memberikan penyuluhan terkait perilaku hidup bersih dan sehat.
Beberapa waktu lalu, hal serupa juga terjadi di daerah Tambakselo, Grobogan, Jawa Tengah. Kali ini dilakukan oleh TNI Kodim 0717/Purwodadi saat bertugas di desa tersebut. Mereka menjadikan rokok sebagai sarana untuk mencairkan suasana dan menjalin keakraban dengan warga. Melalui produk tembakau itulah sesuatu yang dimaknai sebagai kebersamaan terbangun.
Bukan lagi hal baru sebetulnya bagi kita para perokok melihat realita semacam itu. Sebagian masyarakat mungkin menganggap lumrah saja, namun jika kita sandingkan dengan berbagai tuduhan berdalih kesehatan yang mendiskreditkan perokok. Realita itu menjadi suatu paradoks yang menggelikan.
Rokok yang kerap menimbulkan kontroversi itu justru dapat dimaknai manfaatnya oleh mereka sebagai sarana yang positif. Lain halnya ketika rokok melulu dicitrakan negatif oleh sebagian kalangan maupun media. Seolah-olah produk legal tersebut tak ada sisi baiknya.
Iya sebagai kaum sebats berhati nyaman, kita mungkin hanya bisa tersenyum simpul. Melihat beragam paradoks yang terjadi di berbagai kesempatan. Sebagaimana kita ketahui, sebagian kalangan mencap perokok sebagai momok bagi kesehatan lingkungan. Lebih jauh lagi bahkan masih saja terjadi upaya-upaya diskriminasi atas nama regulasi dan hal absurd lainnya.
Semestinya, semua pihak dapat obyektif dalam menyikapi persoalan produk tembakau. Senantiasa terdapat hal-hal positif yang bernilai kebaikan. Bahwa produk legal berupa rokok ini bukanlah sesuatu yang melulu dibencPi bahkan didorong untuk menjadi musuh bersama. Toh, masyarakat juga tahu bagaimana berlaku proporsional dan santun dalam merokok.
Penulis merupakan kontributor di Komunitas Kretek Indonesia.