PIRAMIDA.ID- William Shakespeare menjalani seluruh hidupnya dalam bayang-bayang penyakit pes. Pada 26 April 1564, dalam daftar paroki Holy Trinity Church di Stratford-upon-Avon, John Bretchgirdle, mencatat pembaptisan seorang bernama “Gulielmus filius Johannes Shakspere.”
Beberapa bulan kemudian dalam daftar yang sama, vikaris mencatat kematian Oliver Gunne, seorang penenun. Dia menuliskan kata-kata “hic incipit pestis“, yang bermakna “di sini mulai wabah“.
Pada tahun-tahun itu epidemi merenggut nyawa sekitar seperlima dari populasi kota London. Untungnya, nyawa bayi bernama William Shakespeare dan keluarganya terselamatkan.
Wabah seperti itu tidak mengamuk selamanya. Dengan bantuan karantina yang ketat dan perubahan cuaca, epidemi perlahan-lahan berkurang, seperti yang terjadi di Stratford. Kehidupan pun kembali seperti semula.
Namun, selang beberapa tahun, di kota-kota besar dan kecil di seluruh dunia, wabah pes kelak kembali. Biasanya muncul dengan sedikit atau tanpa peringatan, dan celakanya sangat menular.
Korban akan terbangun karena demam dan kedinginan. Perasaan sangat lemah atau letih, diare, muntah, pendarahan dari mulut, hidung, atau dubur. Juga, tanda-tanda bubo atau pembengkakan kelenjar getah bening di selangkangan atau ketiak. Kematian hampir pasti mengikuti setelahnya.
Shakespeare harus bergulat sepanjang karirnya dengan wabah penyakit yang parah sepanjang 1582, 1592-93, 1603-04, 1606, dan 1608-09.
Sejarawan teater J. Leeds Barroll III dalam majalah The New Yorker, mengungkapkan bahwa pada kisaran 1606 dan 1610, gedung teater London tidak buka selama lebih dari sembilan bulan. Dan, pada periode inilah Shakespeare menulis dan menghasilkan beberapa drama termasyhurnya dari Macbeth, Antony and Cleopatra, The Winter’s Tale, dan The Tempest.
Namun demikian, ada perkara yang menarik. Dalam drama dan puisinya, Shakespeare hampir tidak pernah secara langsung mengungkapkan kehadiran wabah itu. Seperti Thomas Nashe, sastrawan sezaman, membuat A Litany in Time of Plague.
Dalam karya Shakespeare, penyakit epidemi sebagian besar muncul dalam pidato tokoh-tokohnya dengan ungkapan metaforis tentang amarah dan jijik. Metafora tentang wabah itu muncul di seluruh karya Shakespeare dalam bentuk seruan sehari-hari.
Wabah diterima sebagai bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan. Wabah muncul juga dalam bentuk efek komik, seperti ketika Beatrice mengolok-olok Benediktus dalam karya bertajuk Much Ado About Nothing:
“Ya Tuhan! Dia akan menggantungnya seperti penyakit. Dia lebih cepat tertangkap daripada wabah penyakit, dan pencuri berjalan sekarang gila. Tuhan tolong yang mulia Claudio. Jika dia telah menangkap Benediktus, itu akan menghabiskan biaya seribu pound sebelum sembuh.”
Wabah sebagai peristiwa aktual hanya menonjol di salah satu drama Shakespeare. Friar Laurence, dalam Romeo and Juliet, telah meminta seorang rekan biarawan untuk menyampaikan pesan penting kepada Romeo di pengasingan di Mantua, memberitahukan kepadanya tentang obat pintar yang akan membuat Juliet tampak telah mati.
Dalam beberapa baris, kurir menyampaikan banyak informasi, jauh lebih dari sekadar diperlukan untuk persyaratan plot:
Akan menemukan saudara bertelanjang kaki keluar,
Salah satu pesanan kami, untuk mengaitkan saya,
Di sini, di kota ini mengunjungi orang sakit,
Dan menemukannya, para pencari kota,
Curiga bahwa kami berdua ada di rumah
Di mana wabah menular memang memerintah,
Menutup pintu dan tidak akan membiarkan kita keluar,
Sehingga kecepatan saya ke Mantua tetap ada.
Shakespeare tampaknya telah berbagi skeptisisme Nashe bahwa akan ada solusi medis untuk wabah itu. Dan dari apa yang kita ketahui tentang ilmu pada masanya, pesimisme ini dibenarkan.
Dia memusatkan perhatiannya pada wabah yang berbeda, wabah diperintah oleh seorang pemimpin yang ulet, bangkrut secara moral, tidak kompeten, berlumuran darah, dan akhirnya merusak diri sendiri.
Sumber: National Geographic Indonesia/Fikri Muhammad