Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Jika ada Karen Armstrong ala Indonesia, saya ingin melamarnya: jadi murid maupun suaminya. Sebab, ia merupakan perempuan hebat, cerdas dan percaya diri untuk menjadi dirinya. Seakan-akan tidak ada perempuan yang mampu memukau diriku selain Karen Armstrong.
Tulisan-tulisannya sangat aktual dan membumi, renyah sehingga mudah dipahami. Hebatnya, ia bukan doktor yang lulus dan memilih kehidupan tidak menikah. Dua hal ini makin membuatnya hebat karena tanpa gelar doktor di pundaknya, ia mampu meyakinkan diri dan orang banyak bahwa gelar bukan segalanya.
Selain itu ia membuktikan bahwa kesendirian juga bukan problem besar dalam mengarungi kehidupannya yang keras [karena penyakit yang dideritanya].
Dalam biografinya, Karen Armstrong menulis sebagai mantan biarawati dari Ordo Society of the Holy Child Jesus. Ini adalah ordo pengajaran dan pelatihan yang sangat disiplin. Setelah melewati masa-masa sebagai postulan dan novisiat, ia dikirim ke St Anne’s College, Universitas Oxford.
Di sana ia belajar sastra dan sejarah Inggris. Setelah lulus, ia masuk ke program doktoral dengan menulis disertasi tentang Alfred Lord Tennyson. Kemudian mengajar di Universitas London, tetapi disertasinya ditolak oleh seorang penguji luar.
Akhirnya ia meninggalkan kuliah tanpa menyelesaikan studi doktornya.
Beberapa karya yang hebat darinya: The Bible: A Biography (2007), The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006), Muhammad: A Prophet For Our Time (2006), A Short History of Myth (2005), The Spiral Staircase (2004), Faith After September 11th (2002), The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000), Buddha (2000), Islam: A Short History (2000), In the Beginning: A New Interpretation of Genesis (1996), Jerusalem: One City, Three Faiths (1996), A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993), The End of Silence: Women and the Priesthood (1993), The English Mystics of the Fourteenth Century’ ‘ (1991), Muhammad: a Biography of the Prophet (1991), Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World (1988), The Gospel According to Woman: Christianity’s Creation of the Sex War in the West (1986), Tongues of Fire: An Anthology of Religious and Poetic Experience (1985), Beginning the World (1983), The First Christian: Saint Paul’s Impact on Christianity (1983), Through the Narrow Gate (1982).
Karen Armstrong juga menulis sejumlah artikel untuk The Guardian dan jurnal-jurnal internasional lainnya. Tetapi, fokus kajiannya tetap tentang masalah agama. Ia selalu saja berusaha secara empatik untuk masuk ke dalam perasaan dan jiwa para pemuja tuhan tersebut kemudian berusaha menjelaskan dan mengelaborasi serta memberikan suatu pencerahan, dengan bahasanya sendiri, kenapa kepercayaan itu bisa timbul.
Tidak salah jika setiap pembahasan mengenai tuhan, ia selalu mengedepankan rasa dibandingkan aspek intelektualitas atau kritik. Maksudnya adalah ia mengedepankan pemahaman dari pada mencari kelemahan-kelemahan teologis. Ia mengabaikan logika intelektual demi tujuan pemahaman psikologis-teologis.
Tentu saja ini dapat dipahami karena Karen sangat dipengaruhi oleh para psikolog-agama seperti Rudolf Otto, William James, bahkan para mistikus seperti Mircea Eliade, Huton Smith dan Frichof Schoun dan ahli sejarah agama Wilfred Cantwell Smith dan Peter Berger.
Salah satu kalimat hipotesanya yang paling sering ia munculkan berkali-kali dalam banyak bukunya adalah bahwasanya setiap kepercayaan atau teologi mengenai Tuhan dalam periode waktu tertentu akan mengalami suatu perubahan dikarenakan situasi dan kondisi manusia itu sendiri.
Setiap konsep Tuhan akan ditentang kemudian secara lambat laun atau drastis digantikan dengan konsep atau keyakinan yang lain yang lebih sesuai atau mampu beradaptasi atau cocok dengan kondisi masyarakat waktu itu. Konsep ketuhanan yang lama akan digantikan dengan konsep ketuhanan yang baru apabila dirasa konsep ketuhanan yang lama tidak lagi diterima oleh masyarakat dalam periode tersebut.
Singkatnya, Tuhan dan agama adalah produk sejarah kemanusiaan yang berkembang dalam fase-fase yang panjang dan selalu berganti atau menyempurna hingga lebih diterima oleh zamannya.
Hipotesa yang lain adalah Karen percaya bahwa agama dapat menjadi sumber perdamaian dan kebahagiaan manusia. Hipotesa ini bersumber dari harapannya akan kedamaian dan kebermaknaan hidup antar sesama manusia yang muncul dalam bentuk teologi perdamaian.
Singkatnya, agama tetap harus difungsikan sebagai alat Bantu utama agar manusia dapat menjalankan rasa saling menyayangi dan mengasihi.
Dalam paragraf terakhir dari buku Sejarah Tuhan yang ia tulis, “Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan; jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad kedua puluh satu, mungkin kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan.”
Hipotesa Karen Armstrong Tentang Fundamentalisme
Menurut Karen, karena agama harus menjadi garda depan dan agen perdamaian dunia maka ia harus dijauhkan dari anasir-anasir fundamentalisme yang merusak. Lalu, Karen Armstrong mengajukan teori tentang fundamentalisme sebagai usaha sentral bagi penafsirannya tentang sejarah agama.
Menurutnya pemahaman manusia di masa budaya-budaya pra-modern memiliki dua cara berpikir yang saling melengkapi dan saling membutuhkan, berbicara dan menulis: mitos dan logos. Mitos berkaitan dengan makna; ia “memberikan orang sebuah konteks yang membuat kehidupan mereka sehari-hari masuk akal (makes sense).
Mitos mengarahkan perhatian mereka kepada yang kekal dan yang universal. Mitos juga memberikan kelegaan hati dalam berhidup.” Logos, sebaliknya, berkaitan dengan masalah-masalah praktis. Ia menempa, menguraikan pemahaman-pemahaman manusia (insight), menguasai lingkungan, dan menciptakan hal-hal yang baru dan segar demi tercapainya kehausan intelek atau akal pikiran.”
Karen Armstrong berpendapat bahwa masyarakat Timur masih menggunakan dua budaya, sebaliknya masyarakat Barat modern telah kehilangan pemahaman tentang mitos dan menobatkan logos sebagai dasarnya.
Narasi mitis dan ritual serta makna-makna yang terkait kepadanya telah kehilangan otoritas dibandingkan dengan apa yang rasional, pragmatis dan ilmiah–tetapi yang tidak mampu mengurangi atau mengangkat penderitaan dan kedukaan manusia, dan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai yang ultima dari kehidupan manusia.
Tetapi, Timur dan Barat memiliki problem yang sama. Jika masyarakat Timur berkehendak menolak Logos dan menggantinya dengan iman buta sehingga melahirkan fundamentalisme tekstual, masyarakat Barat melakukan fundamentalisme liberal; sebuah pola kehidupan tanpa sadar mengubah mitos iman mereka menjadi logos yang menyalahkan selainnya.
Dus, fundamentalisme tekstual yang reaktif maupun fundamentalisme liberal yang dogmatis adalah anak dari modernitas, sebab kaum fundamentalis pada dasarnya adalah orang modern.
Hipotesa-hipotesa Karen Armstrong ternyata kemudian mempengaruhi tindakan-tindakannya dalam beragama.
Sebagai seorang pakar agama-agama yang telah banyak menghasilkan berbagai tulisan mengenai berbagai agama, ia melukiskan keyakinannya dalam sebuah wawancara dengan wartawan pada 2000 dengan mengatakan bahwa, ”Biasanya saya menggambarkan diri sendiri sebagai seorang monoteis freelance (bebas). Percaya Tuhan tetapi tidak terikat pada satu agama. Saya menggali sumber keyakinan saya dari banyak agama yang ada. Saya tidak dapat melihat salah satu daripadanya memiliki monopoli terhadap kebenaran, masing-masing daripadanya mempunyai keunggulan dibandingkan yang lainnya.
Masing-masing mempunyai geniusnya sendiri dan masing-masing mempunyai kelemahan dan tumit achillesnya sendiri. Tetapi baru-baru ini saya menulis tentang kehidupan singkat (cerita) dari Sang Buddha, dan saya merasa terpesona oleh apa yang dikatakan beliau tentang spiritualitas, tentang yang ultima (yang tertinggi, terpenting), tentang welas asih dan tentang perlunya membuang ego sebelum kita dapat berjumpa dengan yang ilahi. Dan, menurut pandangan saya, semua tradisi besar mengatakan hal yang sama dalam cara yang lebih kurang sama, meskipun dari permukaan tampak mereka berbeda-beda.”
ST Sularto [wartawan Kompas] menulis bahwa, ”Antara Rowling dan Karen Armstrong memiliki beberapa persamaan; sama-sama perempuan, warga negara Inggris dan menangguk banyak uang dari menulis buku.”
Kita tahu bahwa bukunya, Islam: A Short Story menjadi best seller di AS. Sampai sekarang sudah lebih dari 100.000 eksemplar terjual habis, demikian amazon.com merilisnya ke para pembaca. Untuk jenis buku berat dan ilmiah karena tidak memihak, jumlah itu sudah rekor tinggi. Apalagi dibandingkan dengan Stupid White, yang berisi kecaman kebodohan Presiden George Bush, yang sedang digandrungi pembaca.
Menurut Buya Syafii Ma’arif, “Tidak banyak perempuan sepanjang abad ini yang hebat. Karen dan semua unit peradaban yang dikenal melalui karya-karyanya yang mendalam, komprehensif, dan menggoda untuk diikuti. Karen sedang mencari sesuatu yang terdalam tentang makna eksistensi manusia dalam kehidupan yang sementara.”
Ini bukan sekedar sanjungan tetapi penilaian yang wajar dari para pemimpin agama setelah membaca karya-karyanya dan melihat namanya yang sejajar dengan ahli-ahli agama lainnya.
Setelah kasus WTC 11 September dan berangnya AS, tugas Karen makin banyak. Selain berceramah dan menulis, tugasnya adalah membuat dialog yang hangat kepada siapa saja terutama para pemilik agama. Ia percaya, dialog punya peranan besar untuk mengubah prasangka dan kesalahpahaman tentang Islam.
Karen Armstrong memang hebat, ia menyendiri dan mengabdikan kehidupannya untuk menulis dan berpikir tentang Tuhan dan agama. Ibarat “angin”, tiba-tiba datang, tiba-tiba lenyap, dia melanglang buana dari kota yang satu ke kota lain, dari negara satu ke negara lainnya, dari satu kampus ke kampus lainnya berceramah menjelaskan tentang proses pencarian Tuhan, bersama-sama lewat agama-agama ciptaan manusia.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).