Oleh: Gregorius*
PIRAMIDA.ID- Semenjak Indonesia merdeka hingga hari ini, tampaknya tindak kekerasan bersenjata adalah hal yang lumrah di tanah Papua. Sejak tanah Papua berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi, mudah menemukan di media berbagai macam berita informasi tindak kekerasan senjata yang terjadi khususnya antara aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
KKB merupakan suatu kelompok yang menebar teror, baik kepada warga sipil maupun kepada aparat dalam hal ini TNI dan Polri, walau tak jarang mereka juga menyasar masyarakat sipil di mana jika menggunakan perspektif republik, KKB adalah kelompok yang menginginkan pemisahan Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, kekerasan kontak senjata antara aparat dengan KKB justru lebih banyak menyasar serta merugikan masyarakat sipil.
Di Timika, pada tanggal 22 Agustus yang lalu, empat orang warga sipil tewas terbunuh disertai tindakan menjijikkan. Mutilasi. Tragisnya, ada oknum aparat TNI yang terlibat dalam tindakan sadis dan tidak beradab ini. Kejahatan yang terjadi di kawasan SP 1, Distrik Mimika Baru ini melibatkan empat warga sipil dan enam anggota TNI AD.
Konon, ada desas-desus motif yang berseliweran yang mengakibatkan terjadinya tindakan biadab tersebut. Menurut Frits Bernard Ramandey, ada tiga motif dalam kasus tersebut, yaitu motif kejahatan perampokan, motif bisnis solar hingga motif mengkondisikan melegalkan kehadiran institusi tertentu di Timika.
Satu hal yang pasti, menurut Frits Bernard Ramandey, proses pembunuhan hingga mutilasi dilakukan dengan sangat professional. Beda cerita dengan kepolisian, kepolisian mengatakan motif pembunuhan terhadap keempat warga sipil tersebut karena faktor ekonomi, lebih tepatnya perdagangan senjata api.
Tindakan pembunuhan disertai dengan mutilasi korban adalah kejahatan yang mengerikan serta sulit diterima nalar manusia. Menurut Karger dkk, mutilasi dapat dibagi menjadi dua jenis. Mutilasi defensif dan ofensif. Mutilasi defensif bertujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi, sedangkan mutilasi ofensif merupakan tindakan irasional yang dilakukan dalam keadaan membabi buta.
Berkaca pada kasus di atas, dapat dipahami bahwa tindakan mutilasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak, karena hingga hari ini sebagian tubuh korban belum ditemukan.
Kasus yang tergolong pelanggaran HAM luar biasa tersebut kemudian sangat memalukan karena melibatkan aparat TNI AD di dalamnya. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi masyarakat sipil berbalik menjadi ancaman bagi sipil itu sendiri. Perlu tindakan hukum yang tegas dan terukur serta transparan dalam kasus tersebut.
Aparat TNI yang terlibat harus dihadapkan pada pengadilan umum, selain tentunya juga di pengadilan militer. Intitusi TNI tidak perlu menghalang-halangi serta ragu untuk memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku. Karena jika negara tidak serius menyelesaikan kasus ini, bukan tidak mungkin tanah Papua memalingkan wajahnya dari Ibu Pertiwi.
Berbagai tindak kekerasan senjata hingga sampai adanya mutilasi di tanah Papua sudah semestinya mencapai tahap akhir. Tanah Papua bukan ladang operasi militer. Orang Papua bukan anak tiri Ibu Pertiwi. Perlu kerendahan hati seluruh pihak terkait untuk berani meletakkan senjata dan memulai dialog.
Bagaimanapun, sebagai sebuah bangsa yang besar, negara harus berani untuk berhenti menerjunkan aparat militer ke tanah Papua. Senjata bukanlah satu-satunya alat untuk menjamin perdamaian dan keamanan. Namun, negara harus segera membangun dialog dengan seluruh pihak terkait dan memulai membangun visi yang sama di bawah kibar Sang Merah Putih.(*)
Penulis merupakan Ketua Lembaga SDM PP PMKRI Sanctus Thomas Aquinas.