Oleh: Yarni Niat Iman Laia*
PIRAMIDA.ID- Konflik merupakan realitas sosial yang sering terjadi di masyarakat. Ketimpangan dan konflik itu tidak terjadi hanya pada masyarakat kapitalis dan proletar, tetapi juga pada semua bentuk masyarakat, seperti keluarga, organisasi, militer, negara atau dalam semua aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, hukum, dan keamanan.
Jadi konflik sosial, menurut Dahrendorf, meliputi aspek yang sangat luas, tidak seperti yang dikatakan Marx yang hanya terbatas pada ekonomi dan bersifat materi belaka. Dahrendorf juga berpandangan bahwa tidak setiap konflik mengarahkan pada perpecahan, tetapi juga mengarah pada perubahan sosial dan perkembangan.
Didalam kehidupan sehari-hari, tentunya kita semua tidak akan pernah lepas dari yang namanya konflik. Hal tersebut terjadi lantaran manusia sendiri adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi satu sama lain. Konflik disini adalah proses sosial yang mana salah satu pihak akan berupaya menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya.
Permasalahan tersebut bisa saja terjadi diantara individu dengan individu, individu dengan suatu kelompok, atau kelompok dengan kelompok lain. Umumnya, konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan suatu interaksi yang menyebabkan terjadinya pertentangan. Pada intinya, konflik itu tak hanya akan membawa dampak negatif saja, tapi terkadang juga akan membawa dampak yang positif.
Contoh konflik yang terjadi dalam keluarga yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan lagi isu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sudah terlalu banyak kasus yang bergulir ke meja persidangan. Beberapa aktivis dan lembaga perlindungan perempuan juga telah dibentuk oleh negara untuk membela dan memperjuangkan hak para korban. Ini menujukkan bahwa kesadaran masyarakat pada pencegahan KDRT semakin tinggi.
Namun, yang sedikit perlu diluruskan dari KDRT ini, yaitu pemikiran yang selalu menempatkan korban KDRT adalah perempuan, padahal laki-laki (suami) juga bisa menjadi korban. Seperti beberapa kasus perceraiaan yang pernah penulis tangani, ada beberapa pihak istri yang justru melakukan KDRT kepada suaminya. Hal tersebut terjadi dipicu oleh tekanan yang dirasakan istri atas perbuatan perselingkuhannya yang terus-menerus di permasalahkan oleh suaminya.
Kekerasan yang dialami oleh kedua pihak ini, istri mendapat kekerasan psikologis dan suami mendapat kekerasan fisik, menjadi bukti bahwa korban KDRT tidak mengenal jenis kelamin. Baik suami maupun istri berpotensi menjadi korban di dalamnya.
KDRT merupakan konflik dalam rumah tangga dengan penggunaan kekerasan di dalamnya. Demikian, kurang lebih pemaknaan masyarakat kita terhadap KDRT. Terlihat bahwa KDRT tetap dimaknai sebagai konflik rumah tangga meski diberikan penekanan adanya unsur kekerasan di dalamnya.
Beberapa hari ini publik dihebohkan dengan kasus KDRT yang dialami oleh pedangdut Lesti Kejora oleh suaminya Rizky Billar, tentu saja membuat heboh sosial media. Pasalnya, pasangan yang baru satu tahun menikah ini kerap menunjukkan kemesraan di layar kaca.
Maka dari itu, tak heran jika banyak netizen yang tercengang dengan adanya pemberitaan dugaan KDRT ini. Apalagi bentuk kekerasan yang dialami Lesti Kejora juga bisa dibilang cukup parah, dia sempat mendapatkan cekikan, dorongan, dan bantingan, yang dilakukan secara berulang. Adanya perlakuan tak pantas yang diterima Lesti Kejora oleh suaminya ini, lantas membuat Lesti melaporkan suamiya tersebut ke pihak kepolisian. Namun, pada akhirnya laporan tersebut dicabut dan mereka bersepakat untuk berdamai.
Keputusan Lesti Kejora mencabut laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya justru memancing banyak reaksi negatif publik. Banyak netizen di media sosial merasa geram dengan keputusan Lesti. Kekesalan netizen diungkapkan melalui kolom komentar pada unggahan terakhir Lesti di media sosial Instagram miliknya. Kasus KDRT yang menghebohkan seluruh Indonesia itu dinilai tidak memberikan pelajaran dan efek jera pada pelaku KDRT.
Berdasarkan kasus diatas dapat kita lihat dan analisis menggunakan teori konflik Dahrendorf yang mengatakan bahwa munculnya konflik bisa berasal dari penggunaan kekuasaan, otoritas. Sesuai dengan kasus KDRT diatas yang mana Risky Billar sebagai suami memegang kekuasaan otoritas terhadap istrinya Lesti kejora sehingga membuatnya bertindak keras terhadap istrinya. Tindakan tersebut menunjukkan bagaimana Risky Billar menggunakan kekuasaannya untuk menindas istrinya secara sewenang-wenangnya.
Dilain sisi juga kita bisa melihat bagaimana aksi dan perlawanan yang dilakukan Lesti Kejora akan tindakan yang ia terima dari suaminya yatu Lesti bertindak secara hukum dengan melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada pihak polisi. Tindakan ini membuktikan bahwa Lesti tidak berterima akan tindakan suaminya dan mempunyai cara yang benar dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Dengan melapornya Lesti Kejora kepihak Kepolisian menandakan bahwa Lesti ingin membuat suaminya sadar akan perbuatannya dan berharap suaminya mau berubah dengan tidak mengulang tindakan yang sama kedepannya lagi. Keputusan yang diambil Lesti menunjukkan bukti seperti teori Dahrendorf yang berpandangan bahwa tidak setiap konflik mengarahkan pada perpecahan, tetapi juga mengarah pada perubahan sosial dan perkembangan.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Prodi Sosiologi Angkatan 2020.