Oleh: Novi Gabriella Haria (2005030027)*
PIRAMIDA.ID- KDRT dalam Konsep Sosiologi
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang dapat terjadi dalam rumah tangga tanpa melihat ras, budaya, suku, umur pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga sederhana, miskin dan terbelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang. Perilaku merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga dengan sederetan akibat di belakangnya, termasuk yang terburuk seperti tercerai-berainya suatu rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi dan kekuasaan pelaku terhadap korban berdasar kepercayaan, kebudayaan dan sistem nilai yang ia jalankan. Di luar kepercayaan dan agama yang dianut, manusia secara sosiologis menjadikan kebudayaan sebagai pegangan dan pedoman dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berumah tangga.
Melalui nilai-nilai, kepercayaan dan kebudayaan mengajarkan mereka cara bertindak dan bertingkah laku dalam pergaulan sosial dengan sesama di lingkungan tempat tinggal, termasuk dengan semua anggota dalam rumah tangga.
KDRT merupakan pertanda situasi konflik dalam rumah tangga. Konflik dalam tataran sosiologis diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, bisa juga kelompok, dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Kasus-kasus KDRT yang sempat muncul ke ranah publik menunjukkan KDRT terjadi karena perbedaan pelaku dan korban dalam situasi di mana keinginan dan harapan tidak terpenuhi akan muncul prasangka bahwa di rumah tangga tidak lagi ditemui kepedulian dan penghargaan terhadap sesama sehingga akhirnya memicu pihak yang lebih dominan dan berkuasa untuk melakukan tindak kekerasan terhadap yang lemah atau yang dikuasai.
Konflik yang terjadi menggiring pelaku KDRT ke arah perilaku menyimpang yang tidak sejalan dengan tuntunan nilai-nilai asli budaya lokal Indonesia dan norma-norma sosial yang dipedomani oleh masyarakat. Ini berarti nilai-nilai luhur budaya dan norma-norma sosial tersebut bagi masyarakat ketika tindak KDRT terjadi tidak lagi berperan sebagai pedoman utama dan alat pengendali dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial mereka, termasuk dalam rumah tangga.
Anomie adalah sebuah konsep Durkheim ketika menjelaskan sebab-sebab orang melakukan tindakan bunuh diri (suicide) untuk menggambarkan kekacauan yang dialaminya. Keadaan tersebut dicirikan oleh ketidakhadiran atau berkurangnya standar atau nilai-nilai, perasaan alienasi atau keterasingan, dan ketiadaan tujuan dalam hidupnya. Oleh sebab itu, KDRT di luar faktor psikologis individu pelaku, seperti karakter yang pemarah, mudah bosan dan suka dengan tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kesakitan pada orang lain, disebabkan pula oleh faktor-faktor eksternal di luar individu bersangkutan.
Karena itu, situasi anomie berperan dalam mendorong terjadinya KDRT. Kondisi tersebut saling berkaitan sebagai satu kesatuan sehingga sulit membedakan dengan pasti antara tindak KDRT yang dipicu oleh konflik pribadi dan atau konflik permanen dalam rumah tangga, dan tindak KDRT karena pengaruh situasi anomie lantaran perubahan sosial yang drastis.
Konstruksi Sosial terhadap KDRT
Tindak KDRT di Indonesia dalam rentang waktu yang panjang cenderung bersifat laten hingga jarang terungkap ke permukaan. Akibatnya, ia kurang mendapatkan perhatian khusus dan penanangan yang sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah. Kekerasan dalam rumah tangga Indonesia di mana pun juga masih terus berlangsung dengan jumlah kasus dan intensitasnya yang kian hari cenderung kian meningkat. Media massa cetak dan elektronik Indonesia malah tak pernah lengang dari berita-berita dan informasi-informasi terbaru tentang tindak KDRT, termasuk dalam rumah tangga para selebriti.
Dalam masyarakat Indonesia, tindak KDRT jarang terungkap. Hal ini dikarenakan KDRT dianggap sebagai aib keluarga yang memalukan sehingga harus ditutupi. Hal ini membuat para korban KDRT hanya bisa diam saja ketika mengalaminya. Selain itu, dalam beberapa kasus KDRT yang telah terjadi menunjukkan bahwa tersangka adalah seorang suami, hal ini dapat diartikan bahwa kaum perempuan rentan mengalami tindak KDRT ini.
Hal ini bisa jadi karena masyarakat Indonesia cenderung memproduksi budaya patriarki yang menyebabkan laki-laki lebih dominan dalam segala hal, sehingga seorang suami merasa mempunyai hak terhadap istrinya dalam hal apa pun yang membuatnya menghalalkan segala cara untuk memenuhi emosinya, termasuk menggunakan kekerasan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang istri juga dapat melakukan KDRT kepada suaminya ataupun anaknya.
Kasus tindak KDRT dapat menarik perhatian masyarakat luas serta menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, hal ini karena KDRT memang kasus yang membutuhkan penanganan khusus dari pihak berwajib. Masyarakat menganggap KDRT sebagai kejahatan yang ada dalam keluarga. Masyarakat cenderung akan menghakimi pelaku KDRT dengan mengucilkannya dari lingkungan sosial, dan masyarakat mempunyai simpati khusus terhadap korban KDRT.
Pergeseran Makna KDRT: Privat to Public
Meskipun pada awalnya KDRT adalah masalah privasi, namun telah dianggap sebagai kepentingan umum dan tindakan kriminal karena dampak dari segala jenis kekerasan ini terhadap korban secara fisik, seksual, dan mental sangat buruk dan serius. Sebagai tindak pidana, kekerasan dalam rumah tangga telah diancam dengan pidana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selain itu, juga dianggap sebagai kekerasan terhadap kemanusiaan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebelum terungkap dan menjadi perhatian luas publik, KDRT bersifat tertutup yang cenderung dipahami oleh pelaku dan korban sebagai persoalan pribadi dalam wilayah privasi yang terkungkung rapat. Keberadaannnya dalam wilayah privasi kian kukuh seiring dengan sikap manusia di sekelilingnya yang juga cenderung acuh dan tidak ingin terlibat dengan persoalan-persoalan rumah tangga orang lain.
Sikap acuh yang diperlihatkan masyarakat sekitar terhadap perkara ini masih tetap dirasakan kuat hingga kini, terlebih lagi bila masyarakat di sekitar lingkungan rumah tangga yang mengalaminya tidak sepenuhnya pula bebas dari praktik-praktik KDRT meskipun dalam bentuknya yang paling ringan. Kenyataan menunjukkan banyak kasus KDRT terjadi ketika masing-masing pihak dalam rumah tangga gagal menyikapi kondisi sosial di luar rumah tangga secara cerdas sehingga berimbas ke dalam rumah tangga. Perbedaan individu-individu dalam rumah tangga dalam hal karakter, latarbelakang dan tingkat pendidikan, kedudukan, status sosial dan berbagai bentuk latarbelakang sosial lainnya menjadi penyebab terjadinya KDRT.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Sosiologi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).