Alboin Samosir*
PIRAMIDA.ID- Ruang publik kita akhir-akhir ini kembali ramai membicarakan tentang keadilan ekologis. Hal ini tidak terlepas dari serangkain bencana alam yang terjadi di tanah air. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bencana alam yang terjadi di wilayah Indonesia sejak awal tahun 2021 meliputi banjir (227 kejadian), puting beliung (66 kejadian ), tanah longsor (60 kejadian), gempa bumi (7 kejadian), gelombang pasang atau abrasi (7 kejadian), dan kebakaran hutan dan lahan (4 kejadian).
Namun, beberapa dari bencana alam ini cenderung di simplikasikan dengan dengan dalih faktor dari alam itu sendiri. Lihat saja bagaimana para petinggi negeri ini berdalih, ketika terjadi banjir dengan mudahnya mereka mengatakan penyebabnya adalah intensitas hujan yang tinggi, pun sebaliknya, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan penyebabnya adalah musim kemarau yang berkepanjangan.
Pendefenisian bencana sebagai bencana alam atau akibat dari alam itu sendiri ataupun bencana hidrometeorologi semata hanya melestarikan cara pandang bahwa pemicu hazard adalah semata-mata faktor alam tanpa menarik lebih dalam lagi sistem atau akar penyebabnya. Dengan pendefenisian ini pula lah pemerintah sering cuci tangan terkait serangkain bencana yang terjadi di Indonesia.
Berkaca dari banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) tentu saja dalih intensitas hujan yang tinggi tidak sepenuhnya menjadi penyebab banjir tersebut, melainkan ada sistem atau akar penyebab terjadinya banjir. Fenomena banjir di Kalimantan Selatan merupakan bencana ekologis dari serangkaian kegiatan atau perilaku manusia ataupun korporasi yang tidak mengedepankan keadilan ekologis dalam pembangunannya.
Keadilan ekologis merupakan upaya untuk tetap melestarikan dan menjaga keberlangsungan dari lingkungan hidup agar tetap asri dan mampu menjaga keseimbangan dari ekosistem tersebut. Terdapat beberapa prinsip terkait dengan keadilan ekologis, di mana menurut W. Pederson, prinsip keadilan ekologis meliputi, prinsip pencegahan, prinsip ganti rugi, prinsip strict liability, dan prinsip pembangunan keberlanjutan kehidupan.
Selain itu, prinsip keadilan ekologis dalam kacamata keadilan sosial meminta adanya alternatif sistem ekonomi yang mampu memberikan kontribusi pada pembangunan yang ramahblingkungan, mendukung pembebasan masyarakat secara politik, ekonomi, dan budaya.
Mendorong terjadinya pemulihan lingkungan baik di perkotaan maupun di pedesaan serta menyediakan akses bagi semua masyarakat atas sumber daya alam yang dimiliki. hal ini senada dengan yang dikatakan Andrew Dobson, “Keadilan sosial memiliki fungsi untuk mendukung suatu kelestarian dan keberlangsungan pembangunan.”
Berbicara tentang keadilan ekologi dalam konteks keindonesiaan, pada dasarnya kita memiliki landasan hukum yang kuat untuk mewujudkan keadilan ekologis. Hal ini dapat dilihat dari lembar konstitusi kita yang menyinggung tentang keadilan ekologis, seperti yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” dan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 dinyatakan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.”
Pun dalam peraturan perundang-undanganbyang mengatur tentang keadilan ekologis, yakni Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup, dan sederet aturan lainnya.
Berkaca dari hal tersebut, maka tak heran konsitusi kita sering disebut sebagai Green Constitusion. Alasan diterapkannya Green Constitusion, yakni meletakkan dan memperkuat kembali dasar-dasar konseptual mengenai permasalahan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, serta UUD NRI 1945 sebagai Supremacy Of Land atau kedaulatan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip ekokrasi.
Lantas, bagaimana dengan situasi Indonesia hari ini, sudahkah kita benar-benar menerapkan Supremacy of Land? Sudahkah kita mengamalkan keadilan ekologis dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah? Dan sudahkah prinsip pembangunan kita mengedepankan pembangunan berkelanjutan?
Banjir di Kalimantan Selatan menjadi bukti minimnya penerapan keadilan ekologis dalam paradigma pembangunan kita dewasa ini. Rilis yang dikeluarkan oleh Lapan menuturkan penyebab banjir di Kalimantan Selatan ditengarai adanya penyempitan kawasan hutan. hal ini dibuktikan dari luas tutupan hutan Kalimantan Selatan dari 2010-2020 terjadi penyusutan luas hutan primer (13.000 Ha), hutan sekunder (116.000 Ha), sawah (146,000 Ha), dan semak belukar (47.000 Ha).
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat dari 3,7 juta hektar lahan di Kalsel, 58.188 hektar merupakan hutan primer, 89.169 hektar merupakan hutan primer, selebihnya didominasi oleh konsesi seluas 234.492,77 hektar, untuk Hak Penggunaan Hutan (HPH) 567.865,51 hektar, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan ijin tambang seluas 1.219.081,90 hektar, dan 620.081,90 hektar untuk perkebunan sawit.
Selain dikarenakan penyempitan hutan, banjir yang terjadi di Kalsel juga dikarenakan pola pengolahan hutan yang bersifat monokultur, di mana dalam hal ini hutan telah ditanami kelapa sawit. Perubahan ini akan mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga lebih sedikit hujan yang mampu diserap oleh tanah dan air akan cepat mengalir ke permukaan.
Kalimantan Selatan merupakan contoh dari paradigma penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi yang keliru. Bagaimana penggunaan hutan yang seharusnya sebagai penyanggah dan penyeimbang keberlangsungan ekosistem justru dieksploitasi secara massif tanpa mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pola penguasaan dan pemanfataan sumber daya alam yang eksploitatif tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi berlaku juga di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya Papua. Perluasan lahan sawit di Papua kian hari tak terbendung, salah satunya dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit asal Korea Selatan, Korindo Grup.
Sejak 2013, mereka sudah membabat kawasan hutan dengan cakupan yang lebih luas dari daratan Kota Makassar, tepatnya 25 ribu hektar hutan di Papua di mana hutan ini merupakan salah satu ekosistem terpenting di dunia bagi beragam flora dan fauna.
Dilansir dari Forest Watch Indonesia (FWI), pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan alam seluas 1,4juta Hektar/tahun, berdasarkan kajian FWI pada periode 2013-2017 angka deforestasi hutan alam di Indonesia sebesar 5,7 juta hektar dengan 2.8 juta hektar berada di lahan konsesi dan 2,9 juta hektar lain berada di luar konsesi.
Selain mengakibatkan deforestasi, perizinan industri ekstraktif lainnya, seperti pertambangan mineral dan batu baravturut juga menyumbang kerusakan alam. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 44% wilayah Indonesia sudah di kavling oleh pertambangan. Sepanjang 2014-2019, tata kelola tambang menyebabkan 200 orang dikriminalisasi dalam 33 ragam kasus.
Suburnya laju deforestasi dan massifnya eksplorasi tambang di Indonesia menjadi akar masalah dari beberapa serangkain bencana ekologis yang sudah dan akan terjadi. Selain mengakibatkan bencana ekologis seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, penurunan kualitas tanah, dan lain sebagainya. Pola pembangunan hari ini juga akan melahirkan konflik struktural di masyarakat, seperti konflik agraria, land grabbing, kriminalisasi, perlakuan represif dari aparat, hingga tersingkirnya masyarakat adat dari hutan adatnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal demikian, maka perlu ada perubahan serius dalam paradigma pembangunan kita hari ini. Paradigma pembangunan kita harus mengedepankan pembangunan berkelanjutan. Namun, pembangunan berkelanjutan ini sering sekali membentur paradoks, karena implementasi sistem ekonomi kapitalisme tidak akan mendorong pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya. Kepentingan kapitalisme hanya memperluas akumulasi modal dan usahanya (Eckersly, 2004), sehingga pelebaran sayap kapitalisme berdampak pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup.
Hal senada disampaikan oleh Yuval Noah Harari, dalam bukunya yang berjudul. “21 Adab untuk Abad ke 21” yang menuliskan, “Mustahil membayangkan konsep kapitalisme dapat berjalan bersama dengan keberlangsungan ekosistem.”
Meskipun demikian, hal ini tentu saj masih dapat diredam. Menurut Prof. Oekan S Abdoellah, upaya meniti pembangunan berkelanjutan yang dilandasi pemahaman ekologi manusia yang holistis, diperlukan upaya yang memperkuat komitmen moral untuk menngembangkan dan mengimplementasikan etika politik pembangunan untuk memberi tempat sentral pada perlindungan lingkungan, komitmen moral untuk membangun good governance (Ascher, 1999; Connelly dan Smith, 1999; Lafferty dan Meodowcroff, 1996; Pawlowski, 2008; Hull, 2008), dan komitmen moral untuk membangun kehidupan berkelanjutan, tanpa komitmen moral dan etika pemerintahan yang baik, permasalahan ekonomi, sosial, lingkungan yang kita hadapi akan sulit untuk diatasi.(*)
Penulis merupakan Presidum Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI periode 2020-2022.