Defri Natan*
PIRAMIDA.ID- Suatu hari saya berjalan-jalan di lokasi kampus, tempat di mana saya menimba ilmu. Sembari melangkah, tatapan mata saya mulai menjelajah kesana kemari dan mengamati setiap objek-objek yang ada di sana.
Seperti taman yang ada di depan gedung-gedung administrasi dan perkuliahan. Taman itu dikelilingi bunga-bunga yang indah dan di tengah-tengahnya terdapat sebuah kolam mini yang sedang memperdengarkan gemericik air. Sedang, pepohonan dengan dedaunan hijaunya yang basah akibat diguyur hujan, tak luput pula dari pandangan mata saya.
Kesan-kesan pengindaraan itu (penglihatan dan pendengaran) memberi kesegaran dan kedamaian di hati. Semua terasa baik. Seketika, saya menjadi merasa senang.
Namun, rasa senang itu tak berlangsung lama. Semua berubah menjadi tak karu-karuan, sesaat setelah keluar dari lokasi kampus. Kesemrawutan pengguna jalan yang “tak tahu” aturan, membuat saya geram dan ingin memaki. Suasana hati saya begitu mudah terpengaruh oleh lingkungan di luar diri saya.
Ilustrasi di atas, hendak mengungkapkan bahwa ketergantungan pada kesan-kesan inderawi semata, dapat menjebak dan mengacaukan perasaan manusia.
Perasaan dan tindakan yang hanya didasarkan pada hal demikian, membuat manusia terkurung dalam penilaian sempit dan reaktif terhadap lingkungannya. Keadaan semakin parah bila manusia hidup dalam sikap yang malas tahu, bila terjadi keanehan atau ketidaknormalan yang ada di sekitarnya.
Sikap malas tahu ini kemudian mendorong tindakan-tindakan yang tidak rasional dan mengabaikan konsekuensi yang akan dialaminya kelak. Semuanya tergantung pada apa yang ada di luar dirinya. Pada akhirnya, manusia tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri dan menggantungkan sikap bahkan kebahagiaannya pada situasi yang ada di luar dirinya.
Manusia pada dasarnya, ingin memperoleh kebahagiaan dan meminimalkan rasa sakit. Filsuf zaman pencerahan, Spinoza (1632-1677) dalam ajaran etikanya berpandangan bahwa kebahagiaan akan terwujud jika kita tidak merasa sedih, tetapi nikmat (Tjahjadi, 2004).
Menurut Spinoza, setiap makhluk terdorong untuk mempertahankan keberadaannya (eksistensi).
Sebagai makhluk yang berakal budi, dorongan pada manusia identik dengan “keinginan” yang disadari secara intelektual untuk memperoleh kenikmatan.
Apabila keinginan itu menjadi lebih kuat, lebih hidup, dan lebih penuh, maka keinginan itu menjadi nikmat. Namun, sebaliknya, bila keinginan itu padam, tidak bergairah dan terhambat, maka keinginan itu menjadi kesedihan atau rasa sakit. Sehingga semakin jauh lah kebahagiaan itu.
Sumber Kebahagian
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kebahagiaan dapat terjadi bila manusia merasakan kenikmatan. Lantas, bagaimana memperoleh rasa nikmat itu. Dalam hal ini, Spinoza membedakan dua jenis emosi sebagai sumber dari rasa nikmat (Tjahjadi, 2004).
Pertama, emosi pasif yaitu perasaan senang atau sakit yang kita alami begitu saja. Biasanya muncul dari aktivitas indrawi. Seperti ilustrasi yang disajikan di awal tulisan ini, di mana saya merasa senang ketika berjalan di lokasi kampus sambil mengamat-amati objek-objek yang ada di sana.
Kesenangan saya bergantung pada apa yang ada di luar diri saya (lingkungan) yang ditangkap oleh indera. Itulah sebabnya emosi ini disebut pasif. Manusia tidak berdaya atas kebahagiaannya sendiri, sehingga tidak menjamin kebahagiaan yang sejati.
Kedua, emosi aktif yaitu perasaan senang atau nikmat yang kita peroleh dari aktivasi mental dan kegiatan jiwa. Emosi ini akan aktif jika pengertian atau pemahaman kita terhadap suatu hal bertambah.
Misalnya, kita mulai memahami bahwa kesadaran berlalu lintas pada sebagian besar masyarakat Indonesia masih kurang, sehingga terjadilah kesemrawutan di jalan raya (‘Kesadaran masyarakat Kurang”, 2011).
Dari pemahaman seperti itu, kita tidak lagi bersikap reaktif (ingin memaki), tetapi justru lebih berhati-hati dan waspada ketika berkendara di jalan raya. Sebab bisa saja, kita menjadi korban dari “ketidaksadaran” pengguna jalan lainnya.
Dalam memperoleh rasa nikmat, Spinoza menekankan pada emosi aktif, di mana manusia menggunakan akal budinya dalam memahami suatu hal sehingga mampu menjaga suasana hatinya dan tahu harus bersikap seperti apa.
Bukan dengan emosi pasif, yang hanya menggiring dan menjebak manusia untuk berpikir sempit dan menjadi reaktif. Sehingga suasana hatinya dipengaruhi oleh apa yang ada di luar dirinya. Dengan demikian, emosi aktif menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan.
Namun, emosi aktif tidak akan aktif begitu saja bila kita tidak mengembangkan kapasitas dan pemahaman kita terhadap suatu. Misalnya, kita tidak mau mencari tahu lebih jauh tentang kebenaran sebuah berita yang menyesatkan. Kita mudah terpancing dengan headline berita yang bombastis.
Akhirnya, tanpa tahu permasalahan sebenarnya, kita mudah terpancing dan memaki sana-sini, bahkan menimbulkan kerugian (“Terprovokasi kabar hoax”, 2017). Padahal, jika kita mau menyisihkan sedikit saja waktu untuk mencari informasi tambahan, kita bisa mengerti dan tidak mudah terprovokasi.
Dengan daya ingat dan kesadaran yang dimilikinya, manusia mampu menyimpan informasi-informasi yang diperolehnya dari pengalaman-pengalamannya selama hidup, yang kemudian dipelajari kembali sehingga manusia mampu bersikap tepat terhadap lingkungannya dikemudian hari.
Manusia tak lagi dikendalikan oleh apa yang ada di luar dirinya, melainkan berdasarkan pertimbangan budinya.
Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Artinya, manusia tidak hanya digerakkan oleh situasi yang ada di luar dirinya begitu saja, tetapi mampu menimbang dan memutuskan tindakan seperti apa yang akan diambilnya, termasuk menjaga kestabilan suasana hatinya. Pada akhirnya, manusia pun mampu bertanggung jawab atas kebahagiaannya sendiri.(*)
Acuan:
Tjahjadi, S. P. L. (2004). Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga modern. Yogyakarta: Kanisius.
Detik. (2011). Kesadaran masyarakat kurang, pelanggaran lalu lintas semakin meningkat. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-1785780/kesadaran-masyarakat-kurang-pelanggaran-lalu-lintas-semakin-meningkat
Ivasyah. (2017). Terprovokasi kabar hoax, warga 3 desa serang desa curug. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/834604/terprovokasi-kabar-hoax-warga-3-desa-serang-desa-curug/full&view=ok
Defri Natan, lahir dan besar di Seriti, Sulawesi Selatan. Sedang mengambil program studi S1 Psikologi di UKSW Salatiga dan aktif di komunitas Filsafat GMKI cabang Salatiga.
Comments 1