Jeppri F. Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Publik kembali dicengangkan oleh ulah Kementerian BUMN setelah sebelumnya mengangkat perwira aktif dari unsur TNI/Polri sebagai komisaris di BUMN dan merekrut Warga Negara Asing menjadi direksi BUMN, kini Kementerian BUMN mengangkat seorang hakim ad hoc tipikor bernama Anwar yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi komisaris di Patra Niaga (anak usaha Pertamina).
Dari catatan rekam jejak bahwa sdr. Anwar sebagai hakim ad hoc tipikor pernah menangani sejumlah kasus-kasus besar, di antaranya kasus traveller cheque, penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), e-KTP, dan juga menangani perkara korupsi Jiwasraya yang merugikan uang negara 17 Triliun.
Dan perlu diketahui bahwa sdr. Anwar pernah membuat kontroversi dengan mengajukan putusan berbeda (dissenting opinion) atas terdakwa Karen Agustiawan, mantan dirut Pertamina dalam kasus korupsi yang merugikan negara 568 Miliar.
Ia juga menjadi hakim dalam kasus suap PLTU Riau yang memvonis bebas mantan dirut PLN Sofyan Basir.
Sdr. Anwar ini juga pernah pernah menghebohkan dunia peradilan karena ulahnya bersama hakim lainnya berpose foto dua jari yang menjadi viral karena dilakukan saat tahapan Pilpres, di mana pose dua jari tersebut identik dengan dukungan terhadap salah satu capres, dan akibat pose tersebut para hakim ini diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Kendati menurut keterangan humas PN jakarta Pusat mengklarifikasi bahwa yang bersangkutan sudah mundur sebagai hakim sejak RUPS di Patra Niaga yang telah mengangkatnya sebagai komisaris tanggal 12 Juni 2020, maka sejak tanggal 12 Juni itu juga dirinya telah mengajukan pengunduran diri sebagai hakim ad hoc Tipikor melalui Ketua Pengadilan Negeri.
Berdasarkan pernyataan klarifikasi di atas maka saya dapat mengatakan dalam hal ini Kementerian BUMN dan sdr. Anwar ini patut diduga secara bersama-sama melanggar peraturan perundang-undangan dan mencoreng wajah profesi mulia hakim, karena bisa dipastikan saat ditetapkan sebagai komisaris dalam RUPS Patra Niaga, sdr. Anwar masih berstatus sebagai hakim ad hoc.
Seharusnya Kementerian BUMN meminta dan memeriksa terlebih dahulu surat resmi keputusan pemberhentian sdr. Anwar sebagai hakim baru lah bisa menetapkan sdr. Anwar sebagai komisaris di Patra Niaga.
Karena sahnya pengunduran diri hakim ad hoc itu juga ada aturan dan mekanisme formil yang wajib dipenuhi, yakni pemberhentian seorang hakim harus lah dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat 4 UU nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Jadi di sini dapat disimpulkan, pertama, sdr. Anwar sebagai hakim ad hoc telah melakukan “rangkap jabatan” dan itu melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pengadilan Tipikor Pasal 15 dan Kode Etik serta Pedoman Perilaku Hakim, maka sudah semestinya sesuai sanksi yang diatur Mahkamah Agung/Komisi Yudisial segera memberhentikan dengan tidak hormat yang bersangkutan sebagai hakim karena melakukan tindakan rangkap jabatan.
Kedua, Kementerian BUMN yang dipimpin oleh sdr. Erick Thohir harus membatalkan keputusan RUPS Patra Niaga yang mengangkat sdr. Anwar sebagai komisaris karena melanggar ketentuan Peraturan Menteri BUMN 03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Komisaris Anak Perusahaan BUMN yang mensyaratkan calon komisaris tidak sedang menduduki jabatan yang secara peraturan perundang-undangan dilarang untuk dirangkap dengan jabatan dewan komisaris.
Keberanian membatalkan pengangkatan hakim Anwar sebagai komisaris Pertamina Patra Niaga merupakan kepatuhan terhadap UU dan membuktikan bahwa pengangkatan itu tidak terkait dengan aroma “imbal jasa” atas kasus-kasus korupsi para dirut BUMN yang dahulu pernah ditanganinya di pengadilan tipikor.
Akhir kata saya mengingatkan kepada Menteri BUMN untuk tidak ugal-ugalan dalam mengambil suatu keputusan, sebab segala sesuatu tindakan keputusan pejabat negara ada aturan main, jika tidak paham sebaiknya belajar dan bertanya dulu sebelum membuat keputusan.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Law Reform INStitute (ILRINS).