Oleh: Anrico Alamsyah*
PIRAMIDA.ID- Indonesia merupakan negara demokrasi yang telah disepakati bersama sejak bebas dari penjajah atau sejak kemerdekaan sebagai negara hukum. Seharusnya hukum di Indonesia bisa benar-benar adil dan mengayomi masyarakat sebagaimana mestinya mengingat di Indonesia sendiri trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu.
Namun semua keindahan itu hanya sebatas indah di kata dan angan saja, tidak indah di kehidupan nyata. Tidak indah di hari-hari masyarakat yang tinggal di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena dalam implementasinya, hukum tidak benar-benar mengayomi atau melindungi seluruh masyarakat Indonesia.
Hukum di Indonesia masih sering mengayomi segelintir masyarakat Indonesia yang memiliki kekuatan, kekuasaan dan kekayaan. Untuk masyarakat biasa, sangat sulit mendapatkan perlindungan hukum. Bahkan hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Di Indonesia, hukum bagaikan sebuah permainan bagi para penguasa yang memiliki kekuatan dan kekayaan.
Jika masyarakat yang memiliki kekuasaan melakukan kesalahan, secara tiba-tiba itu bisa menjadi benar. Dan rakyat biasa untuk menuntut keadilan akan terasa sulit atau hampir mustahil. Itulah mengapa kecacatan hukum di negeri yang katanya negeri hukum ini sudah menjadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat.
Serangkaian kejadian memilukan dan memalukan terkait penegakan hukum sudah banyak terjadi, menghiasi bagaimana negeri ini tumbuh berkembang. Celakanya hiasan tersebut adalah hiasan yang buruk dan harus diiringi berbagai tangis masyarakat yang gagal mendapatkan keadilan hukum.
Hal tersebut diperparah pada tahun 2017 silam mengenai kecacatan hukum dalam mengatasi kasus yang dialami oleh Novel Baswedan. Kenyataan pahit terjadi pada kasus Novel Baswedan yang mana hukum berlaku tidak adil terhadapnya. Kasus Novel Baswedan hanya salah satu contoh bagaimana hukum bisa berpihak dan tidak sepenuhnya adil terhadap seluruh masyarakat Indonesia.
Novel Baswedan mendapat ketidakadilan hukum lantaran dirinya yang saat itu sedang berstatus sebagai pemberantas korupsi justru mendapatkan tindak kekerasan dari dua oknum polisi, yaitu disiram air keras pada bagian wajah hingga mengenai bola mata. Sehingga dari kejadian tersebut Novel Baswedan mengalami cacat permanen pada mata bagian kiri.
Sialnya, pelaku kekerasan terhadap Novel Baswedan tidak mendapatkan ketegasan hukum dan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Kasus Novel Baswedan menjadi kian rumit karena berbagai pertanyaan dan dugaan dari masyarakat mulai berdatangan. Yang utama adalah, adanya kemungkinan peran penguasa dibalik kasus kekerasan terhadap Novel Baswedan mengingat saat itu Novel Baswedan sedang berupaya memberantas korupsi yang mana dalam kasus korupsi pasti dilakukan oleh para penguasa.
Kejadian 2017 ini menjadi salah satu contoh nyata betapa cacat hukum yang berlaku di Indonesia. Begitu susahnya masyarakat mendapatkan keadilan di negeri ini.
Dari berbagai kasus ketidakadilan di Indonesia, kasus yang menimpa Novel Baswedan semakin memperkeruh keadaan dan membuat masyarakat pada akhirnya semakin skeptis terhadap hukum yang katanya berperan dalam menegakkan keadilan. Dengan kasus-kasus buruk mengenai keadilan hukum di Indonesia, menyebabkan masa depan hukum negeri ini patut untuk dipertanyakan.
Kembali pada kasus Novel Baswedan yang tidak mendapatkan keadilan terkait apa yang menimpa dirinya, kronologis kejadianlah yang pada akhirnya membuat masyarakat bertanya-tanya dan turut mengawal kasus Novel Baswedan.
Bagi pembaca yang belum mengetahui kronologis kejadian yang menimpa Novel Baswedan, di sini penulis akan menceritakan bagaimana kronologisnya. Kronologis kasus Novel Baswedan bermula ketika dirinya baru saja pulang selepas menunaikan ibadah salat Subuh sekira pukul 05:10 WIB pada tanggal 11 April 2017 di salah satu masjid yang tidak jauh dari kediaman Novel Baswedan.
Saat berjalan pulang, tiba-tiba ada dua orang yang mendekati Novel Baswedan dan secara tiba-tiba langsung menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan. Cairan air keras yang disiramkan tersebut masuk ke dalam mata dan pada akhirnya menyebabkan mata kiri Novel Baswedan mengalami cacat permanen.
Meskipun berbagai operasi sudah dilakukan, bahkan sampai Singapura, hasilnya tetap sama, mata kiri Novel Baswedan cacat permanen dan wajah bagian kirinya rusak. Setelah kejadian mengerikan itu terjadi, sialnya hukum tidak bisa tegas dalam menangani kasus tersebut. Bahkan setelah sekian lama, kasus Novel Baswedan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh penegak hukum dan tidak mendapatkan kepastian yang jelas, tidak mendapat kepastian yang tegas.
Baru setelah berlalu sekira 2 tahun, akhirnya pada tanggal 26 November 2019 pihak kepolisian menyatakan pihaknya berhasil menangkan pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan. Pelaku penyerangan Novel Baswedan bernama Ronny Bugis dan Rahmat Kadir yang secara mengejutkan keduanya adalah salah satu orang yang seharusya bertugas dalam menegakkan hukum di Indonesia, yaitu polisi aktif.
Akhirnya kedua polisi aktif tersebut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyerangkan terhadap Novel Baswedan dan dinyatakan bersalah. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2020 sidang tuntutan baru digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara virtual (karena pada saat itu dunia sedang menghadapi pandemi covid-19). Setelah 3 tahun akhirnya Novel Baswedan berkesempatan mendapatkan keadilan di negeri ini. Sidang digelar dengan pembacaan surat tuntutan dari Jaksa Agung yang mana Jaksa Agung meyakini bahwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir adalah tersangka dan telah melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP No. 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun sial bagi Novel Baswedan, hukum tidak tegas dengan hanya menyatakan bahwa kedua terdakwa hanya dituntut dengan ancaman pidana penjara satu tahun penjara dan itu masih dipotong masa tahanan yang telah dijalani oleh kedua terdakwa selama proses hukum yang keduanya jalani.
Terdakwa bersaksi bahwa penyerangan terhadap Novel Baswedan dilakukan atas dasar balas dendam dan ingin memberikan pelajaran dengan melayangkan serangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Akan tetapi Jaksa Agung justru menyatakan dalam persidangan tersebut bahwa tindakan yang telah terdakwa lakukan melakukan suatu ketidaksengajaan.
Dari kebijakan yang diberikan hukum terhadap Novel Baswedan, terbukti dengan sangat nyata betapa hukum di Indonesia tidak bisa tegas dalam mengatasi masalah masyarakat umum. Hal tersebut disinyalir dengan potensi adanya peran penguasa yang kasus korupsinya hendak diusut oleh Novel Baswedan. Alhasil kasus Novel Baswedan seakan-akan bisa dimanipulasi sedemikia rupa dan keadilan yang didapat Novel Baswedan tidak sebanding dengan peristiwa mengerikan yang dialaminya hingga mata kirinya cacat permanen.
Tuntutan yang dibacakan Jaksa Agung layaknya seseorang yang sedang melindungi kliennya. Alasannya karena perbuatan terdakwa memenuhi dakwaan subside, yaitu Pasal 353 ayat (2) KUHP No. 55 ayat (1) ke-1 KUHP bahwa mengacu pada pasal tersebut ancaman maksimal pidana penjara, yaitu 7 tahun penjara.
Dari fakta tersebut, seharusnya sangat bisa jika Jaksa Agung memberikan hukuman 7 tahun penjara kepada terdakwa mengingat kasus kekerasan yang dialami Novel Baswedan adalah kasus kekerasan level tinggi yang dilakukan dengan sengaja dan luka yang dialami Novel Baswedan adalah luka parah sampai mengalami cacat permanen. Seharusnya Jaksa Agung sangat bisa memberikan hukuman kepada terdakwa tidak hanya satu tahun saja mengingat kasus serupa yang pernah terjadi terdakwa divonis 8-20 tahun penjara.
Hukum menjadi tumpul ke atas apabila dalam suatu kasus ada sangkut pautnya dengan penguasa negeri ini. Yang menyebabkan hal ini terjadi adalah minimnya sumber daya manusia di Indonesia, terlebih jika sudah dihadapkan dengan iming-iming uang. Suap menyuap masih menjadi landasan utama serangkaian kejadian buruk terjadi dan melukai Ibu Pertiwi.
Kerendahan kualitas diri penegak hukum di Indonesia mayoritas masih bisa dibeli degan uang. Sebatas uang nilai dalam diri penegak hukum negeri ini, kualitas diri penegak hukum Indonesia mayoritas belum mencapai tanggung jawab dan rasa kemanusiaan.
Jika ini terus menerus dipelihara, masa depan negeri ini akan sangat terancam dan rakyatnya akan sangat susah mendapat keadilan. Bisa saja ke depan masyarakat Indonesia tunduk sepenuhnya dengan para penguasa dan demokrasi tinggalah kata-kata indah dari masa lalu.(*)
Anrico Alamsyah adalah pemuda kelahiran Kota Madiun, Jawa Timur 21 tahun lalu atau lebih tepatnya 25 April 2000. Saat ini Anrico yang akrab disapa Rico sedang menjalani masa pertukaran mahasiswa di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) semester 5. Kampus asal Anrico berada di universitas negeri paling timur Pulau Jawa, yaitu Universitas Jember (UNEJ). Disiplin ilmu yang saat ini dienyam oleh Anrico adalah sosiologi dan Anrico memiliki kecintaan terhadap dunia kepenulisan dan perfilman. Sehingga beberapa karya telah dihadirkan Anrico melalui kolaborasi antara kepenulisan dan perfilman. Beberapa karya Anrico bisa dinikmati di Instagram pribadi miliknya dengan username : @anricoalamsyah.