Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- Untuk mereka yang merasa memiliki Tuhan dan memonopoli kebenaran lalu menegasikan sesama yang lain; “Tuhan saja tidak memaksa kita untuk harus mengikut Dia dan bahkan memberi kita kebebasan untuk percaya atau tidak kepada-Nya. Lantas mengapa kalian malah mengambil otoritas-Nya dan menjadi tuhan bagi sesamamu yang lain?”
Renungan di atas menjadi titik berangkat saya memulai tulisan ini sekaligus membongkar keprihatinan terhadap gejala pendangkalan yang semakin mengeras dan membuat masyarakat kita semakin terbelah belakangan ini. Hampir di setiap sektor dan lapisan kita tak kunjung selesai dengan urusan tua dan dangkal ini.
Bahkan dalam urusan berbangsa dan bernegarapun kita tetap terjebak dalam urusan ini yang sejatinya sangat berdimensi personal ketimbang publik. Kita semakin disibukkan dengan urusan beragama (organisasi) ketimbang ber-keyakinan (spiritualitas).
Keyakinan (akan Tuhan) itu sejatinya bukanlah sekedar tradisi yang nencekik. Keyakinan juga bukan sekedar warisan yang diturunkan begitu saja tapi hampa makna. Bahkan keyakinan itu bukan kepentingan dan paham yang diorganisasikan (agama) sesuai kepentingan para petinggi dan pemuka lembaganya. Maaf, itu salah dan menyesatkan.
Dalam konteks spritualitas; keyakinan adalah sebuah pencarian akan Tuhan secara terus-menerus selama hidup melalui ibadah dan doa-doa kita terlepas apapun agama (organisasi) kita masing-masing. Pencarian itu akan mencerahkan dan menjernihkan jiwa dan akal budi. Bukan memenjarakan dan menakut-nakuti kehidupan.
Keyakinan tidaklah bersifat statis dan ritual seremonial. Ia terus bertumbuh dan berkembang mengikuti peradaban dan zamannya tanpa kehilangan jati diri dan nilai utama keagungan-Nya melalui kebajikan adab dan perilaku kita menjalani hidup. Dengan kata lain, keyakinan itu membebaskan kehidupan, bukan malah memenjarakannya.
Pada titik ini radikalisme (agama) itu adalah gerakan yang justru mereduksi dan memasung substansi keyakinan akan Tuhan itu sendiri dengan memonopoli kebenaran hanya milik kelompoknya saja dan menegasikan kelompok lainnya.
Tidak usah heran kalau kemudian agama dijadikan alat untuk memproduksi kebencian dan kekerasan yang memecah belah masyarakat. Agama tidak lagi membawa rahmat dan kesejukan antar umat, tetapi berubah menjadi “arena perang” dan pertarungan kepentingan dan keyakinan kelompok semata.
Mereka bahkan “mengkudeta” Tuhan dan mengambil otoritas agungnya untuk menentukan hitam-putih kehidupan seturut kepentingan dan ego kelompoknya saja. Sudah terlalu banyak contoh yang berlangsung belakangan ini dalam langit keseharian kita pada semua level dan aspek kehidupan.
Percayalah, itu bukan ajaran dan kehendak Tuhan. Itu adalah ajaran2 dan Tuhan palsu yang sedang menjajakan kepentungannya. Dan itu mesti kita abaikan.
Tuhan yang agung itu, tidak boleh dikunci hanya ada di gedung-gedung yang sakral dan agung itu atau di jubah-jubah mewah yang seolah suci dan kudus itu. Tidak juga di dalam kotbah2 yang hanya mengumbar kebencian atas sesama dan memonopoli kebenaran hanya milik mereka.
Tuhan juga bukan simbol dan kepentingan organisasi keagamaan yang kering dan hanya mendikte saja. Tidak sama sekali. Tuhan tidak kemana-mana. Dia ada di sini dan saat ini bersamamu dan kita semua. Kita hanya perlu mencarinya dalam diri kita senantiasa lewat ibadah, doa-doa dan agamamu. Dan begitulah cara keyakinan (spiritualitas) bekerja. Selamat mencari Tuhan dalam diri!(*)
Penulis merupakan Pengasuh Rubrik Sopolitika. Pengamat sosial.