PIRAMIDA.ID- Stereotip negatif seputar anak tunggal sudah ada selama berabad-abad. Pandangan itu tidak mempedulikan keadaan mereka, apakah mereka manja, tidak fleksibel, pemalu, suka memerintah atau antisosial.
Penelitian mendalam selama beberapa dekade menunjukkan bahwa persepsi umum tentang anak tunggal hampir tidak berdasarkan pada kenyataan.
Ada banyak bukti, baik ilmiah maupun yang dibuktikan dengan perilaku, bahwa banyak anak tunggal menentang sifat-sifat yang dituduhkan orang lain kepada mereka.
Cobalah tanyakan kepada seorang teman seperti apa ‘anak tunggal pada umumnya’. Anda akan mendengar hal yang sama: mereka kesepian dan manja. Dan yang terburuk, mereka dididik untuk gagal oleh orang tua mereka.
Jadi mengapa stereotip ini bertahan? Dan seiring banyak keluarga di seluruh dunia cenderung ingin memiliki lebih sedikit anak, apakah stereotip itu akan hilang?
‘Sifat’ anak tunggal?
Stereotip negatif yang terkait dengan anak tunggal memiliki riwayat panjang, sejak zaman Victoria di Inggris serta kemunculan psikologi anak sebagai bidang studi akademis.
Pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, beberapa psikolog menerbitkan karya yang membentuk dasar persepsi tentang anak tunggal.
Di antara peneliti itu adalah psikolog anak, Stanley Hall, yang hasil surveinya yang menetapkan ‘sifat anak tunggal yang kita ketahui dan ikuti saat ini.
Dalam istilah kontemporer, orang tua penyayang yang memanjakan anak tunggal mengubah anak-anak mereka menjadi orang dewasa yang hipersensitif dan narsis. (Hall sering dikutip mengatakan bahwa menjadi anak tunggal adalah sebuah penyakit.)
Ilmuwan lain yang juga sangat berpengaruh adalah Alfred Adler. Dia adalah psikoterapis asal Austria yang terkemuka dan pendiri sekolah psikologi individu.
“Adler adalah psikolog pertama yang meneliti dan menulis secara menyeluruh tentang urutan kelahiran dan bagaimana struktur keluarga memengaruhi perkembangan anak-anak,” kata Adriean Mancillas, psikolog dan penulis buku Challenging the Stereotypes About Only Children: A Review of the Literature and Implications For Practice.
“Dalam tulisan-tulisan Adler tentang studi kasusnya, dia menjabarkan anak tunggal yang dia rawat secara klinis dengan cara yang sangat negatif dan menegaskan bahwa anak tunggal tidak hanya dimanjakan, tapi bahwa orang tua yang memilih untuk tidak memiliki lebih banyak anak menimbulkan kerugian psikologis pada anak mereka,” ujarnya.
Berbagai pernyataan ini diterima banyak orang. Pendapat para ilmuwan tadi masuk akal pada keluarga besar atau yang memiliki anak dengan kerentanan. Seorang anak tunggal akan menonjol dan dilihat aneh sehingga orang tua mereka secara alami terlalu protektif terhadap anak tunggal mereka.
“Mereka adalah minoritas,” kata Linda Blair, seorang psikolog klinis, sekaligus dan penulis buku Birth Order: What Your Position In the Family Really Tells You About Your Character.
“Dan apapun jenis kelompok mamalia Anda, jika Anda adalah anak tunggal, Anda termasuk minoritas, Anda akan dirundung,” ucapnya.
Dalam dekade berikutnya, saat bahkan banyak keluarga semakin mendambakan sedikit anak, termasuk di Amerika Serikat dan Inggris, anak tunggal masih belum dianggap biasa.
Pentingnya keluarga inti yang ideal, yang umumnya terdiri dari setidaknya dua anak, menjadi narasi yang dominan.
“Gagasan yang dimasukkan ke budaya kita adalah bahwa keluarga yang ideal terdiri dari ibu, ayah, dan dua anak. Setidaknya sejak tahun 50-an, ada penyimpangan dari gagasan yang dianggap ideal itu,” kata Susan Newman, psikolog sosial dan penulis The Case for the Only Child.
Acara televisi seperti Leave It to Beaver melambangkan cita-cita dua orang tua dan beberapa anak.
Pada saat yang sama, acara seperti Dennis the Menace menampilkan anak laki-laki Amerika yang tak memiliki saudara kandung. Acara ini secara halus memperkuat ‘masalah’ anak tunggal dan orang tua mereka yang permisif sekaligus penyayang.
Selama beberapa dekade setelahnya, media mengikuti dan terus memperkuat gagasan tentang keluarga yang ideal tersebut. Gambaran itu tidak berevolusi. Keluarga yang hanya memiliki satu anak tidak bisa disebut keluarga, sementara anak yang baik pasti bukan anak tunggal.
‘Kenyataan tidak sesuai dengan stereotip’
Pada akhir 1980-an, peneliti asal AS, Toni Falbo dan Denise Polit, menganalisis secara menyeluruh 141 riset tentang anak tunggal. Temuan mereka, meski anak tunggal mendapat nilai baik dalam bidang akademis, motivasi, dan adaptasi, mereka sebanding dengan anak-anak yang memiliki saudara kandung.
Dengan kata lain, anak tunggal tidak sesuai dengan anggapan lama bahwa mereka kesepian, egois, dan tidak dapat menyesuaikan diri.
“Kenyataannya tidak sesuai dengan stereotip anak tunggal sebagai pangeran kecil yang terlalu manja atau kesepian,” kata Jing Xu, asisten profesor afiliasi dalam antropologi di University of Washington dan penulis The Good Child: Moral Development in a Chinese Preschool.
Karya Xu melihat bagaimana anak-anak berkembang menjadi makhluk bermoral, ditilik dari keluarga dan pendidikan mereka, khususnya dalam konteks yang lebih luas dari perubahan sosial yang cepat di China.
Xu melakukan penelitian di sebuah sekolah anak usia dini di lingkungan kelas menengah perkotaan di Shanghai. Di sana sebagian besar siswa adalah anak tunggal.
Xu menemukan bahwa anak tunggal berusia dua tahun segera memahami tuntutan di lingkungan kolektif, yaitu disiplin dan cara bersosialisasi orang dewasa.
Fleksibilitas anak tunggal mengejutkan Xu. “Mereka cukup paham dalam mencari tahu siapa teman mereka, dengan siapa mereka ingin berteman, dan bagaimana membangun jaringan interpersonal kecil mereka sendiri,” ujarnya.
Berlawanan dengan stereotip bahwa anak tunggal adalah pemalu dan canggung secara sosial, Xu mengatakan mereka secara alami diperlengkapi keterampilan untuk bersosialisasi.
Bahkan, kata Xu, mereka mungkin lebih diuntungkan oleh rekan-rekan mereka yang memiliki saudara kandung. Alasannya, tanpa saudara kandung untuk diandalkan, mereka harus belajar membangun persahabatan dan berbagi dengan anak-anak lain dari keluarga lain.
Banyak penelitian menyebut bahwa bertumbuh sebagai anak tunggal pada faktanya memiliki banyak keuntungan. Terdapat riset yang menghubungkan anak tunggal dengan keterampilan verbal unggul.
Ada juga riset lain yang menyimpulkan bahwa anak tunggal yang lebih termotivasi dan “menyesuaikan diri secara pribadi”.
Blair mengatakan, perhatian dan sumber daya yang dipersonalisasi dari orang tua dapat memberikan dampak positif pada anak tunggal.
“Uang termasuk salah satu faktornya, tapi juga waktu, masukan bahasa yang kaya, dan kehidupan yang lebih teratur daripada ketika ada beberapa anak dalam rumah tangga,” ucapnya.
Namun ada beberapa asosiasi negatif juga. Mancillas menunjuk pada penelitian yang berfokus pada kesejahteraan anak tunggal, daripada pemeriksaan status urutan kelahiran dalam keluarga, dan bagaimana mereka dipengaruhi oleh tumbuh dewasa tanpa saudara kandung.
“Ada penelitian yang menunjukkan bahwa saudara kandung dapat memiliki efek penyangga ketika ada disfungsi orang tua di rumah, dalam hal ini memiliki saudara kandung cenderung mengurangi dampak negatif dari stres tersebut,” katanya.
Selain itu, berdasarkan pengalaman klinisnya sendiri, Blair mengatakan anak tunggal mungkin lebih sulit menghadapi persoalan.
Mereka juga memiliki sedikit “kecerdasan jalanan”. Jika tidak memiliki banyak waktu untuk berhubungan dengan teman sebaya, anak tunggal sulit memahami bahwa orang lain bisa membuat perubahan perilaku yang mengejutkan, seperti saudara kandung yang menjatuhkan Lego mereka, misalnya.
Namun pada akhirnya, riset menyebut bahwa menjadi anak tunggal tidak berarti ‘berubah’ dengan cara tertentu – baik atau buruk.
Yang penting, menurut Blair, kondisi individu, termasuk lingkungan, nilai-nilai orang tua, koneksi ke teman dan keluarga besar, adalah semua faktor yang membantu membentuk ciri-ciri kepribadian anak tunggal.
“Anak tunggal yang lebih seperti anak-anak dengan saudara kandung ketimbang kepada orang lain,” kata Susan Newman.
“Kecenderungannya, orang ingin memasukkan semua orang ke dalam kategori. Menjadi anak tunggal hanyalah satu label yang dengan senang hati diberikan kepada seseorang,” kata dia.
Seberapa sulit untuk mengubah stigma?
Terlepas dari semua yang kita ketahui sekarang, persepsi lama seputar urutan kelahiran masih bertahan. Secara khusus, mitos anak tunggal sulit untuk dihilangkan.
Blair percaya ini karena kita tidak dapat menunjukkan sifat-sifat definitif dan selimut yang menggantikan stereotip sepenuhnya.
“Lebih mudah untuk bertahan dengan ide yang sama jika kita tidak memiliki bukti mutlak yang menentang apa yang sudah kita pikirkan,” katanya.
“Ada berbagai macam mitos tentang urutan kelahiran. Mitos-mitor itu heuristik, kita gunakan salah satu mitos itu untuk melabeli anak tunggal,” ujar Blair.
Namun bentuk keluarga berubah. Negara yang sebelumnya memiliki tradisi keluarga dengan banyak anak kini semakin cenderung mendambakan anak tunggal.
Di Inggris, 40% keluarga hanya memiliki satu anak pada tahun 2017. Persentase itu kira-kira sama untuk Kanada (38,6%) pada tahun 2011, meskipun tingkat kesuburan negara itu mencatat rekor rendah pada tahun 2019. Pada tahun 2015, di AS persentasenya sekitar 23%.
Anak tunggal kini hampir bukan minoritas lagi. Jika ada, mereka beringsut menuju ke kenormalan baru. Bisakah ini akhirnya mengubah cara kita berpikir tentang stereotip anak tunggal?
Ada indikator positif. Saat ini, Newman sedang melakukan studi tentang persepsi anak tunggal, bagian dari Proyek Anak Tunggal yang sedang berlangsung, dimulai pada 1990-an.
Dalam penelitian terbarunya, dia mencatat perbedaan mencolok dalam cara orang berpikir dan berbicara tentang anak tunggal.
“Orang-orang tidak menyesal lagi hanya memiliki satu anak,” katanya.
Dia juga jarang mendengar komentar buruk tentang anak tunggal sekarang. Yang dia dengar umumnya berasal dari generasi yang lebih tua, yang mitos-mitos negatifnya lebih meyakinkan.
Mancillas juga berpikir kita mungkin bergerak menuju “penerimaan bertahap”. Padahal, tambahnya, bukan itu intinya.
“Stereotip negatif tidak merisak sekelompok orang, terlepas dari nilai atau preferensi seseorang mengenai bentuk sebuah keluarga,” ucapnya.(*)
Source: BBC Worklife