PIRAMIDA.ID- Para ahli memperkirakan jutaan kematian akibat COVID-19 terjadi di Afrika. Namun, lebih dari empat bulan setelah kasus pertama di Afrika terdeteksi, prevalensi dan mortalitasnya masih rendah. Demikian laporan tim peneliti yang terangkum dalam jurnal COVID-19 in Africa: Dampening The Storm?
Masih belum jelas apakah Afrika benar-benar terhindar dari kasus dan kematian substansial atau tidak. Negara-negara maju memiliki pelaporan dan pencatatan kasus yang jauh lebih baik ketimbang negara-negara di Afrika. Mereka memiliki catatan terperinci tentang kasus, demografi, aspek sosial budaya, paparan lingkungan, genetika, dan sistem kekebalan.
Online Leiden Lecture Series yang diselenggarakan oleh Leiden in Indonesia telah mendiskusikan temuan menarik tentang Afrika. Profesor Maria Yazdanbakhsh, mengatakan bahwa kasus dan angka kematian yang rendah di Afrika dapat membantu kita untuk memerangi pandemi saat ini dan selanjutnya. Dia merupakan peneliti di Laboratory of Immunology-Vaccinology, FARAH, University of Liège di Belgia.
Salah satu hal yang diragukan oleh beberapa orang dalam kasus rendahnya kasus di Afrika adalah pengujian COVID-19 yang meragukan. Padahal, menurut Maria, tes yang dilakukan di Afrika sama dengan di seluruh dunia. Jumlah tes di Afrika sama dengan jumlah kasus yang ditemukan positif warga yang terjangkit. Ini membuktikan bahwa tidak ada keraguan terhadap pengujian di sana.
Di Afrika langkah pengetatan seperti karantina wilayah, larangan pertemuan, dan langkah kesehatan lain jauh lebih cepat dari benua lain, demikian menurut Maria.
Beberapa hari sejak kasus pertama, di Afrika terjadi karantina wilayah, sebelum beberapa negara memiliki kasus COVID-19. Sebagian kota-kota metropolitan di Afrika memiliki kepadatan populasi sehingga imbauan jaga jarak sosial begitu sulit dilakukan. Namun, menurut Maria, Afrika memiliki cara yang kuat untuk menahan virus.
“Salah satu perkara yang meyakinkan,” ujar Maria, “karena pengalaman Afrika dengan pandemi sebelumnya. Saya pikir ebola telah menjadi masalah nyata di banyak negara di Afrika. Mereka memiliki pola [penanggulangan] yang lebih berkembang, salah satunya segera menghentikan penerbangan, itulah yang kita pikirkan.”
Selain itu, faktor usia sangatlah penting. Afrika adalah benua dengan kelompok usia yang lebih muda. Populasi rata-ratanya pada kisaran 19,7 tahun, namun sebagian besar kematian COVID-19 di benua itu cenderung terjadi pada usia tua ketimbang usia muda. Dari 40 kasus kematian yang diteliti, hanya empat kasus merujuk pada COVID-19. Artinya, berdasarkan tingkat kematian pada kategori usia, Afrika memiliki tingkat lebih rendah ketimbang Eropa dan Amerika Serikat.
Maria mengaratakan bahwa virus SARS-Cov-2 yang beredar di Afrika tidak berbeda dengan di negara lain. Akan tetapi, dia menambahkan, sistem kekebalan pada mereka yang tinggal di Afrika sangat berbeda dibandingkan mereka yang tinggal di Eropa. “Setiap orang memiliki respon imun yang berbeda. Sistem kekebalan memiliki peran sentral dalam infeksi COVID-19. Tidak hanya faktor genetik tetapi juga faktor lingkungan,” katanya.
Jurnal bertajuk COVID-19 in Africa: Dampening The Storm? mengungkapkan kepada kita bahwa sebagian besar pasien yang bergejala sembuh telah mengembangkan antibodi sebagai penetralisasi virus. Tentu saja, untuk mengatasi infeksi virus tergantung pada banyak faktor, termasuk infeksi yang terjadi atau bersamaan dengan patogen lain.
Sejauh ini masih terdapat perbedaan pendapat apakah pola penyebaran pandemi di Afrika berbeda dengan di Amerika Serikat dan Eropa? Kendati berdasar informasi terbatas, penelitian Maria dan kawan-kawan menunjukkan bahwa tampaknya virus menyebar secara berbeda. Bahkan, dampak virus ini relatif lemah untuk kasus Afrika.
Uji coba vaksin Ox1Cov-19 di Afrika Selatan menjadi penanda pengujian vaksin COVID-19 pertama di benua ini. Kita berharap, kajian ini akan mendorong partisipasi para peneliti Afrika dalam menyingkap faktor-faktor kunci demi solusi inovatif dalam memerangi pandemi.
Source: National Geographic