PIRAMIDA.ID- Pernikahan merupakan salah satu momen paling berkesan bagi setiap insan. Namun, akhir-akhir ini banyak orang yang berkomitmen untuk melajang setelah menyaksikan rekan-rekan mereka menjadi tertekan dan membosankan. Tetapi apakah semuanya benar?
Psikolog mungkin belum sepenuhnya menjawab pertanyaan apakah menikah membuat orang terpuaskan, namun penelitian menunjukkan pengalaman menjalankan dan hidup dengan orang lain benar-benar mengubah kepribadian kita menjadi lebih baik dan lebih buruk lagi — sampai kematian memisahkan kita.
Sangat masuk akal bahwa itu mungkin terjadi – lagi pula, mengikatkan diri Anda kepada orang lain secara terbuka membutuhkan loyalitas dan pemikiran ke depan, belum lagi sebuah perubahan gaya hidup radikal bagi sejumlah orang, dan tentu saja hidup hari demi hari bersama orang yang sama memerlukan kesabaran dan diplomasi tingkat tertentu.
Apapun perubahan kepribadian akibat dampat pernikahan yang mungkin terjadi, Anda akan berpikir pertanyaannya akan menjadi sebuah prioritas penelitian, yakni bagaimana perubahan kepribadian mereka dibandingkan yang tidak menikah?
Dilansir dari BBC Future, penelitian Jule Specht dan rekannya dari Universitas Münster menemukan bahwa mereka yang menikah menunjukkan penurunan sifat ekstraversi dan keterbukaan terhadap pengalaman dibandingkan mereka yang tidak menikah.
Perbedaan ini relatif sederhana, namun tetap saja, ini mungkin memberikan sejumlah bukti nyata yang mendukung dugaan bahwa para lajang up and down the land – bahwa teman mereka yang sudah menikah tak lagi menyenangkan seperti dulu.
Pola ini didukung, setidaknya diantara perempuan, dengan sebuah studi yang lebih dulu dan cakupannya kecil di AS, dipublikasikan pada 2000, para peneliti menguji kepribadian dari 2.000 peserta yang berusia paruh baya dua kali dalam sebuah periode antara enam dan sembilan tahun.
Pada saat itu, 20 orang perempuan menikah sementara 29 dari mereka bercerai. Relatif bagi mereka yang menikah, perceraian menunjukkan peningkatan ekstraversi dan keterbukaan, seperti terbebas dari belengggu. Pria yang baru menikah, sangat bertolak belakang, lebih merasakan manfaat dibandingkan rekan yang bercerai, tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi dan rendah dalam neurotisme.
Peningkatan tanggung jawab di antara laki-laki yang sudah menikah tampaknya intuitif. Setiap orang yang telah menikah (atau menjalani sebuah hubungan jangka panjang) akan mengetahui bahwa dibutuhkan kemampuan tertentu untuk menjaga agar bahtera perkawinan terus berjalan meskipun sesekali menghadapi gelombang masalah domestik.
Tentu saja, perkawinan akan mengasah masalah ini. Sebuah makalah menyebutkan temuan yang dipublikasikan pada tahun ini.
Tim psikolog Belanda yang dipimpin oleh Tila Pronk di Universitas Tilburg, beralasan bahwa dua kemampuan yang penting dalam pernikahan atau sikap mengontrol diri (memiliki kemampuan untuk mengigit lidah Anda untuk jangka waktu yang lama demi pernikahan) dan memaafkan (sehingga Anda dapat melewati masa-masa di mana pasangan Anda melakukan kesalahan, meinggalkan pakaian mereka di lantai atau menggoda tentangga).
Penelitian yang melibatkan 199 pasangan yang baru menikah dan, dalam tiga bulan perkawinan mereka, mengukur bagaimana mereka memaafkkan pasangan masing-masing (peserta menilai kesepakatan mereka dengan item seperti “Kapan pasangan saya melakukan kesalahan pada saya, pendekatan saya adalah untuk memaafkan dan melupakan”) dan kontrol diri mereka (peserta menilai kesepakatan mereka dengan item seperti “Saya pandai menahan godaan”). Peserta kemudian mengulangi langkah-langkah ini setiap tahun selama empat tahun.
Hasilnya menunjukkan bahwa peserta mengalami peningkatan dalam memberi maaf dan mengontrol diri selama masa studi. Secara statistik menunjukkan, peningkatan dalam memaafkan ini bersifat moderat sementara peningkatan penguasaan diri rendah, tetapi Pronk dan timnya menekankan bahwa kemampuan mereka mengontrol diri setara dengan orang yang menyelesaikan program psikologi khusus yang dirancang untuk meningkatkan sifat mengontrol diri.
Bagaimana dengan kepuasan diri pasangan suami istri? Bukti paling relevan di sini berasal dari penelitian tentang bagaimana perubahan kepuasan hidup atau kegembiraan setelah perkawinan. Para lajang berusia 30-an akan senang bahwa ketika kepuasan meningkat untuk sementara setelah pernikahan, biasanya akan kembali ke level dasar setelah sekitar setahun.
Bagaimanapun, meski gambaran keseluruhan, mungkin tidak sepenuhnya benar bagi semua orang. Kami seringkali membahas mengenai sejumlah orang yang menjadi suami atau istri yang baik secara “lahiriah” (sementara yang lain tampak lebih cocok dengan kehidupan lajang) dan konsisten dengan pandangan ini, bukti menunjukkan bahwa bagaimana perkawinan mengubah kebahagiaan seseorang tergantung pada kepribadian mereka sebelum pernikahan.
Bagi sejumlah orang, perkawinan tidak tampak memberikan kebahagiaan yang abadi: secara khusus, lebih bertanggung jawab, perempuan yang tertutup dan laki-laki lebih terbuka menunjukkan peningkatan kepuasan dalam kehidupan pernikahan yang panjang, mungkin karena gaya hidup baru menikah sesuai dengan tipe kepribadian ini, walaupun hal ini belum pernah diteliti.
Terakhir, bagaimana dengan gagasan yang populer bahwa pasangan yang menikah tampak saling menghormati kepribadian? Tentunya nampak seperti itu saat Anda melihat pasangan suami istri yang lebih tua mengunakan jumpers atau pakaian olahraga yang serasi.
Itu mungkin sebuah mitos. Jika demikian, Anda mungkin berharap orang-orang yang telah menikah lebih lama menjadi lebih mirip dengan pasangan mereka. Tetapi ketika para peneliti dari Michigan State University menilai kepribadian lebih dari 1.200 pasangan suami istri, mereka tidak menemukan bukti adanya kasus ini. Kenyataannya pada awalnya adalah bahwa orang dengan kepribadian yang mirip cenderung menikah.
Secara keseluruhan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa pernikahan memang menyebabkan perubahan kepribadian yang tajam. Tetapi ini tidak berkaitan dengan pergolakan pribadi yang mengikuti apa yang terjadi selanjutnya: bayi.
Dilansir dari berbagai sumber.