PIRAMIDA.ID- Pada 2017, sebuah masa pemilihan gubernur Jakarta berakhir dengan kemenangan prasangka atas pluralisme.
Dalam pemilihan tersebut terjadi upaya yang sangat kuat oleh berbagai kelompok Islam untuk mengutuk gubernur petahana Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama, seorang keturunan Cina beragama Kristen.
Etnis dan agama seringkali menjadi isu yang dipolitisasi dalam pemilihan umum (pemilu). Penelitian telah menunjukkan bahwa hal tersebut terutama terjadi selama transisi menuju demokrasi.
Selama masa transisi itu, rapuhnya aturan dan praktik demokrasi, dibarengi dengan kuatnya ikatan etnis, seringkali memotivasi politikus untuk mencari dukungan dengan memanfaatkan kesetiaan pemilih kepada suku, etnis, atau agama.
Tapi, yang terjadi di Indonesia membingungkan.
Setelah tiga dekade masa pemerintahan otoriter, transisi Indonesia menuju demokrasi pada 1999 berlangsung sangat cepat dan penuh kekerasan yang dipicu oleh parahnya krisis ekonomi, demonstrasi massa, dan kerusuhan.
Walau periode itu penuh pergolakan, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan isu etnis dan agama menurun selama kampanye pemilu tahun 1999.
Namun, studi ini juga menunjukkan bahwa pola itu berubah pada pemilu 2009 saat berbagai calon mulai memobilisasi dukungan dari kelompok etnis lokal, agama, dan komunitas lainnya. Ini terjadi 10 tahun sesudah transisi Indonesia.
Bahkan, pemilihan gubernur Jakarta pada 2017 terjadi kira-kira dua dekade setelah transisi demokrasi Indonesia.
Lalu, mengapa politikus Indonesia meningkatkan penggunaan isu etnis dan agama dalam beberapa tahun terakhir?
Dalam mempelajari hal tersebut, saya menemukan bahwa reformasi pemilu legislatif yang dilakukan tahun 2009 – yang menentukan bahwa kandidat akan memenangkan kursi berdasarkan jumlah suara yang ia peroleh, memiliki peran kunci dalam munculnya politik etnis dan agama.
Reformasi elektoral
Sebelum 2009, Indonesia menggunakan sistem proporsional daftar tertutup.
Dalam sistem ini, partai mengajukan daftar peringkat calon legislatif untuk setiap daerah pemilihan. Konstituen pun kemudian memilih partai, bukan individu.
Partai memberikan jatah kursi yang mereka menangkan pada para kandidat berdasarkan peringkat calon di daftar, mulai dari yang paling atas.
Pada pemilu 2009, daftar kandidat berubah dari tertutup menjadi terbuka. Pergantian ini hasil dari keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2008.
Putusan tersebut didukung oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat dan pengamat media yang mengklaim bahwa sistem baru itu bisa mengurangi kekuatan elite dalam mengontrol partai politik Indonesia.
Hal ini berarti, masyarakat dapat memilih kandidat individu, dan partai harus mengalokasikan kursinya kepada kandidat yang memiliki suara tertinggi dalam pemilihan.
Perubahan ini membawa dampak drastis pada cara para kandidat berkampanye.
Kampanye pemilu
Untuk memahami dampak dari perubahan aturan ini terhadap berbagai perilaku kampanye, saya mempelajari ratusan berita koran tentang pemilu yang terbit sejak 1997-2004 dan membandingkan dengan berita pada periode 2009-2014.
Berita-berita tersebut diambil dari Waspada, sebuah surat kabar lokal besar yang melayani pembaca di berbagai daerah di Sumatra Utara. Dalam studi saya, setiap berita dikategorikan sesuai tipe acara kampanye, dukungan, dan upaya menarik dukungan dari kelompok tertentu.
Hasil dari sebelum pemilu 2009 menunjukkan bahwa kandidat berkampanye utamanya dalam acara kampanye besar partai bersama dengan pemimpin partai dan kandidat lainnya.
Para kandidat mencari dukungan dari pemimpin partai di tingkat daerah dan nasional serta berbicara pada pendukung setia partai.
Karena sistem yang tertutup, kandidat fokus untuk memenangkan suara untuk partai dan berupaya berada pada peringkat tinggi dalam daftar calon.
Untuk meyakinkan para pemimpin partai yang mengatur daftar calon dan membantu partai mendapatkan suara, para kandidat perlu menunjukkan loyalitas mereka terhadap partai dan mengkampanyekan program dan kepemimpinan partai.
Oleh karena itu, kampanye saat itu menjadi sangat partai-sentris.
Sejak 2009, karena konstituen dapat memilih kandidat tertentu, para pemilih menjadi lebih tertarik untuk mengetahui siapa-siapa saja kandidat ini.
Untuk memenangkan suara individu, kandidat mengubah taktik mereka. Di samping meyakinkan para pemimpin partai, mereka mulai fokus pada kelompok-kelompok pemilih terutama kelompok etnis, agama, dan komunitas lokal.
Ini tentu tidak mengejutkan, karena kelompok-kelompok ini membentuk jalinan masyarakat Indonesia.
Pemberitaan menceritakan perubahan ini.
Sejak 2009, para kandidat semakin sering bertemu dengan kelompok etnis dan agama skala kecil ketimbang terlibat kampanye besar.
Mereka berkampanye lebih banyak dengan pemimpin lokal ketimbang pimpinan partai, berusaha menciptakan kedekatan etnis dan agama, dan mengubah fokus pesan dari partai menjadi karakter, pengalamann, dan layanan mereka masing-masing.
Secara keseluruhan, pemilihan legislatif menjadi lebih kandidat-sentris.
Sebagian dari kita bisa berprasangka bahwa kandidat-kandidat politik itu hanya berusaha menarik dukungan dari kelompok etnis dan agama mereka sendiri serta berusaha untuk mendominasi kelompok di luar.
Namun, kenyataannya tidak demikian.
Saya menemukan bahwa pesan-pesan kandidat cenderung positif dan mereka menghindari pendekatan negatif atau strategi yang menjauhkan kelompok etnis atau agama lain.
Lebih lanjut, di daerah yang beragam, jamak bagi kandidat untuk mengunjungi, meyakinkan, dan menerima dukungan dari kelompok etnis dan agama lain.
Secara keseluruhan, aturan yang berpusat pada kandidat justru memperkuat hubungan pribadi antara pemilih dan wakil mereka: sekarang masyarakat Indonesia diberikan lebih banyak informasi tentang kandidat dan memiliki lebih banyak waktu untuk terlibat dengan mereka.
Pilkada 2020
Meskipun penelitian saya berfokus pada pemilihan legislatif (pileg) Indonesia, terdapat sebuah hubungan antara penemuan di pileg sejak 2009 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang jauh lebih fokus pada kandidat.
Dalam pilkada, pendekatan kelompok etnis lokal, agama, dan komunitas lain melalui acara kecil, pernyataan dukungan, dan permintaan dukungan sudah sangat lazim.
Akan tetapi, menurut saya, kampanye pilkada 2020 mendatang akan cukup berbeda karena dampak pandemi COVID-19.
Pertama dan terutama, acara kampanye langsung seperti yang saya bahas di atas akan dibatasi, sehingga kandidat baru akan memiliki kesempatan lebih sedikit untuk bertemu tatap muka dengan kelompok etnis, agama, dan komunitas. Ini menjadi keuntungan bagi petahana.
Namun, karena acara seperti ini telah menjadi bagian utama dalam kampanye Indonesia, kita dapat menduga akan terjadi beberapa pelanggaran terhadap pembatasan ini.
Dalam tahap pendaftaran pada awal September sudah terlihat berbagai pelanggaaran pada protokol kesehatan.
Kedua, para kandidat akan lebih sering menggunakan media lain seperti poster, media lokal, radio, media sosial, dan pertemuan virtual untuk terhubung dengan pemilih.
Penelitian di Amerika Serikat telah menemukan bahwa konten media politik dapat menginformasikan dan memobilisasi para pemilih untuk termotivitasi melihat informasi politik.
Meskipun demikian, cara ini akan berdampak kecil kepada mereka yang tidak tertarik pada politik.
Secara keseluruhan, kampanye yang didorong oleh media cenderung memiliki efek lebih terbatas dalam pengetahuan politik dan partisipasi politik pemilih. Beberapa bukti menunjukan bahwa cara ini bahkan dapat mendorong meningkatnya sikap apatisme pada politik.
Terakhir, pemilu yang demokratis ini kemungkinan akan terganggu oleh partisipasi pemilih yang lebih rendah karena kekhawatiran wabah.
Oleh karena itu, kita dapat memprediksi bawah masa kampanye 2020 akan menjadi masa kampanye yang tidak biasa.
Dalam situasi yang mendorong para kandidat untuk berinovasi, calon yang sudah terkenal dan mampu secara efektif menggunakan baik media tradisional dan media digital untuk memobilisasi dukungan akan memiliki peluang sukses lebih besar dalam pilkada nanti.
Artikel ini ditulis oleh Colm Fox. Pertama kali terbit untuk The Conversation.