PIRAMIDA.ID- Rokok kretek sebagai produk khas Indonesia telah dikenal sejak lampau dan telah memberi nilai ekonomi lebih bagi bangsa kita. Rokok dengan bahan dasar tembakau serta cengkeh ini sangat berkarakter dibanding dengan produk olahan tembakau dari belahan dunia lain.
Indonesia yang dikenal dengan beragam jenis tembakaunya, sangat potensial menghadirkan citarasa yang beragam untuk menunjang resep produk kretek. Terlebih lagi unsur cengkeh yang telah memiliki sejarah panjang di peta perdagangan dunia.
Secara ekonomi, kebutuhan akan cengkeh untuk industri kretek terserap jauh lebih tinggi dibanding untuk kebutuhan bumbu dan parfum. Tak heran jika harga jual cengkeh selalu lebih menguntungkan dibanding rempah lainnya.
Setiap tahun, negara mendapatkan pemasukan triliunan rupiah dari sektor industri kretek yang sebagian besar bahan bakunya tersedia di dalam negeri, termasuk pula pasarnya. Para petani dimakmurkan berkat adanya industri rokok yang khas dari tanah nusantara ini.
Sebagai negara penghasil tembakau, Indonesia kerap menjadi sorotan pasar tembakau dunia, tidak ada negara lain yang memiliki kemajemukan tembakau yang Indonesia punya. Beberapa negara dunia mengimpor tembakau dari Indonesia, baik untuk cerutu maupun untuk bahan baku rokok putihan.
Rokok kretek telah mengakar secara sosial dan budaya di masyarakat. Rokok khas ini memilki pula konsumen yang loyal. Berkat citarasanya yang sangat mengena dengan selera orang Indonesia. Pasar inilah yang pada gilirannya menjadi incaran banyak pihak.
Industri farmasi dunia serta industri rokok dunia sangat memiliki perhatian terhadap pasar rokok yang begitu menjanjikan di negeri kita. Bagaimana tidak, kadar nikotin pada tembakau Indonesia jauh lebih berkarakter dibanding jenis tembakau yang ada di negara-negara penghasil lainnya.
Faktor tanah, iklim, sistem budi daya, serta etos masyarakatnya, ini semua sangat mendukung keberadaan kretek sebagai komoditas primadona. Tentu saja, perputaran ekonomi negara sangat tertopang berkat adanya pemasukan dari cukai rokok.
Konyolnya kemudian, atas ketergiuran terhadap pasar dari komoditas primadona ini, para pemain di industri farmasi dan rokok dunia memainkan siasat untuk menguasai perputaran cuan dari sektor kretek.
Didoronglah skenario pengendalian (FCTC) tembakau dengan menggunakan corong rezim kesehatan dunia (WHO). Traktat ini merupakan perjanjian untuk mengontrol penggunaan tembakau dan rokok di seluruh dunia. Dengan dalih kesehatan, siasat ini telah membuat 177 negara meratifikasi traktat tersebut.
Tembakau dicipta menjadi barang yang membahayakan di mata dunia, digadang-gadang sebagai penyebab utama dari persoalan kesehatan, biang kerok dari segala penyakit mengerikan. Rokok dipandang produk mematikan melebihi junk food atau produk konsumsi lainnya. Intinya, rokok didorong oleh skenario itu sebagai musuh dunia.
Di dalam negeri sendiri, gerakan antirokok mendapatkan suntikan dana yang sangat besar untuk memainkan skenario permusuhan terhadap rokok dan tembakau. Tentu saja, skenario memusuhi rokok ini menyasar rokok kretek yang telah menjadi sumber devisa dan penghidupan masyarakat.
Sebagian besar masyarakat termakan oleh isu yang dimainkan antirokok. Tak dipungkiri, dalih kesehatan menjadi instrumen yang jitu untuk mempengaruhi nalar masayarakat. Bahkan para pemangku kebijakan banyak yang tak menyadari skenario besar di balik isu-isu yang dimainkan antirokok.
Walhasil, produk kretek kini tak lagi dipandang sebagai komoditas yang memiliki kebermanfaatan lebih. Melulu dipandang mengancam kesehatan masyarakat. Sementara, pemasukan dari cukainya tetap dibutuhkan oleh negara untuk mengongkosi kepentingan kesehatan. Inilah paradoks yang nyata atas keberadaan rokok kretek.(*)
Komunitas Kretek Indonesia