Endang Rukmana*
PIRAMIDA.ID- “Malih anak Emak yang kasep, elu bangunin gih, Merari!” pinta Emak, tidak peduli nyawa gue baru terkumpul sepertiganya.
“Dia udah bangun sejak jam dua, Mak…,” jawab gue dengan mata terpejam. Tenggorokan gue terasa kering dan panas. Sebelum gue jatuh terlelap tadi, Merari mengabari dia dan keluarganya sudah dalam perjalanan dari Jakarta.
“Tuh, pan, makanya gue demen banget sama tuh bocah. Gesit kayak laler!” seru Emak, nampak sangat semringah. “Ya udah, elu ke kamar mandi gih sono. Jangan lupa cukuran!”
“Iya, Mak,” sahut gue, seraya kembali membanting tubuh kembali ke kasur.
“Jangan cuma bulu ketek lo aja yang dicukur, bulu-bulu yang lain juga, lo paham, kan? Buang sial, Tong!” instruksi Emak, saat gue sedang asik nongkrong, mengamati sepasang cicak kawin di dinding kamar mandi.
Gue menuruti kata Emak. Bulu-bulu baru untuk mengawali episode hidup yang baru, mungkin begitu prinsip dan keyakinan Emak. “Banzai…!” Gue mulai membabat gemas hutan belantara di bawah sana.
Emak memang orang yang selalu on time. Apa lagi menghadapi momen-momen penting bin genting—yang menentukan antara hidup dan mati—seperti saat mengantre jatah daging kurban misalnya. Terlambat tak pernah ada dalam kamusnya. Emak akan selalu datang dua jam lebih awal. Bahkan usai shalat Subuh, Emak sudah gelar tikar sambil ngopi, ngudud dan mengudap singkong rebus di pelataran Mesjid, menanti kadatangan Panitia Kurban.
Begitu pun pagi ini. Acara baru akan dimulai pukul sembilan, Waktu Indonesia Bagian Gang Bebojong. Tapi Emak sudah mencerabut paksa gue dari gerbang alam mimpi pukul tiga dini hari, setelah gue bersusah payah memejamkan mata.
Hari ini akan menjadi hari yang sangat istimewa buat gue, Merari, Emak dan Ayah Naen (Dzulkarnaen, ayahnya Merari).
*****
“Mer…! Cepetan dikit dong, ngesotnya! Tamu undangan udah pada kumpul nih. Pak Penghulunya udah kucel banget tuh mukanya, enggak tau lagi kesel apa konstipasi!” ketikku cepat, gelisah, basah.
“Iye, sabar, Oncom. Seludahan lagi paling, gue nyampe!” balas Merari.
Ah, gue jadi terkenang awal perkenalan dengan Merari. Semuanya berawal dari dia yang mendadak mules saat mengikuti masa penerimaan mahasiswa baru. Entah mungkin karena wajah gue yang mengundang macam jamban, Merari lebih memilih gue dibanding kakak panitia lainnya, untuk dia mintai pertolongan mengantarnya mencari toilet. Sejak saat itu kami menjadi sahabat seperjambanan yang tak terpisahkan.
“Baiklah, kita mulai sekarang akadnya! Sebelum Belanda kembali mendarat bersama tentara sekutunya!” ujar Pak Penghulu dengan nada ketus, masih dengan ekspresi muka menahan desakan alamnya. Sesekali beliau menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang menghalau gejolak rasa di bawah sana.
Gue menikmati sosok yang disajikan Merari hari ini, berkebaya putih dengan rambut disanggul, menampilkan versi paling feminin dari dirinya. Sebentar lagi, perempuan hebat ini akan menjadi bagian penting dalam hidup gue.
Ayah Naen, ayahnya Merari, terlihat gagah dengan setelan jasnya. Nampak jauh lebih muda dibanding usianya. Emak juga tak mau kalah, tampil dengan dandanan lebih menor dari ondel-ondel di PRJ.
“Saya nikahkan…,”
Pandangan gue bersirobok dengan Merari. Dia memberikan senyuman terbaiknya. Seolah hendak meyakinkan, semuanya akan baik-baik saja. Gue mencoba membalas senyumannya sebaik yang gue mampu. Perasaan gue campur aduk saat gue menggenggam erat jemarinya. Ingin menjerit, tapi takut sambit.
“Dengan ini saya nyatakan…, sah sebagai pasangan suami istri…!”
Gue tak kuasa lagi menghadang laju air mata saat Ayah Naen menyuapi Emak roti buaya.
Merari kini resmi menjadi adik tiri gue.*)
Penulis adalah seorang cerpenis dan pengusaha kuliner “Ayam Geprek Dewek”. Tinggal di kota Serang, Banten.