PIRAMIDA.ID- Alissa Wahid, aktivis sosial keagamaan yang juga putri sulung mendiang Gus Dur, memajang foto-foto sejumlah peristiwa di tanah air di tengah diskusi. Yang dia paparkan kemudian adalah ketegangan antarkelompok, terutama antarumat beragama di Indonesia.
Foto-foto itu bercerita tentang demo penolakan pendirian mushola di Minahasa dan masjid di Papua, penolakan pendirian gereja di Bogor, penolakan warga Sikka NTT terhadap pembangunan pondok pesantren, dan meme media sosial terkait sentimen terhadap kelompok tertentu.
Peristiwa di berbagai tempat di Indonesia itu tentu tidak berdiri sendiri. Apa yang terjadi itu, kata Alissa, terkait dengan banyak sektor lain, diantaranya dunia pendidikan. Karena itu persoalan keberagaman di dalam ekosistem pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting.
“Sangat penting untuk melihat ini secara lebih jauh. Ketika kita bicara apa yang terjadi di ruang pendidikan, ujungnya adalah peristiwa seperti ini. Kita enggak bisa menganggap remeh apa yang terjadi di dalam ekosistem pendidikan,” kata Aliisa.
Hari Selasa (29/12) Alissa menjadi pembicara dalam diskusi daring manifestasi prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk memperkuat keragaman. Diskusi diselenggarakan Yayasan Cahaya Guru (YGC) dan diikuti ratusan pendidik dan aktivis yang peduli dengan isu ini. Diskusi ini didorong masih banyaknya praktik yang tidak menghargai keragaman di lingkungan sekolah.
Problem Mayoritanisme
Menurut Alissa, apa yang terjadi bukan persoalan agama, tetapi praktik sikap mayoritanisme. Demokrasi diterjemahkan sebagai siapa yang mayoritas berhak berkuasa, dan telah menimbulkan persoalan.
“Agamanya bisa apa saja, tetapi ketika agama itu menjadi mayoritas di suatu tempat tertentu, kemudian ada pandangan, ada keyakinan, bahwa sebagai mayoritas, mereka lebih berhak atas apapun. Sikap mayoritanisme ini juga muncul di institusi pendidikan kita,” tambah Alissa.
Komunitas sekolah ada di tengah pertarungan nilai dan perspektif, lanjut Alissa. Paham agama dan nasionalisme dipertentangkan, padahal sejak lama Indonesia telah percaya Pancasila menyelesaikan itu.
“Saat ini kita sedang berhadapan dengan pertentangan nilai-nilai dan salah satu tempat pembibitannya adalah di dunia pendidikan,” imbuhnya.
Guru tidak bisa mengelak dari kenyataan yang ada. Sejumlah penelitian juga membuktikan, fenomena semacam itu benar terjadi di dunia pendidikan.
Banyak Faktor Penentu
Pengamat pendidikan Doni Koesoema melihat ada banyak faktor berpengaruh terhadap situasi ini, mulai penjaga kantin di sekolah hingga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Negara memang telah menetapkan, prinsip pendidikan yang demokratis, adil, nondiskriminasi, menjunjung hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Namun, payung besar itu harus dilihat dalam skala yang lebih kecil jika ingin memahami apa yang terjadi.
“Kebijakan pendidikan di sekolah, di satuan pendidikan, sangat mempengaruhi terimplementasinya prinsip penyelengaraan pendidikan,” kata Doni.
Kepala sekolah sangat berperan dalam upaya ini. Program-program pengembangan kemampuan kepala sekolah dan intervensi dalam proses seleksi menjadi sangat penting.
“Kepala sekolah itu punya banyak fungsi. Bagaimana demokrasi tercermin dalam anggaran belanja sekolah,” tambahnya.
Jika sebuah sekolah tidak menganggarkan kegiatan-kegiatan pengembangan sikap toleransi bagi siswa dan guru, maka bisa dipastikan program itu tidak ada. Begitupun dengan program lain yang penting, terutama yang menumbuhkan penerimaan terhadap keragaman. Selain itu, guru juga memiliki peran penting, misalnya dalam penentuan kegiatan ekstrakurikuler. Banyak kegiatan ekstra sekolah, yang ternyata menjadi pintu masuk paham intoleran ke lingkungan siswa.
Penerapan demokrasi, kata Doni, harus dicek melalui komunikasi antarwarga sekolah.
“Karyawan, petugas keamanan, petugas kebersihan, pengelola kantin, dan siapa saja yang ada di sekolah berpengaruh terhadap pengalaman hidup siswa,” ujar Doni.
Berhenti di Undang-Undang
Pengamat hukum Mayong Febi Yonesta melihat, Indonesia sudah menetapkan prinsip dasar pendidikan yang baik. Namun sayangnya, prinsip utama dalam UU Sisdiknas ini tidak disertai ketentuan operasionalnya.
“Tidak heran apabila jika berbagai kebijakan dan diskresi pendidikan, praktik pengajaran dan budaya sekolah tidak mencerminkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas,” kata Mayong.
Penafsiran yang keliru atas prinsip itu, lanjut Mayong, mengakibatkan adanya praktik pendidikan yang segregatif, diskriminatif atau tidak sejalan dengan HAM serta ragam kemajemukan bangsa. Karena itulah, dari sisi hukum pemerintah harus mengimplementasikan apa yang ada dalam UU Sisdiknas, ke dalam setiap peraturan hukum di bawahnya.
Harmonisasi peraturan yang sudah ada, terutama yang tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan juga harus dilakukan. Selain itu, pemerintah juga didesak menghapus segala praktik pendidikan yang melanggar prinsip dasar tersebut.
Keragaman Sekadar Administratif
Pelaksana Tugas Kepala Balitbangbuk, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno meminta persoalan semacam ini dibicarakan terbuka. Jika terus disuarakan, dia yakin akan semakin banyak pelaku di sektor pendidikan mengakui, bahwa memang ada persoalan yang harus diselesaikan.
“Karena kalau dipendam terus, seolah-olah kita ini oke-oke saja. Di negara yang sangat beragam, kemudian ada ide-ide, terutama di pendidikan, ide penyeragaman, itu sebuah ironi luar biasa dan itu memang harus diungkapkan supaya menjadi perhatian publik,” kata Totok.
Totok mengakui, ada yang tidak nyambung antara undang-undang yang ada, dengan pelaksanaanya di tingkat sekolah. Banyak aturan turunan, mulai dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah hingga aturan di tingkat sekolah yang harus dijaga koherensinya.
Namun, dia juga mengingatkan, persoalan semacam ini tidak cukup dimuat dalam aturan, tetapi harus dijiwai oleh setiap pemangku kepentingan, mulai kepala sekolah, guru, pengawas hingga pembuat kebijakan.
Jika tidak dijiwai, banyak kasus upaya penanaman sikap keragaman hanya berhenti di kurikulum pembelajaran sekolah untuk kepentingan administrasi. Di sisi lain, pengawas sekolah juga merasa cukup melakukan pengecekan administratif, tanpa melihat kenyataan apakah sekolah benar-benar mempraktikkan pendidikan keragaman dan toleransi.(*)
VOA Indonesia.