PIRAMIDA.ID- Konflik masyarakat adat yang terjadi di Sumatera Utara kembali menyeruak. Seperti diketahui, pada tanggal 18 Mei 2021 terjadi konflik antara Masyarakat Adat Natumingka dengan pegawai perusahaan Toba Pulp Lestari. Kejadian ini bermula saat ratusan warga adat menghadang sekitar 400 pekerja dan petugas keamanan perusahaan akan masuk wilayah adat yang diklaim masuk konsesi perusahaan yang berelasi dengan Sukanto Tanoto ini.
Konflik yang dialami Masyarakat Adat Natumingka ini mengulang kembali kejadian yang dialami oleh Masyarakat Adat Sihaporas pada akhir tahun 2019, di mana konflik ini mengakibatkan dua warga Sihaporas mengalami kriminalisasi, yakni Jhonny Ambarita dan Thomson Ambarita yang dijatuhkan putusan 9 bulan penjara.
Menanggapi kejadian tersebut, Alboin Samosir selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PGK PP PMKRI) mengatakan konflik yang terjadi tidak terlepas dari kelambanan pemerintah merespon konflik dan cenderung abai terhadap permasalahan yang dialami masyarakat adat yang ada di Sumatera Utara. Hal itu ia sampaikan saat silaturahmi dengan warga Sihaporas, Rabu (02/06/2021).
“Melihat dari berbagai konflik yang dialami masyarakat adat di Sumatera Utara dapat disimpulkan bahwa kehadiran perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Sebab telah mengakibatkan tersingkirnya masyarakat adat, memicu permasalahan ekologis, dan rusaknya tatanan sosial budaya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kerusakan ekologis yang terjadi akhir-akhir ini, seperti mengurangnya debit air Danau Toba, banjir dan longsor yang terjadi di beberapa daerah sekitaran Danau Toba tidak terlepas dari aktivitas perusahaan yang melakukan alih fungsi lahan secara eksploitatif dan tidak adanya batasan yang sesuai dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, ditambah pengelolan limbah yang merusak kualitas air di Danau Toba.
“Tercatat 23 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 5 kabupaten sekitaran Danau Toba beririsan dengan Toba Pulp Lestari. Total wilayah adat yang diklaim, yakni 20.754 Hektar. Sejak tahun 2013 hingga saat ini sudah ada 50 orang masyarakat adat dari komunitas adat mengalami kriminalisasi oleh PT TPL,” ungkapnya.
Alboin menambahkan, selain permasalahan di atas, dilansir dari majalah.tempo.co melalui Forum Pajak Berkeadilan (FPB) mengungkapkan dugaan praktik pengalihan keuntungan oleh TPL. Dugaan praktik profit shifting untuk menghindari kewajiban pajak. Aksi profit shifting sepanjang 2007-2016 telah menyebabkan pendapatan perseroan lebih rendah US$ 426 juta atau senilai Rp 4,23 Triliun dari angka sebenarnya. Dan pastinya ini sangat merugikan Indonesia selaku pemberi izin konsesi.
“Berangkat dari serangkain kisah pilu dan hilangnya kesejahteraan masyarakat di sekitar Danau Toba yang beririsan dengan TPL, sudah saatnya episode menyedihkan yang dimulai sejak hadirnya TPL tiga dekade yang lalu segera diakhiri. Satu-satunya solusi konkret yang dapat dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Linngkungan Hidup dan Kehutanan segera mencabut izin konsesi TPL. Tutup TPL!” pungkasnya tegas di hadapan masyarakat.(*)