Oleh: Nurul Aulia Syabella*
PIRAMIDA.ID- Kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan yang tidak bisa dilepaskan. Sehat secara mental adalah keadaan ketika individu merasa sejahtera, baik secara psikologis, emosional, ataupun secara sosial. Orang yang sudah mencapai aktualisasi diri juga umumnya sehat secara mental.
Kesehatan mental berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berpikir, merasa, bertindak, serta membuat keputusan, juga bagaimana seseorang menangani stres dan berinteraksi dengan orang lain.
Dalam perspektif sosiologi sangat berguna bagi semua tenaga kesehatan atau penghargaan terhadap konteks sosial kesehatan dan sistem kesehatan dalam mengarahkan ke pemahaman yang lebih mendalam dari sektor, pandangan baru, perubahan yang bisa kita lihat dalam sektor kesehatan dan hubungan kita dengan tenaga medis profesional.
Ada tiga perspektif sosiologi utama dalam sistem kesehatan, setiap bagiannya akan sangat berguna bagi semua tenaga kesehatan, yaitu:
1) Sudut Pandang Fungsionalis
Sudut pandang fungsionalis akan berhubungan dengan fungsionalitas kesehatan dan kesehatan dalam komunitas dan akan membantu kita menghargai signifikansi sosial dari peran kita sebagai tenaga kesehatan. Dari sudut pandang fungsionalis, kesehatan yang baik dan perawatan medis harus bekerja dalam komunitas. Peran ini membuat mereka tidak bisa melakukan kewajibannya misalnya dari pekerjaan, yang mungkin dianggap mengganggu fungsi sosial.
2) Sudut Pandang Konflik
Sudut pandang konflik akan mengarah kepada ketidaksetaraan kehidupan sosial. Mereka dikelompokkan berdasarkan kelas, ras dan jenis kelamin. Setiap kelompok ini akan memengaruhi akses ke pelayanan kesehatan dalam hal kualitas dan kuantitas. Sudut pandang konflik juga berhubungan dengan luasnya rentang kualitas hidup antara yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan. Yang berusia lebih tua cenderung memiliki gaya hidup lebih sehat disebabkan lebih tingginya pengetahuan mengenai kesehatan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, sedangkan yang masih muda cenderung memiliki kesehatan yang buruk karena mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan cukup mengenai kesehatan dan kebersihan.
3) Sudut Pandang Interaksionis Simbolik
Sudut pandang interaksionis simbolik lebih banyak berfokus pada anggapan bahwa penyakit merupakan salah satu konstruksi sosial daripada kondisi medis saja. Dengan kata lain, mengenai bagaimana orang-orang membagikan arti dari kesehatan dan penyakit melalui interaksi. Dari sudut pandang ini, orang-orang mengembangkan gerakan subjektif dari penyakit berbeda. Pada beberapa kasus, mereka mungkin menunjukkan konsep berbeda dan memberi pandangan negatif terhadap kondisi tertentu seperti gangguan mental atau disabilitas, dan menciptakan stigma.
Menurut hukum, dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa secara umum disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan dengan penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Tujuan pembangunan kesehatan yang hendak dicapai yaitu terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Kesehatan jiwa secara tidak langsung memengaruhi tingkat keberhasilan pembangunan kesehatan. Sebagian besar ODGJ mengalami penurunan kesehatan secara fisik yang akhirnya menurunkan produktivitas, baik dalam bekerja maupun dalam beraktivitas sehari-hari.
Secara keseluruhan gangguan kesehatan jiwa memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dan meningkatkan beban dana sosial untuk kesehatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan termasuk Upaya kesehatan jiwa dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Upaya kesehatan jiwa harus diselenggarakan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) belum dapat diwujudkan secara optimal.
Hak ODMK dan ODGJ sering terabaikan, baik secara sosial maupun hukum. Secara sosial masih terdapat stigma di masyarakat sehingga menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang menderita stigma di masyarakat sehingga keluarga menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
Hal ini menyebabkan terbatasnya akses ODMK dan ODGJ terhadap layanan kesehatan. Sedangkan sedangkan secara hukum, peraturan perundang-undangan yang ada belum komprehensif sehingga mengahambat pemenuhan hak ODMK dan ODGJ.
Adapun cara menjaga kesehatan mental menurut sosiologi, yaitu :
a) Hargai diri sendiri dengan tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain;
b) Usahakan untuk selalu melihat sisi positif dari suatu masalah;
c) Temukan cara terbaik mengelola stres untuk diri sendiri, misalnya menulis buku harian atau berjalan-jalan;
d) Mencari lingkungan yang bisa membawa kita ke hal yang positif;
e) Berbaurlah ke lingkungan sekitarmu, misalnya berbicara ke tetangga, teman atau keluarga;
f) Pelihara hubungan yang baik dengan orang lain.
Upaya promotif di lingkungan keluarga
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat dan lingkungan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dalam bentuk menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan keterampilan hidup terkait kesehatan jiwa bagi peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
Upaya promotif di lingkungan tempat kerja
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa, serta menciptakan tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa yang sehat agar tercapai kinerja yang optimal. Upaya promotif di lingkungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa, serta menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat.
Upaya promotif di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa dengan sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat di sekitar fasilitas pelayanan kesehatan. Pelaksanaan kondisi kejiwaan ODGJ yang dilakukan secara rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dilakukan atas hasil pemeriksaan psikiatrik oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan/atau dokter yang berwenang dengan persetujuan tindakan medis secara tertulis.
Persetujuan tindakan medis secara tertulis
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ODGJ yang bersangkutan. Dalam hal ODGJ dianggap tidak cukup dalam membuat keputusan persetujuan tindakan medis dapat diberikan oleh:
a. Suami atau istri;
b. Orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 tahun;
c. Wali atau pengampu;
d. Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penentuan kecakapan ODGJ untuk mengambil keputusan dalam memberikan persetujuan tindakan medis dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter yang memberikan layanan medis saat itu. Pelaksanaan terhadap ODGJ dengan cara lain di luar ilmu kedokteran hanya dapat dilakukan apabila dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
Penatalaksanaan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup penggunaan produk, modalitas terapi, dan kompetensi pemberi pelayanan yang sesuai dengan produk dan modalitas terapi. Penatalaksanaan ODGJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar manfaat dan keamanannya dapat dipertanggungjawabkan.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).