Diov Hafizh Zuhdian*
PIRAMIDA.ID- Kesenjangan hukum merupakan suatu peristiwa di mana terdapat banyak terjadi ketidaksesuaian dan ketidakadilan bahkan ketidakseimbangan dalam memberikan vonis, tuntutan, hukuman kepada seseorang maupun kelompok yang diberikan oleh penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Hal ini menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat mengapa Indonesia yang notabene merupakan negara hukum masih bisa terjadi kesenjangan.
Untuk itulah Ilmu Sosiologi bisa hadir memainkan perannya guna menganalisa mengapa kesenjangan hukum bisa terjadi dalam kehidupan masyarakat. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kesenjangan ini bisa terjadi. Sosiologi sendiri merupakan ilmu yang dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman. Banyak sekali cabang cabang dari Ilmu Sosiologi, salah satunya sosiologi hukum.
Sosiologi hukum yang memiliki arti sebagaimana diungkapkan sosiolog Indonesia, Soerjono Soekanto, adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainya.
Adapun tujuan berdirinya cabang ilmu ini untuk memberikan deskripsi, penjelasan, pengungkapan, dan prediksi. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai atau tidak dengan masyarakat tertentu.
Kesenjangan hukum mengindikasikan bahwa penegak hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, banyak sekali bukti nyatanya seperti nenek paruh baya yang mencuri kayu untuk kebutuhan hidupnya dipenjara 1 tahun, sedangkan para pencuri uang negara atau koruptor bisa didiskon masa tahanannya, bahkan bisa meng-upgrade selnya.
Hal-hal miris seperti ini bisa terjadi karena salah satunya lemahnya moral dan kurangnya kesadaran hukum baik untuk masyarakat biasa, pejabat, dan penegak hukum itu sendiri.
Untuk membangun kesadaran hukum di masyarakat perlu diterapkan dari lingkungan sosial terkecil dahulu seperti dalam keluarga di mana orang tua sudah bisa mengajarkan disiplin pada anak-anaknya, misalkan sepulang sekolah wajib melepas pakaian dahulu sebelum main dan mewajibkan untuk menyelesaikan tugas sekolah dahulu.
Hal-hal kecil seperti ini penting diterapkan pada anak karena, anak-anak merupakan masa pertumbuhan dan eksplorasi sehingga apa yang dilakukannya akan terbawa hingga dewasa dan tentu diiringi dengan asupan moral berupa ajaran agama dan rasa kemanusiaan.
Faktor yang menyebabkan kesenjangan hukum ini, apabila secara sosiologi melihatnya ada yang namanya faktor kekuatan sosial. Kekuatan sosial ini merupakan kemampuan individu untuk memperkuat relasinya terhadap orang banyak yang artinya memperluas jaringannya, khususnya pada kalangan elit. Hal ini ibaratkan pisau bermata dua karena memperluas relasi itu bisa membawa kita ke hal yang positif dan juga negatif.
Hal positifnya ialah kita dapat ilmu yang bermanfaat dari orang yang mungkin lebih berpengalaman dari kita. Namun, hal negatifnya juga bisa sangat merugikan. Di Indonesia sendiri sudah banyak terjadi terkait faktor kekuatan sosial. Misalkan saja ada seorang anak masyarakat biasa yang hendak masuk tes polisi, namun tidak lolos padalah ia lulus dari seleksi awal, setelah diteliti ternyata ia digantikan oleh seorang anak pejabat.
Adapun contoh kasus lain, seperti pejabat Indonesia yang merugikan negara dengan jumlah yang besar itu dihukum dalam sel mewah dan bisa didiskon masa tahanannya sedangkan masyarakat biasa yang hendak melindungi diri dari ancaman malah ditahan polisi. Kasus-kasus seperti ini merupakan suatu kesenjangan yang tidak bisa dibiarkan terus menerus. Dalam perspektif sosiologi hal ini bisa terjadi karena kekuatan politik dan kekuatan uang. Hal ini telah diobservasi dengan melihat berita-berita kesenjangan di media massa maupun media sosial.
Pertama, yaitu kekuatan politik, kita tahu sendiri bahwa dunia perpolitikan Indonesia memang tidak sehat. Kekuatan politik ini sangat membantu sekali apabila ada pejabat yang tersandung kasus untuk bisa menemukan solusi. Pejabat yang memiliki jaringan politik luas tidak menutup kemungkinan bahwa para penegak hukum yang memvonisnya merupakan rekannya, sehingga bisa saja apa yang divonis tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh dari kesenjangan hukum karena kekuatan politik adalah ketika ada seorang anak dari politisi elit di Indonesia yang sekaligus pemilik stasiun tv terbesar di tanah air, terkena kasus serius, yaitu narkoba, namun pemberitaannya tidak bertahan lama dan hanya divonis rehabilitasi saja sedangkan jika rakyat yang memakai itu terjerat pidana kurungan penjara.
Adapun contoh dari kesenjangan hukum karena kekuatan uang adalah para koruptor yang memiliki rekening gemuk bisa melobi penegak hukum untuk memangkas masa tahanannya. Juga mengupgrade fasilitas selnya. Hal-hal seperti ini membuat masyarakat geleng-geleng kepala.
Kesenjangan hukum perlu ditangani dengan cara dari diri kita sendiri dahulu yang harus menjadi masyarakat taat hukum, hingga pandai memutuskan untuk memilih pemimpin yang adil karena Indonesia merupakan negara demokratis. Pemimpin yang adil akan membawa negara ke arah yang baik dan benar dan tentu dirhidoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam urusan hukum, misalnya.
Pemimpin yang adil tidak boleh membeda-bedakan kerabat, keluarga, dan masyarakat biasa. Apabila salah dari mereka melanggar hukum yang ditetapkan maka sanksinya pun harus sama rata tanpa melihat latar belakang.
Almarhum Gus Dur, mantan presiden ke-4 Republik Indonesia pernah berkata, “polisi yang jujur itu cuma ada 3 polisi tidur, patung polisi, Jendral Polisi Hoegeng”.
Dari perkataannya sebaiknya kita bisa ambil sisi baiknya untuk menyadari betapa pentingnya kejujuran dalam menjalani kehidupan. Termasuk ke dalam menegakan hukum. Untuk menjadi negara maju mari kita sama-sama membangun kejujuran dari dalam diri kita dahulu. Agar menghindari ketidakadilan dalam hal ini kesenjangan hukum.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Prodi Sosiologi Angkatan 2020.