Wendy Andhika Prajuli*
PIRAMIDA.ID- Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri Indonesia aktif mendorong implementasi kesetaraan gender dalam hubungan internasional. Indonesia, misalnya, mendorong peningkatan jumlah perempuan di pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun, kebijakan luar negeri pro kesetaraan gender tersebut tidak diikuti oleh upaya serupa di dalam negeri.
Sebelum abad ke-19, perempuan telah memiliki peran diplomatik. Namun, profesionalisasi dan modernisasi diplomasi di abad ke-20 meminggirkan perempuan dari dunia diplomasi.
Masuknya ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri dalam beberapa tahun terakhir mengubah situasi tersebut. Pengarusutamaan kesetaraan gender menjadi norma baru di dalam kebijakan luar negeri.
Perubahan ini melahirkan kebijakan luar negeri berbasis gender di Swedia, Kanada, Perancis, dan Meksiko.
Sebagai contoh, Swedia mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar dalam proses perdamaian di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Swedia juga berusaha memperkuat peran dan hak-hak pekerja perempuan di Kroasia, Kamboja, Turki, dan Polandia melalui kerjasama bilateral.
Di dunia, jumlah perempuan menjabat menteri luar negeri juga meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir.
Dalam pengamatan saya, sejak 2000 hingga 2020, perempuan dari berbagai belahan dunia telah menduduki posisi tersebut sebanyak 195 kali. Sementara, di periode 1947 hingga 1999, perempuan hanya menduduki jabatan tersebut sebanyak 51 kali.
Gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia
Indonesia telah berusaha menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan prinsip dan norma kesetaraan gender.
Dalam kebijakan luar negeri yang pro kesetaraan gender ini, Indonesia fokus pada peningkatan peran perempuan sebagai agen perdamaian serta memperbesar jumlah personil perempuan pasukan penjaga perdamaian PBB.
Untuk meningkatkan peran perempuan dalam proses perdamaian, tahun 2019, Indonesia menyelenggarakan pelatihan regional peningkatan kapasitas diplomat perempuan dalam menganalisis dan mencegah konflik, dan membangun perdamaian pascakonflik.
Pada tahun yang sama, Indonesia juga melaksanakan Dialogue on the Role of Women in Building and Sustaining Peace untuk mendorong dan meningkatkan peran serta kapasitas perempuan Afghanistan dalam proses perdamaian di negara mereka.
Kegiatan ini diikuti oleh penyelenggaraan Afghanistan-Indonesia Women’s Solidarity Network di Kabul, Afghanistan, tahun 2020.
Sementara, untuk meningkatkan peran perempuan di pasukan perdamaian PBB, Indonesia memulainya dengan mengirimkan personil perempuan sebagai pengamat militer pada misi PBB di Kongo tahun 2005. Indonesia menargetkan untuk meningkatkan jumlah personil perempuan pasukan perdamaiannya dari 4% menjadi 7%.
Secara global, jumlah personil perempuan pasukan perdamaian PBB hanya 6,4% dari 82.245 personil pasukan perdamaian PBB.
Jumlah ini jauh dari harapan negara-negara anggota PBB, yaitu minimal 20% .
Untuk mewujudkannya, Indonesia mengajukan resolusi penambahan personil perempuan pasukan perdamaian PBB saat menjabat Presidensi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) Agustus 2020.
Resolusi ini disahkan oleh DK PBB pada 28 Agustus 2020 dan menjadi Resolusi 2538.
Menurut saya, ada tiga faktor yang mempengaruhi orientasi feminis Indonesia tersebut.
Pertama, adanya tren internasional untuk mengadopsi ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri. Selain, kebutuhan penerapan Resolusi 1325 terkait perempuan, perdamaian, dan keamanan yang telah diadopsi oleh Indonesia.
Kedua, adanya Instruksi Presiden No 9 tahun 2000 yang menginstruksikan penerapan pengarusutamaan gender di seluruh kementerian dan lembaga negara.
Ketiga, faktor latar belakang Retno Marsudi, yang menjabat Menteri Luar Negeri sejak 2014. Retno memiliki pendidikan, pengalaman, dan perhatian pada isu hak asasi manusia (HAM) dan gender.
Ia menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang undang-undang Uni Eropa di The Hague University of Applied Sciences, Belanda, dan juga belajar HAM di University of Oslo, Norwegia.
Tahun 2004, ia terlibat di Tim Pencari Fakta Munir S. Thalib. Perhatiannya pada isu gender terlihat dari tulisannya berjudul “Indonesian female diplomats and gender mainstreaming in diplomacy” yang dimuat oleh The Jakarta Post tahun 2005.
Isu gender di dalam negeri
Di dalam negeri, gender masih menjadi persoalan besar. Diskriminasi terhadap perempuan masih jamak terjadi.
Diskriminasi ini terlihat dari perilaku misoginis masyarakat yang sering menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual. Bahkan, sikap ini juga dipertontonkan oleh pejabat negara.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat angka kekerasan seksual di Indonesia meningkat sebesar 792% dalam 12 tahun terakhir serta lebih dari 90% kasus perkosaan di Indonesia tidak pernah dilaporkan karena korban takut menerima stigma dan disalahkan oleh masyarakat.
Alih-alih merespons situasi tersebut dengan memberikan jaminan hukum dan keamanan bagi perempuan, negara malah memperkuat potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan lewat upaya pengesahan rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang bias gender.
Sebaliknya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang berusaha melindungi perempuan hilang dari pembahasan di parlemen.
World Economic Forum (WEF) melaporkan kesenjangan gender di Indonesia makin memburuk sejak 2006. Pada 2006, Indonesia menduduki peringkat 68 dari seluruh negara yang ada.
Namun, pada 2020, peringkat Indonesia merosot ke 85. Dari empat indikator (partisipasi ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan, dan partisipasi politik) yang dipakai oleh WEF, Indonesia mengalami penurunan hampir di seluruh indikator.
Sekalipun Indonesia telah mengadopsi prinsip dan norma feminis dalam kebijakan luar negerinya, representasi perempuan di jajaran puncak Kementerian Luar Negeri jumlahnya masih kecil walaupun ada peningkatan signifikan dalam jumlah perempuan yang diterima sebagai diplomat.
Saat ini, jumlah perempuan yang menduduki jabatan puncak (eselon 1 dan 2) Kementerian Luar Negeri Indonesia hanya 14% dari total pejabat di posisi puncak tersebut.
Yang perlu dilakukan
Jelas ada ketimpangan dalam implementasi prinsip dan norma kesetaraan gender di Indonesia.
Indonesia aktif mendorong implementasi prinsip dan norma kesetaraan gender di dalam hubungan internasional. Namun, di dalam negeri, penerapan prinsip dan norma gender mengalami kemunduran.
Pemerintah dan masyarakat perlu mengatasi ketimpangan ini demi meningkatkan akses dan perlindungan bagi perempuan di Indonesia, dan menjaga citra dan upaya Indonesia dalam mempromosikan gender di level internasional.
Ada beberapa cara yang dapat diambil.
Pertama, pemerintah perlu aktif meningkatkan kesadaran gender di kalangan elite politik dan aparat negara. Penghambat utama kesadaran gender di level negara adalah pola pikir patriarki atau maskulin yang berkembang di kalangan elite politik dan aparat pemerintah.
Kedua, pemerintah juga harus memperbanyak hukum dan peraturan yang pro kesetaraan gender untuk mewujudkan hubungan gender yang berkeadilan. Di sisi lain, masyarakat perlu secara berkesinambungan menyuarakan dan mendesak pemerintah untuk lebih peduli pada persoalan gender.
Terakhir, masyarakat juga perlu menyelenggarakan pendidikan dan/atau kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kesadaran gender anggota masyarakat lainnya.(*)
The Conversation