Oleh: Anrico Alamsyah (Karsaksara)
PIRAMIDA.ID- Orang bilang tanah air bernama nusantara adalah tanah surga. Pulau-pulau berjejeran dengan rapinya, kekayaan alam bertaburan di tiap-tiap daerahnya, keberagaman budaya juga bahasa bagai penghias yang semakin melengkapi bahwa tanah yang kita pijak selain menyuguhkan air yang cukup juga menghidangkan berbagai sajian yang memang terdengar seperti tanah surga.
Bahkan di peradaban jauh sebelum hari ini beberapa negara Barat berlomba-lomba ingin memiliki apa yang nusantara miliki, memanfaatkan ramah tamah penduduk kita yang memang memiliki rasa kemanusiaan tinggi dan tidak menolak ketika ada ‘tamu’.
Namun sialnya, keindahan-keindahan yang telah tertuang barusan merupakan nusantara jauh sebelum peradaban hari ini terlepas bagaimana cara negara Barat yang memanfaatkan penduduk Bumiputera. Ya, dulu sekali keindahan itu tercipta.
Hari ini, setelah 76 tahun katanya kita merdeka, apakah kita benar-benar merdeka? Apakah kita berhasil benar-benar hidup nyaman dan aman? Suatu pertanyaan mendasar yang masih berkeliaran dalam pikiran saya. Mengingat berbagai permasalahan yang bagaikan peluru mengintai masyarakat nusantara hari ini.
Kemiskinan, korupsi, penebangan paru-paru bumi, aneka masalah lingkungan, kesenjangan dan masih terlampau banyak untuk disebutkan. Yang memperparah tangis Ibu Pertiwi adalah bagaimana hukum memposisikan porsinya. Karena seringkali hukum di nusantara bertindak tidak sebagaimana mestinya memperlakukan rakyat. Yang berkuasa semakin berkuasa sembari berkelakar bebas dan yang sengsara semakin tak memiliki kuasa akan hidupnya sendiri. Tragis dan miris mengingat bagaimana Nusantara dikenal bagai tanah surga di peradaban sebelumnya.
Hukum yang tercipta juga seringkali dilanggar oleh pembuat hukum itu sendiri dan diperparah dengan merugikan masyarakat biasa. Fenomena mengerikan yang mengakar di nusantara adalah bagaimana para penguasa negara kita semena-mena memakan uang rakyat, menikmati yang bukan haknya.
Padahal sejatinya para wakil rakyat bertugas mengayomi masyarakat agar memiliki kehidupan yang sejahtera. Dan ketika hukum berusaha menenangkan keadaan, hukum seringkali malah kalah dengan uang. Para koruptor memiliki kuasa untuk mempermainkan hukum dengan uang. Suatu kejadian yang menyayat hati mengingat fenomena tentang seorang nenek dituduh mencuri singkong karena hidupnya miskin, sedangkan anak laki-lakinya sakit dan cucunya kelaparan.
Hukum negara kita menuntut nenek tersebut membayar denda sekira 1jt rupiah dan jika tidak mampu membayar, nenek tersebut harus menjalani masa tahanan 2,5 tahun atas nama hukum!
Di negara yang katanya tanah surga beberapa tahun lalu, hari ini ada rakyatnya yang sampai kelaparan dan tidak ada pilihan selain mengambil singkong orang lain, sehingga hukum menjeratnya.
Beruntung saat itu hakim bernama Marzuki memiliki kepedulian dengan membayar denda nenek tersebut dan mendenda masyarakat yang hadir di pengadilan karena telah membiarkan seorang nenek tua sampai kelaparan. Akhirnya nenek tersebut pulang dengan selamat.
Dari dua fenomena tersebut, tampak nyata ketimpangan hukum di negara kita. Padahal jelas sekali tingkat kejahatan yang dilakukan sangat kontras. Para wakil rakyat memakan uang yang bukan haknya dan milik orang banyak.
Sedangkan satunya ada seorang nenek yang memakan singkong orang lain karena memang hidupnya kekurangan dan tidak ada pilihan lain. Tapi hukum di sini saya anggap gagal dalam menempatkan posisinya.
Dari dua fenomena tersebut tampak sangat nyata bagaimana hukum melangit meninggalkan kemanusiaan. Tajam ke bawah tumpul ke atas! Benar kata bapak proklamator kita, Ir.Soekarno bahwa perjuangan kita lebih sulit karena melawan bangsa kita sendiri!
Dua fenomena di atas hanyalah sedikit contoh dari banyaknya ketimpangan-ketimpangan yang menciderai Ibu Pertiwi. Melalui tulisan ini saya menaruh asa yang besar kepada pembaca, khususnya generasi muda agar kelak kita bersama-sama mampu merangkai peradaban yang lebih beradab. Terlebih tidak lama lagi kita akan memperingati Sumpah Pemuda.
Mari bersama menjadi pemuda yang tidak sekadar memperingati Sumpah Pemuda sebagai suatu simbolis dari sejarah yang megah 93 tahun lalu, melainkan ada upaya-upaya yang kita maksimalkan demi terciptanya negara sejahtera.
Penulis merupakan pemuda kelahiran Kota Madiun, Jawa Timur 21 tahun lalu atau lebih tepatnya 25 April 2000. Saat ini Anrico yang akrab disapa Rico sedang menjalani masa pertukaran mahasiswa di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) semester 5. Kampus asal Anrico berada di universitas negeri paling timur Pulau Jawa, yaitu Universitas Jember (UNEJ). Disiplin ilmu yang saat ini dienyam oleh Anrico adalah sosiologi dan Anrico memiliki kecintaan terhadap dunia kepenulisan dan perfilman. Sehingga beberapa karya telah dihadirkan Anrico melalui kolaborasi antara kepenulisan dan perfilman. Beberapa karya Anrico bisa dinikmati di Instagram pribadi miliknya dengan username : @anricoalamsyah