Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Amir mati ditembak kawan sendiri. Dihempas peluru atas konflik elite republik yang tak habis-habis. Bayangkan, salah satu perdana menteri kita ditembak mati tanpa peradilan.
Padahal, Amir hidup dari “prinsip harapan.” Sebab, hidup yang setengah-setengah selalu tak berbuah. Harapannya untuk Indonesia, yang pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya: “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.”
Lalu, pada kewargaan yang melampaui ras dan klan. Di sini Amir punya tanda yang jelas, bahkan lebih maju dari senior dan koleganya. Bahwa menjadi Indonesia karena ide dan praktik perlawanan semesta pada penjajah dan warisannya: fasisme dan rasisme.
Tentu saja. Di antara yang paling tragis hidup para pendiri republik adalah kisah Amir Sjarifuddin. “Doi barangkali lebih banyak jasanya daripada siapapun juga dalam membangun angkatan bersenjata Indonesia,” ungkap Gerry van Klinken dalam “’Aku’ yang Berjuang” termuat dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia suntingan Henk Schulte Nordholdt, Bambang Purwanto, dan Ratna Hapsari.
Tetapi, serdadu Kemal Idris dalam otobiografinya yang berjudul, “Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi” mengakui menjarah persenjataan pasukan Amir yang tertawan dan membunuhnya dengan keji.
Maka, pelajaran duka dan maaf perlu dikerjakan. Begitulah jika kita membaca sejarah awal berdirinya republik. Ini berkenaan dengan kisah Amir Sjarifuddin dan 10 pimpinan FDR lainnya. Mereka ditangkap dan dieksekusi oleh tentara bangsanya sendiri tanpa diadili sama sekali.
Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan beberapa menggenggam Injil di tangannya saat ditembak. Dan, Amir minta agar ia menjadi orang pertama yang dieksekusi.
Itu ditujukan sebagai jiwa pemimpin dan salah satu pendiri republik. Memang, sejak awal kita disuguhi konflik tak bertepi antar mereka. Seringkali pistol menyalak tanpa disangka-sangka.
Apa ide dan gagasan Amir sampai ia bertakdir menjadi musuh negara? Mari kita cek satu-satu. Agar kita bisa mengambil hikmahnya.
Pertama, Amir menulis keren sekali soal Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan istilah “politik dinamis” yang ditentukan bukan dengan darah klan melainkan oleh cita-cita bersama, nasib bersama dan keinginan bersama untuk mengejar cita-cita bersama: kemerdekaan abadi dan kedaulatan bangsa serta kemartabatan di antara bangsa-bangsa.”
Karena itu, jika kali ini beberapa elite berpikir bahwa Indonesia hanya miliknya (satu agama, atau satu keluarga, atau satu sukunya), ia keliru pikir dan sesat sejarah.
Pengetahuan kita soal pikiran dan tindakan Amir menjadi penting karena, semua bayi di Indonesia lahir jenius. Penjajah, sekolah dan pemerintahlah yang membuat mereka bodoh, lemah, inlander dan korup.
Ia memang mati. Tapi idenya abadi. Mengapa idenya abadi? Karena, Amir anti penjajah. Dan, perjuangan anti penjajahan di Indonesia tidak pernah dipisahkan dari gagasan anti-kapitalisme.
Sebab bagi Amir, kapitalisme setali tiga uang dengan imperialisme. Maka, membenci imperialisme adalah menyingkirkan juga paradigma kapitalisme, liberalisme dan neoliberalisme. Sambil mempromosikan dan merealisasikan sosialisme.
Bukti akan hal ini dapat dilihat dalam Pancasila yang memasukkan sila Keadilan Sosial, serta Pasal 33 UUD 1945 yang bercorak sosialistis. Bila sila Keadilan Sosial masih dinilai abstrak dalam perwujudan sosialisme maka Pasal 33 UUD 1945 telah mengkonkritkannya.
Pasal ini jelas anti imperialisme yang membiarkan penguasaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi orang banyak di tangan perorangan, kleptokrasi dan oligarki. Sebaliknya, pasal ini meneguhkan sifat sosialisme dan kelembagaan koperasi sebagai jalan ekopol republik Indonesia.
Apa solusi dari warga negara yang malas dan berkerumun? Amir menjawab dengan wamil (wajib militer). Tentu saja, wamil diadakan untuk meningkatkan kedisiplinan, ketangguhan, keberanian dan kemandirian pesertanya.
Amir memang jenius. Idenya sebagai menteri pertahanan kedua sangat luas. Di samping wamil, ia mengusulkan agar TNI-POLRI satu atap, tetapi dengan tupoksi yang berbeda: 1)TNI lebih ke luar; 2)POLRI ke dalam; 3)BIN yang menjembatani.
Baginya, karena kita negara postkolonial maka postur anggaran pertahanan dan keamanan harus besar porsinya, terutama di awal kemerdekaan demi persiapan perang dengan penjajah lama yang ingin kembali maupun baru yang ingin mengkoloni.
Agar tak campur aduk, Amir mengusulkan UU Keamanan Nasional dan UU Kewargaan. Semua harus dikurikulumkan.
Yang jadi soal adalah, banyak putusan publik kita lahir dari amnesia sejarah para pendiri republik dan mengacu ke negara lain yang tantangan dan kondisinya jauh berbeda. Akibatnya kini kita lihat, beberapa oknum TNI-POLRI lebih bangga menjadi kacung asing-aseng dan asong yang mengkhianati negara.
Kata Amir, ciri orang bodoh adalah ngobrolin kejelekan orang lain. Sedang orang pandai, ngobrolin perbaikan sekitar. Tetapi, yang paling hebat adalah orang jenius, mereka bicara terobosan dan solusi-solusi inovasi di masa depan.
Sayangnya, kita defisit manusia jenius. Surplus manusia bodoh. Akibatnya, negara kita jadi jahat dan buruk rupa. Apa yang tak hadir di negara pemangsa rakyatnya (predatory state)?
Jelas, proklamasi. Yaitu kuasa untuk mengatur diri sendiri secara merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Kuasa agar berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, berkemanusiaan dalam agama dan berpancasila dalam bernegara.
Jika tidak, kita kehilangan makna dan posisi sesungguhnya sebagai bangsa yang bernegara. Mengapa? Karena kini kita secara salah membiarkan negara predator yang mengelola kehidupan bersama.
Dalam negara predatorik, pemerintahnya lumpuh karena pelakunya cacat. Negaranya lemah karena pemerintahnya dungu. Bangsanya biadab karena elitenya serakah. Agamanya fundamentalis karena pimpinannya tak baca buku.
Akhirnya semua jadi kacau balau karena kita tak punya “titik pijak.” Kini, semua melawan semua. Kejahiliyahan merajalela. Zaman edan tak dirasa nista.
Kita tahu, sejarah manusia adalah sejarah kerakusan dan perang. Dalam dua aksiologis itu, manusia sangat fokus dalam menyerang musuh-musuh mereka. Cara ini sangat berbeda dari keseluruhan mahluk hidup di dunia yang cenderung lebih mengeksploitasi alam raya secara gradual.
Selanjutnya, perang dijadikan dalih bagi pertumbuhan ekonomi. Karenanya, manusia memiliki risiko minimal jika dibandingkan dengan makhluk bumi manapun yang mempertahankan teritori dan sumber-sumber kehidupannya. Saat kekuatan dirinya lemah, manusia membangun tribal (suku, agama dan ras). Saat tribalnya lemah, manusia menggunakan negara.
Dengan negara, manusia mengeksploitasi sesamanya demi kegemukan kantong sakunya dan kepastian stabilitas turunannya. Homo homini lupus yang survival of the fittest. SDM bertambah, SDA terbatas. Inilah asal muasal kerakusan dan perang manusia dan negara yang menjadi filosofi kehidupan predatorik.
Negara-negara penjajah di masa lalu dan kini adalah contoh jelas dari hadirnya predatory state.
Mereka bisa memangsa negara lain tapi juga senang memangsa warganegaranya sendiri.
Di dalam negara predator, hanya oligark yang bahagia. Hanya manusia wajah tembok tebal yang bisa senyum. Hanya pelacur yang lelap tidurnya. Selainnya, cemas setiap detik diterkam dan jadi mangsa temannya.
Singkatnya, di negara predatorian ini, elite berpikir adalah jenis makhluk yang paling sedikit (langka menjelang punah). Itulah sebabnya hanya sedikit kemajuan kita dalam bernegara. Jejak tak berjejak Amir membuktikan semua tesis di atas.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).