PIRAMIDA.ID- Kampanye lingkungan yang menjadi tumpuan jutaan orang yang ingin mengubah pikiran pemimpin dunia dimulai oleh seorang gadis muda asal Swedia – Greta Thunberg.
Dia baru berusia 15 tahun kala itu, tapi sudah memutuskan untuk membolos dan berdemo di depan Parlemen Swedia. Ia menuntut para politisi dunia untuk melakukan lebih banyak hal untuk lingkungan.
Panggung kampanye lingkungan berikutnya adalah Konferensi Perubahan Iklim COP25 di Madrid, Spanyol. Hampir 200 negara berpartisipasi dalam konferensi yang berlangsung selama 12 hari dan bertujuan untuk mencari cara meredam dampak perubahan iklim.
Aktivis lingkungan berharap banyak pada gerakan yang dimulai Greta, yang mereka pikir dapat memberikan daya dorong bagi konferensi yang masih berlangsung itu.
Bagaimana Greta bertranformasi dari remaja aktivis di Swedia menjadi ikon global kampanye perubahan lingkungan?
‘Fridays for Future‘
Semua bermula saat ia memutuskan untuk membolos sekolah setiap hari Jumat.
Pada 20 Agustus 2018, Greta mengunggah foto dirinya sedang duduk di luar gedung parlemen Swedia, the Riksdag.
Di sampingnya tampak poster berisi kritik dan dorongan bagi otoritas untuk mengambil tindakan terkait perubahan iklim.
Empat hari sebelumnya, ia mengunggah foto diri menggunakan kaos bergambar pesawat dicoret sebagai pernyataan bahwa ia tidak akan menggunakan moda penerbangan demi mengurangi jejak karbonnya.
Ia juga merupakan seorang vegan dan meyakinkan orangtuanya untuk berhenti mengonsumsi daging.
Saat berusia delapan tahun, ia menyadari bahwa perubahan iklim terjadi akibat aktivitas manusia, tapi para pembuat kebijakan gagal mendiskusikan krisis yang dapat mengubah wajah Bumi secara total ini.
Demo mingguannya mulai menarik perhatian media.
Ia kemudian mulai mengajak anak-anak muda lainnya di berbagai penjuru dunia untuk melakukan hal yang sama.
Sesuatu yang mulanya adalah kampanye di media sosial kemudian menjelma menjadi gerakan massal ‘Fridays for Future’.
Demonstrasi global
Dalam kurun setahun, jutaan pelajar di berbagai negara di dunia terinspirasi oleh Greta dan meninggalkan kelas mereka untuk mengacungkan poster-poster sarat pesan lingkungan.
Puncaknya pada 20 September 2019 lalu, saat jutaan orang, tua dan muda, di berbagai benua turun ke jalan.
Belakangan ini bukan hanya momen bersejarah bagi kampanye lingkungan, tapi juga tahun yang penting bagi Greta.
Greta telah menyampaikan pidato-pidato penting seputar perubahan iklim.
Pada Maret 2019, Greta menjadi salah satu kandidat termuda untuk menerima penghargaan perdamaian Nobel Peace Prize.
Awal tahun ini pula, ia bertemu dengan pemimpin Inggris, mendorong Uni Eropa untuk melupakan Brexit dan berkonsentrasi pada perubahan iklim.
Greta kemudian bergabung dengan kelompok aktivis Extinction Rebellion di London dan mendorong para aktivis muda lainnya untuk melanjutkan kampanye mereka.
Seruan untuk pemimpin dunia
Pada September 2019, ia berseru di konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, AS: “Kalian telah mencuri mimpi-mimpi dan masa mudaku dengan janji kosong kalian.”
“Ini salah. Seharusnya saya tidak berada di sini. Seharusnya saya sedang berada di sekolah di belahan dunia lainnya, tapi kalian malah mengandalkan anak muda untuk menjual harapan. Berani-beraninya kalian!”
“Kami akan mengawasi kalian,” seru Greta di depan para pemimpin dunia.
Saat Greta dan Trump berpapasan
Sekitar 60 pemimpin dunia menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang bersikap skeptis soal perubahan iklim, tidak diharapkan hadir dalam pertemuan sehari tersebut, tapi ia ada di kerumunan.
Greta Thunberg berpapasan dengannya di PBB. Momen tersebut terekam dan menjadi viral. Greta tampak kesal.
‘Orang paling berpengaruh di dunia’
Pada Mei 2019, ia dianugerahi julukan salah satu orang paling berpengaruh di dunia oleh majalah Time.
Greta kemudian mengunggah pesan di media sosial: “Sekarang saya berbicara pada seluruh dunia.”
Pada Juni, organisasi hak asasi manusia Amnesty International memberinya penghargaan ‘Ambassador of Conscience’ 2019.
Ia juga menciptakan karya seni musik dengan merekam esai perubahan iklim untuk album baru The 1975.
Ia menerima penghargaan “Freedom Prize” dari daerah Normandy di Prancis untuk perannya dalam kampanye perubahan iklim.
Greta juga menjalankan janjinya untuk tidak naik pesawat dan memilih jalur laut untuk bepergian saat harus memenuhi undangan untuk hadir di dua konferensi perubahan iklim di Amerika Serikat. Ia melaut selama dua minggu dari Inggris ke Amerika.
Ia juga dijuluki ‘Game Changer Of The Year’ dalam ajang penghargaan GQ Men Of The Year Awards 2019 dan muncul di halaman muka majalah GQ pada Oktober lalu.
Didiagnosis mengidap Asperger
Lima tahun lalu, Greta didiagnosis mengindap sindrom Asperger, salah satu bentuk autisme.
“Menjadi berbeda merupakan anugerah. Ini membuatku bisa melihat sesuatu dari sudut berbeda. Saya tidak mudah percaya pada kebohongan, saya bisa melihat secara jelas. Kalau saya sama dengan kebanyakan orang, aku tidak akan memulai gerakan membolos sekolah (untuk berdemonstrasi), misalnya,” katanya.
Dalam wawancaranya dengan majalah musik Rolling Stone, ia menyebut Rosa Parks, aktivis HAM asal AS, sebagai wanita pertama yang menginspirasinya.
“Saya jadi tahu bahwa dia adalah seorang introver, dan saya juga seorang introver,” katanya.
Berbicara soal Rosa Parks, Greta mengungkapkan bagaimana “satu orang dapat membuat perubahan yang begitu besar.”
Kini, Greta menjadi suara yang mewakili aktivis perubahan iklim – pencapaian yang luar biasa dalam waktu singkat.
Greta Thunberg telah menginspirasi jutaan orang di dunia untuk merapatkan barisan dan berkampanye, ia juga tampil di acara-acara penting mengenai perubahan iklim.
Media mengikutinya ke manapun dan meskipun Greta mengatakan ia masih terlalu muda untuk membuat pernyataan, ia tidak akan berhenti karenanya.
Mengutip pernyataannya sendiri, “Saya bisa bersuara dan ini adalah salah satu caraku untuk membuat suaraku didengar.”
Source: BBC Future.