PIRAMIDA.ID- Georg Wilhelm Friedrich Hegel, adalah salah satu pemikir paling terkenal dari Jerman. Ia percaya bahwa hidup adalah proses perubahan yang terjadi secara terus-menerus. Sebelum tutup usia pada 14 November 1831, Hegel tidak berhenti berkarya dan menyentil pemikiran kritis kaum cendekiawan.
Dialektika hegelianism menjadi sumber karya yang tidak habis dibahas oleh pemikir yang lahir setelahnya, utamanya Karl Marx dan Friedrich Engels.
Hegel lahir 27 Agustus 1770 di kota Stuttgart, di barat daya Jerman. Orang tuanya mempraktikkan ajaran Pietisme, gerakan reformasi Lutheran yang menekankan pengalaman religius sebagai hal yang bersifat pribadi.
Di sekolah, Hegel menunjukkan ketertarikan terhadap mata pelajaran matematika dan bahasa Latin. Dia langganan menjadi bintang kelas. Orang tuanya yang berharap dia akan menjadi pendeta, lantas mengirimnya ke universitas di dekat Tübingen, sebuah kota di wilayah selatan Jerman. Di sana dia belajar filsafat dan teologi Protestan.
Debat para filsuf pukul 4 pagi
Semasa tinggal di asrama universitas, dua orang teman sekamar Hegel adalah pemuda yang juga di kemudian hari bakal menjadi filsuf dan penulis kenamaan, Fredrich Hölderlin (1770-1843) dan Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1845).
Hampir setiap hari, ketiga pemuda itu, Hegel, Hölderlin dan Schelling bangun pukul 4 pagi untuk saling berdebat. Siapa pun yang telat dan tidak bisa bangun sepagi itu harus menyerahkan jatah minuman anggurnya sebagai hukuman.
Sekitar masa inilah Revolusi Prancis pecah. Hegel ikut merayakan pergolakan politik tersebut, tanpa menjadi seorang revolusioner militan.
Setelah studinya berakhir, Hegel dililit masalah keuangan. Untuk mengatasi masalahnya, Hegel memberikan tutorial secara privat dan menulis teks jurnalistik hingga tahun 1805, ketika dia diangkat menjadi profesor. Selain itu, Hegel juga terus menulis karyanya sendiri.
Karir ilmiah Hegel dapat dibilang dimulai terlambat, dan dia juga menikah pada usia yang cukup matang menurut ukuran zaman itu. Hegel memang bukan dikenal karena parasnya yang rupawan. Sering disebut-sebut, keningnya terus-menerus berkerut, tatapan matanya tajam tanpa ampun.
Selain itu, ia juga dikabarkan lebih memilih mengekspresikan diri dalam dialek lokal daripada menggunakan bahasa Jerman formal. Tulisan-tulisan tangan Hegel juga dianggap sulit dibaca, ini menjadi salah satu alasan mengapa teorinya menghasilkan interpretasi yang sangat berbeda hingga saat ini.
Konsep zeitgeist dan dialektika perubahan
Meski demikian, secara umum disepakati bahwa Hegel adalah filsuf pertama yang mengenali dan membahas dimensi perubahan, sebagai apa yang ia sebut “Menjadi” (“Becoming” atau “Werden” dalam bahasa Jerman).
Hegel percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini terus bergerak: setiap kehidupan individu, alam, sejarah, dan masyarakat. Hal ini mengakibatkan setiap era memiliki semangat zaman alias zeitgeist masing-masing yang khas.
Sebuah semanga atau ruh yang secara umum ditemui pada tiap-tiap zaman. Suatu zaman yang bersejarah tidak secara acak diikuti begitu saja oleh zaman lainnya. Sebaliknya, bagi Hegel, ada prinsip evolusi logis.
Sebagai metafora untuk menggambarkan konsep ini, Hegel menggunakan siklus pertumbuhan tanaman, yang tahapannya terjadi sesuai dengan prinsip yang telah digariskan. Dengan demikian, Hegel melihat sejarah sebagai siklus yang mengikuti logika yang telah ditentukan sebelumnya, yang kemudian, berulang kali menyebabkan kontradiksi dan revolusi.
Logika Hegel dibangun dengan menggunakan prinsip tesis, antitesis dan sintesis, lalu seiring waktu, sintesis ini kembali berlaku sebagai tesis, demikian prosesnya terus berlanjut dalam siklus ini. Dia yakin bahwa proses dialektika adalah perubahan yang secara konsisten membawa umat manusia, dan sejarah, untuk jadi selangkah lebih maju.
Konflik dengan Gereja
Sebagai seorang yang percaya akan Tuhan, Hegel banyak menulis tentang religiusitas dan masalah-masalah yang bersifat rohani. Ia juga menerapkan teorinya pada gagasan tentang Tuhan dan percaya bahwa Tuhan bukanlahi suatu entitas yang tetap eksis seperti adanya dari masa lalu, tetapi seiring perjalanan sejarah dan waktu menjadi apa yang eksis sekarang. Sebuah “gagasan dunia” (“Weltgeist”) yang menyatukan semua zaman terdahulu di dalamnya.
Ketika Hegel kemudian menolak dogma Katolik tentang transubstansiasi, atau perubahan hakikat yang menggambarkan roti menjadi tubuh Kristus serta anggur menjadi darah Kristus, pihak gereja memaksanya untuk menarik kembali pernyataannya dan secara resmi meminta maaf.
Pengaruh kuat terhadap Marx dan Engels
Para pemikir sayap kiri kemudian menggunakan filosofi dialektika Hegel sebagai titik awal bagi filsafat materialisme dialektis, yang menekankan pentingnya kondisi dunia nyata yang terpisah dari pikiran.
Dua pemikir utama teori tersebut, yakni Karl Marx dan Friedrich Engels, secara signifikan dipengaruhi oleh Hegel. Marx mengadaptasi dialektika Hegel, namun menanggalkan peran Tuhan di dalamnya. Kedua pakar filosofi terkemuka itu mengembangkan filsafat Hegel lebih lanjut dan menerapkannya pada ide persaingan antarkelas.
Hegel meninggal pada 14 November 1831 di Berlin pada usia 61 tahun, kemungkinan besar karena masalah perut kronis. Namun gagasannya terus hidup dan menginspirasi para filsuf besar yang lahir setelahnya.(*)
Deutsch Welle.