PIRAMIDA.ID- Wartawan dan penyair Heinrich Heine adalah seorang yang berjiwa merdeka, pemikir inovatif dan analis berbakat. Namun ia tinggal di negeri yang salah pada waktu yang salah: Jerman abad ke-19.
Jerman yang saat itu lebih merupakan kumpulan-kumpulan kerajaan tidak punya kebebasan pers. Buah pikiran yang tumbuh di benak Heine, yang kemudian dia tuliskan di atas kertas, dengan kejamnya dipotong pendek oleh sensor. Sering pula dihancurkan begitu saja.
Heine muda menolak untuk menyerah kepada penyensoran semacam itu. Dia percaya diri dengan pengetahuannya dan terus mencari ruang publik untuk menyuarakan opini. Rasa frustrasinya tertuang dalam karya-karyanya, seperti di buku Pictures of Travel. Di sana, ada satu bab penuh yang hanya terdiri dari poin-poin kosong dan dengan kata-kata seperti “Sensor Jerman” dan “Idiot” bertaburan di sejumlah halaman.
Sewaktu kecil, Heirich Heine yang lahir tanggal 13 Desember tahun 1797 ini dipanggil Harry – nama sebenarnya yang diberikan oleh kedua orang tuanya, Samson dan Betty Heine. Selain Heinrich, mereka juga memiliki tiga anak lain yakni Charlotte, Gustav dan Maximilian.
Ayah Heine adalah seorang pedagang gorden dan punya bisnis sendiri, tetapi ia terpaksa menyatakan bangkrut pada tahun 1819. Ia meninggal sembilan tahun kemudian. Ibu Heine, yang mendidiknya lebih disiplin, sangat ingin melihat putranya itu berada di lingkaran kaum borjuis. Sang ibu tidak ingin Heinrich muda terlalu serius mempertimbangkan karir sebagai penulis. Meski dalam hal ini mereka berbeda pandangan, Heinrich dan ibunya punya hubungan yang sangat erat.
Tanah air baru di Prancis
Sebagai seorang Yahudi, Heine juga menderita akibat sentimen antisemit yang kian tumbuh di Jerman. Untuk menghindari penindasan dan agar tetap bisa hidup dalam kebebasan, Heine memutuskan pindah dari Jerman. Pilihannya pun jatuh ke Paris, Prancis yang saat itu baru saja mengalami Revolusi Juli. Kebetulan, Heine memang sudah lancar berbicara bahasa Prancis berkat mengikuti kelas privat ketika masih sekolah.
Di Prancis, Raja Charles X yang saat itu berkuasa punya niatan untuk membubarkan parlemen dan membatasi kebebasan pers. Namun rakyat menolak dan pada Juli 1830 mereka berhasil membuat raja Bourbon terakhir itu hengkang. Heinrich Heine sangat antusias melihat situasi pengambilalihan kekuasaan ini. Sementara di Jerman, kebebasan pers tercabik-cabik oleh sensor. Ia pun merancang rencana untuk pergi ke Paris. Setahun kemudian, pada tahun 1831, Heine mewujudkan rencananya.
Gunting sensor makin tajam
Saat itu memang masa yang penuh pergolakan. Mesin cetak berkecepatan tinggi telah mengubah pasaran surat kabar. Heine mulai menulis sebagai koresponden dari Paris. Di tanah air barunya, Heine juga berteman dengan intelektual lain seperti penulis Honore de Balzac dan Alexandre Dumas. Selain itu, ia juga dikenal sering berkontak dengan komposer Frederic Chopin dan Franz Liszt.
Sewaktu meninggalkan Jerman, Heine masih percaya bahwa dia akan segera bisa kembali. Tetapi sensor makin ketat di wilayah berbahasa Jerman. Selain itu, terbit pula surat perintah penangkapan terhadap dirinya. Pulang ke rumah rasa-rasanya adalah hal yang tidak mungkin.
Tekanan sensor pun semakin berat. Di Jerman, ada yang disebut sebagai undang-undang pers reaksioner pada tahun 1819 yang represinya mencapai puncaknya di tahun 1835 dengan pelarangan seluruh karya dan publikasi kelompok penulis “Jerman Muda”. Selain Heine, para penulis lain yang karyanya juga dilarang terbit antara lain Karl Gutzkow, Heinrich Laube, dan Theodor Mundt.
Meski demikian, di Jerman ada juga para pendukung yang berani ikut membantu menyebarkan teks-teks Heine, yang mengampanyekan kebebasan dan demokrasi. Penerbit Julius Campe contohnya, berusaha menerapkan sensor seminim mungkin terhadap karyanya.
Bantuan keuangan dari Paman Salomon
Paman Heine yakni Solomon Heine memainkan peran penting sepanjang hidup penulis itu. Salomon Heine adalah seorang bankir yang sangat sukses yang tinggal di Hamburg dan sangat kaya. Saking kayanya, kebencian terhadap Yahudi dan antisemitisme sama sekali tidak berpengaruh terhadap Salomon Heine. Tanpa bantuan keuangan dari pamannya, Heine mungkin tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya dari penghasilan sebagai penulis.
Uang yang dikirim kepadanya dari Hamburg membantu Heine memenuhi kehidupannya pada masa-masa paceklik menulis, entah karena teksnya tidak naik cetak atau Heine telah membelanjakan seluruh uangnya dengan agak royal.
Namun dukungan pamannya itu tidak datang tanpa syarat. Solomon menuntut keponakannya menyelesaikan studi universitasnya. Heine pun belajar di universitas di Bonn dan Göttingen – dan mencoba memanfaatkan situasi ini.
Hubungan cinta-benci dengan Jerman
Heine juga bukan tipe orang yang selalu menyesuaikan diri dengan harapan orang lain, setidaknya tidak dalam tulisan-tulisannya. Banyak karyanya yang mencerminkan pandangan dan cara hidup yang provokatif. Seperti ketika ia secara ekspresif menulis: “Demokrasi telah menamatkan sastra: kebebasan dan kesetaraan gaya.”
Plihan kata-katanya yang tanpa malu-malu, tajam, kadang lucu dan kadang sedih, tetapi selalu jernih, telah yang menginspirasi komposer Jerman besar seperti Johannes Brahms, Richard Wagner dan Robert Schumann. Mereka mengaransemen musik untuk puisi-puisi Heine.
Kritikus sastra Jerman, Marcel Reich-Ranicki, mengatakan bahwa Heine adalah “jurnalis paling signifikan di antara penulis Jerman dan penyair paling terkenal di antara jurnalis dari seluruh dunia.” Satu tema disebut-sebut mendefinisikan karya-karya Heine adalah hubungan cinta dan bencinya dengan Jerman, tanah kelahirannya.
Korespondensi Heine dengan jelas telah mengungkapkan konflik batinnya akan masalah ini. “Bahasa Jerman merusak telinga saya. Puisi saya terkadang membuat saya jijik, saat saya melihat bahwa puisi itu ditulis dalam bahasa Jerman,” tulis Heinrich Heine kepada seorang teman pada tahun 1822.
Namun perasaan ini menjadi berbeda saat ia menuangkannya dalam karyanya yang termasyur, Deutschland. Ein Wintermärchen. Di sana ia menuliskan adanya perasaan yang sangat aneh di luar bayangan ketika ia mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Jerman. “Seolah-olah hati saya mulai berdarah akibat kenikmatan….”
Semakin lama Heine tinggal di Paris, semakin jelas dia merasakan konsekuensi pengasingannya. Dia juga gelisah oleh kerinduannya kepada ibunya. Heine akhirnya sadar bahwa dia tidak akan pernah bisa kembali secara permanen ke tanah airnya. Risiko penangkapan terlalu besar.
Pada Februari 1856, Heinrich Heine pun meninggal di Paris setelah bertahun-tahun terbaring di tempat tidur karena sakit. Dia dimakamkan di pemakaman kota di Montmartre dalam usia 58 tahun. Sebelum meninggal, Heine hanya sempat dua kali pulang kampung ke Jerman, tempat yang ia cinta, sekaligus benci.(*)
Source: Deutsch Welle.