Pra Noto*
PIRAMIDA.ID- “Empatpuluh lima tahun silam, ketika modernitas yang diatasnamakan oleh televisi dan kendaraan bermotor mulai menyebarkan virusnya di
Indonesia, perubahan budaya seketika terjadi dalam waktu yang cepat. Warga desa kebingungan memutuskan apa yang menjadi prioritasnya, membeli televisi yang hidup sepanjang hari, meski bahasanya tak mereka pahami. Membeli sepeda bermotor sekedar untuk pajangan rumah, sementara atap bocor tak diperbaiki. Hingga terjebak pertikaian akibat beda pilihan partai yang sesungguhnya tak mereka kenali.”
Demikian sebuah paragraf dalam buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya” karya cendekiawan, Emha Ainun Najib yang tampaknya masih begitu relevan
dengan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kenyataannya dalam setiap interaksi sosial kerap saja menyisahkan perpecahan-perpecahan kelompok sosial yang sifatnya turun menurun antar generasi.
Begitu banyak faktor-faktor yang mengakibatkan gesekan dan kontradiksi sosial bahkan tidak jarang berujung pada pertumpahan darah. Kondisi
ini berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan Karl Marx dalam teorinya mengenai “kelas sosial”, di mana akan terdapat jenjang (strata) sosial
dalam tatanan masyarakat kapitalisme yang pada akhirnya menjadi pemicu gejolak sosial.
Kota Pematangsiantar pada tahun 2020 tidak masuk dalam kriteria ’10 besar Kota Toleransi’ versi salah satu lembaga riset, Setara Institute.
Dalam salah satu wawancaranya dengan Tempo.co, 26 Februari 2020, wakil ketua organisasi
riset itu mengatakan, “Tahun 2015-2018 Kota Pematangsiantar selalu mendapat skor 10 terbesar terbaik. Tapi untuk 2020, maaf-maaf saja, terlempar dari 10 besar.”
Adapun yang menjadi salah satu variabel penilaian ialah Kota Pematangsiantar tidak berhasil merawat dan mempromosikan praktik toleransi.
Tentu secara ilmiah, setiap hasil riset dapat diuji kebenarannya dan tidak selalu dapat menjadi rujukan tunggal dalam melihat suatu fenomena.
Ini sejalan dengan teori yang disampaikan Epistemolog, Gaston Bachelard, yang mengungkapkan bahwa, “Setiap eksperimen harus
memberi kesempatan untuk munculnya argumen, dan argumen harus dikembalikan kepada eksperimen.”
Apalagi isu maupun fakta empiris yang dijadikan salah satu acuan skor adalah soal protes sekelompok masyarakat yang kecewa atas tindakan oknum tenaga medis Rumah Sakit (RS) soal pelanggaran hukum Islam.
Secara substansi, persoalan itu dapat dikategorikan sebagai sebuah kelalaian prosedural administratif dan tidak terkait sama sekali dengan ancaman intoleransi. Mengenai protes yang ada, hal itu
merupakan dinamika sosial biasa dan kemerdekaan menyampaikan pendapat telah dijamin dengan syarat dan ketentuan berdasarkan UU No 9 Tahun 1998.
Dan faktanya, tidak terjadi respon gejolak sosial di luar batas atas tindakan kelalaian tersebut.
Hanya saja, persoalan itu terkait erat dengan aturan hukum agama, hingga penegakan hukum atas kesalahan itu juga sepatutnya dikembalikan
dalam tatanan hukum agama pula.
Secara hukum formal, substansi Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Nomor B-505/L.212/Eko.2/02/2001 telah memuat konsekuensi logis, ditengarai antara aturan hukum dengan fakta materiil belum memenuhi unsur
korelasi hukum, hingga dapat ditarik sebuah benang merah peristiwa pidana di dalamnya.
Kendatipun demikian, adalah merupakan hak setiap orang berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperjuangkan haknya secara hukum.
Ini berkaitan dengan pendapat ahli hukum, Dr. Rony Andre C. Naldo, bahwa hak tidak hanya berkaitan dengan kepemilikan melainkan dapat dipandang sebagai sebuah kebenaran. Kenyataan bahwa masyarakat kota Pematangsiantar masih jernih melihat persoalan yang ada, ini dibuktikan dengan masih terjaganya nilai-nilai luhur Pancasila di sudut-sudut kota.
Tidak ada pertentangan sosial antar kelompok masyarakat yang berbeda suku maupun keyakinan, kendati bibit-bibit kebencian itu ada dan disebarluaskan melalui beragam informasi, namun masyarakat Kota Pematangsiantar begitu arif
meredamnya.
Lantas siapa yang bertanggung jawab atas hasil riset ini?
Wali Kota Pematangsiantar, Dr. Hefriansyah Noor ditanya soal ini dan menjawab “ini tugas kita bersama”. Terdengar klasik dan memang benar
ini tugas bersama.
Namun Wali kota tidak menyebut akan memperbaiki kinerja dan penerapan Standart Operasional Prosedur (SOP) Rumah Sakit
sesuai ketentuan UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan
Kewajiban Pasien, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah Muslim di Tengah Pandemi
Covid-19.
Wali kota berdasarkan ketentuan hukum, berwenang mengevaluasi seluruhnya terkait penerapan aturan hukum dan SOP di Rumah Sakit yang dibangun dari anggaran pendapatan daerah.
Di sinilah duduk perkara itu sesungguhnya bermula. Di mana terdapat kelalaian Rumah Sakit dalam
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi unsur keadilan. Hasil riset tersebut tentu bukan preseden buruk dan dapat dijadikan
bahan evaluasi bagi pemerintah maupun masyarakatnya, mengingat ketentuan penilaiannya yang juga beragam dari beberapa aspek.
Namun sebaiknya lembaga riset diharapkan lebih jernih melihat fakta-fakta mobilitas sosial di Kota Pematangsiantar, di mana sikap intoleransi di
Kota Sapangambei Manoktok Hitei ini nyaris tidak ditemukan.
Hari ini, masyarakat Kota Pematangsiantar masih baik-baik saja dalam merawat sikap tenggang rasa. Pedagang dan pembeli masih aman bertransaksi, walau terdapat kabar sedih mengenai pegawai pasar yang menanti gaji. Atau beberapa bangunan gedung yang seharusnya dapat menjadi penambah pundi-pundi ekonomi, malah mangkrak dan tidak
diurusi. Pun kesadaran berlalu lintas dan pengelolaan parkir serta sampah yang belum mumpuni.
Jika mengacu pada teori yang dikemukan Karl Marx di atas, sesungguhnya secara diam-diam dan di lorong-lorong sempit perkotaan, perbedaan perlakuan dalam menggapai keadilan antara kelas-kelas sosial itulah yang menjadi tantangan masa mendatang.
Struktur masyarakat yang kian kapitalis borjuis dan konsumtif dapat juga menjadi pemicu melunturnya sikap tenggang rasa dalam interaksi sosial, yang pada akhirnya mungkin akan memunculkan sikap abai terhadap nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar hukum dan bernegara.
Tetapi kita masih toleransi, dan sebaiknya makna toleransi tidak dikerucutkan hanya pada satu aspek gejala sosial saja.
Harapan akan semakin membaiknya pembangunan fisik dan Sumber Daya Manusia (SDM) di Kota Pematangsiantar, juga pantas dititipkan oleh salah satu pilar demokrasi, yakni insan media dan pers, di mana berdasarkan amanah Pasal 3 UU No 40 Tahun 1999, pers nasional berfungsi sebagai media informasi dan pendidikan.
Ini menjadi penting, karena keberimbangan analisis informasi yang disajikan pers serta tingkat literasi maupun minat baca sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam melihat suatu fenomena.(*)
Penulis merupakan Konsultan Hukum Pada Kantor Bantuan Dan Kajian Hukum Utilitarians Righibran.