Bapthista Mario Yosryandi Sara*
PIRAMIDA.ID- Salah satu komoditi unggulan sektor pertanian di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) adalah tanaman sirih. Tanaman dengan nama ilmiah piper betle, merupakan jenis tumbuhan yang tak asing didengar oleh banyak kalangan.
Tumbuhan yang termasuk dalam keluarga piperaceae ini, tak sekadar perantara bagi masyarakat untuk merajut silahturami dalam upacara adat, namun berdasarkan hasil observasi di Desa Manusasi (Kecamatan Miomafo Barat) dan Desa Tubu (Kecamatan Bikomi Nilulat), komoditas sirih memiliki nilai ekonomi yang dapat membantu menunjang kebutuhan pokok masyarakat.
Sebab tanaman sirih terutama yang berbuah, sangat mudah untuk dibudidaya, pun masa panennya tak mengenal musim pasca panen perdana (0 hari-1 tahun). Dan menariknya, soal relativitas unsur tanah, terkecuali tanah berkarang, tanaman tersebut akan tetap hidup di balik sandaran pohon.
Besarnya sumbangsih sektor pertanian terhadap pendapatan Kabupaten TTU tak terlepas dari peran para petani untuk mempertahankan penggunaan lahan demi menjaga produktivitas usaha pertanian.
Namun dalam perkembangannya, sebagian besar hanya bergerak pada usaha budidaya (on–farm), seperti halnya sirih. Kini, mayoritas masyarakat pedesaan membudidayakan sirih sebatas untuk dikonsumsi, dikarenakan minimnya perhatian dari pemerintah secara intensif, maka mereka tak berpikir ke ranah bisnis.
Padahal, jika Pemda mengintensifkan komuditas tersebut dalam program kerja di sektor pertanian, tak dapat dipungkiri, tanaman sirih menjadi alternatif untuk mewujudkan desa unggul dan berkelanjutan, namun fokus utama mengeluarkan masyarakat dari ketimpangan ekonomi dan garis kemiskinan.
Misi ini akan terwujud karena diuntungkan dengan memanfaatkan Anggaran Dana Desa (ADD).
Oleh karena itu, dengan melihat potensi yang bisa diunggulkan tersebut, pemerintah harus mempetakan basis implementasi hingga menghadirkan sebuah program dan inovasi signifikan demi mendorong masyarakat untuk bergerak secara kolektif, bekerjasama dengan stakeholder di bidang tersebut agar berimplikasi secara positif dalam hal peningkatan kemampuan ekonomi desa, terutama masyarakat setempat.
Pertanian Berkelanjutan
Makna “berkelanjutan” sering digunakan secara luas dalam lingkup program pembangunan. Namun apa arti sesungguhnya kata ini? Keberlanjutan dapat diartikan sebagai “menjaga agar suatu upaya terus berlangsung” atau “kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot”.
Perspektif berkelanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World Commision on Environment and Development melalui bukunya Our Common Future.
Dalam buku tersebut diperkenalkan beberapa gagasan “pembangunan berkelanjutan” beserta konsep-konsepnya yang sangat menarik (seperti “demokrasi dan keadilan”), termasuk debat mengenai hubungan seperti apakah yang seharusnya ada antara “lingkungan” dan “pembangunan”.[1]
Dalam lingkup akademis, diskusi tentang hal ini sering merujuk pada munculnya pertanyaan tentang pemakaian sumber daya alam yang terus berputar dan secara khusus pertanyaan tentang berapa banyak sumber daya alam harus berlanjut, pada tingkat kualitas seperti apa, untuk jangka waktu berapa lama, serta untuk keuntungan siapa.
Apa yang harus berkelanjutan adalah kapasitas pembaruan dan evolusi dalam ekosistem, serta inovasi dan kreativitas dalam sistem sosial kemasyarakatan.
Pada sektor pertanian, “keberlanjutan” pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumber daya.
Misalnya Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/CGIAR/ 1988) menyatakan, “pertanian berkelanjutan adalah pengolahan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam”.[2]
Namun demikian, definisi “berkelanjutan” dalam konteks pertanian mesti mencangkup beberapa hal diantaranya, ekologis, berlanjut secara ekonomis, adil, dan manusiawi. Sebab, dalam pembangunan di bidang pertanian, peningkatan produksi mesti diberi perhatian utama.
Meskipun ada batas maksimal dalam produktivitas ekosistem. Jika batas ini dilampaui, ekosistem akan mengalami degradasi dan kemungkinan akan runtuh, sehingga hanya sedikit orang yang bisa bertahan hidup dengan sumber daya yang tersisa.
Oleh sebab itu, tanggung jawab pemerintah adalah merajut sinergitas untuk menunjukan eksistensi terminologi atau konsep “pertanian berkelanjutan”, agar tak diklaim sebagai opini hampa.
Lokomotif Ekonomi Kerakyatan
Sektor pertanian merupakan sektor utama penunjang pendapatan Kabupaten TTU. Meski daerah tersebut memiliki potensi pada sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan yang cukup besar, namun hingga kini Pemerintah Daerah (Pemda) belum mampu mendongkrak ekonomi masyarakat maupun daerah secara signifikan melalui potensi yang ada.
Padahal sektor pertanian dapat menjadi indikator dalam menggambarkan kegiatan ekonomi pedesaan melalui usaha berbasis pertanian yaitu agribisnis.
Agribisnis merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi. Pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran dan kelembagaan penunjang kegiatan.[3]
Untuk itu, faktor–faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas adalah faktor produksi (kapasitas produksi), faktor sumber daya manusia (jumlah tenaga kerja, kualitas tenaga kerja dan upah tenaga kerja), faktor produk olahan (kualitas produk olahan, harga jual produk olahan dan manajemen pengolahan), faktor bahan baku (kuantitas bahan baku, kualitas bahan baku dan harga bahan baku), dan faktor pasar (manajemen pemasaran).[4].
Hal di atas harus diprioritaskan, sebab usaha tani merupakan salah satu jalinan kompleks yang terdiri dari tanah, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasnya.
Seorang petani tentu mengupayakan output dari input dan teknologi yang ada. Inilah yang kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumber daya setempat.
Dengan adanya tanaman sirih sebagai salah satu subsektor unggulan di kabupaten TTU, semestinya Pemda bergegas menyusun sebuah project untuk mengaktulisasi kebutuhan masyarakat dan pendapatan daerah yang berimplikasi pada bidang ekonomi.
Sebab melalui hasil observasi yang dilakukan penulis bersama beberapa pelaku usaha sirih-buah di Desa Tubu dan Desa Manusasi, ternyata tak ada luapan kekesalan dari mereka pasca menggeluti dunia usaha di bidang pertanian tersebut.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Bapak Lipus Elu (Petani Sirih) asal Desa Tubu ; bahwa Ia memulai usaha sirih-buah pada Februari 2011 lalu dengan menanam 750 pohon di lahan seluas 2 Ha.
Kemudian dibulan Februari 2012, dengan penuh rasa syukur Ia memanen hasilnya. Dari 750 pohon yang ditanam, masing-masing pohon menghasilkan 4-5 buah sirih. Pasca panen, sirih-buah itu dikantongi dengan menggunakan plastik jumbo kemudian dijual dengan harga/kantung= Rp.250.000. Jadi keuntungan yang didapat oleh Bapak Lipus dalam Aktivitas panen tersebut terus berlanjut tiap minggu, hingga sekarang.
Jadi selama Ia fokus menjejaki usaha tersebut, ia mampu menyekolahkan anaknya, membeli beberapa ekor sapi, membangun rumah permanen, lalu membentuk kelompok tani untuk bekerjasama meningkatkan perekonomian masyarakat di Desa Tubu melalui budidaya tanaman sirih.
Namun, di balik keberhasilan itu ada kendala yang timbul secara alamiah yakni mengenai sumber mata air. Selama masyarakat setempat merintis usaha itu, hanya ada satu aliran air yang menjadi sumber untuk menyiram tanaman mereka.
Satu-satunya lokasi sumber air di Desa Tubu berada di puncak perbukitan, dan perkebunan para petani pun berada di ketinggian. Tentu hal tersebut rentan dengan bahaya musiman periodik (misalnya tanah longsor).
Meski sejauh ini tak ada musibah, akan tetapi ketika memasuki bulan Januari-September, harga sirih merosot. Dari pendapatan/minggu = Rp.3.250.000 melambung turun menjadi Rp.1.500.000.
Tentu masalah tersebut menjadi salah satu gejolak dan ujian bagi para petani sirih di sana, dan masyarakat setempat yang membutuhkan air bersih untuk menjamin kebutuhan dalam rumah. Ketika memasuki bulan Oktober-Desember harga sirih kembali normal.
Tetapi untuk tahun 2020 keadaan tetap memburuk dikarenakan curah hujan yang tidak stabil dan berdampak pada subsektor tanaman pangan yang mengakitbakan gagal panen.
Dengan demikian, untuk menjaga proses produksi agar terus berlangsung, para petani membutuhkan input dari pemerintah untuk menjaga aktivitas pertanian mereka, misalnya benih, energi, unsur hara dan air.
Maka dari itu, dengan memperhatikan pengalaman dalam hal pembangunan di desa dengan berbagai kebijakan dan konsekuensinya dari waktu ke waktu, maka disadari bahwa desa harus dilihat sebagai subyek yang mempunyai kemandirian dan kemampuan dalam menentukan sendiri arah perkembangan yang ingin dicapai.
Desa dengan potensi yang dimiliki baik potensi manusia maupun alamnya yang khas dapat menjadi sumber untuk mewujudkan desa sebagaimana yang diimpikan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa pemerintah dan masyarakat desa dapat mewujudkan kreativitas bahkan inovasi-inovasi yang tetap memperhatikan karakter dan kearifan local yang dimilikinya.[5]
Referensi:
Bruce M, B Setiawan, Dwita H D, 2000, Pengelolaan sumberdaya dan lingkungan, Gadjah Mada University Press, hal-33.
Coen R, Bertus H dan Waters B, 1999, Pertanian masa depan, Kanisius press, hal-2.
Pasaribu A.M, 2012, Kewirausahaan Berbasis Agribisnis, Yogyakarta, Penerbit ANDI Yogyakarta.
Ratnaningtyas, Sudrajati dan Yogi, 2012, Pengantar Ekonomi Pertanian, Bandung, Penerbit ITB.
Herbert Siagian, 2017, Inovasi, Jakarta, Friedrich Ebert Stiftung