PIRAMIDA.ID- COVID-19 yang telah mengubah dunia selama enam bulan terakhir, membuat perjalanan internasional terhenti dan menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang resesi.
Tetapi ada sejumlah kelompok orang yang tak tahu adanya pandemi corona, meski mereka sendiri sangat rentan tertular.
Banyak migran Ethiopia belum pernah mendengar
Di Afrika, banyak migran Ethiopia melakukan perjalanan berbahaya melintasi bentang alam.
Somalia hanyalah perhentian pertama sebelum mereka sampai ke Yaman, kemudian ke Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya untuk mencari pekerjaan, seperti penuturan Carlotta Panchetti, pekerja dari Organisasi Migrasi Internasional (IOM) PBB di Mogadishu.
“Yang kami bicarakan di sini adalah migran muda, dengan jumlah persentase tinggi anak-anak tanpa pendamping atau perempuan yang bepergian sendiri yang benar-benar putus asa mencari peluang yang lebih baik,” katanya.
“Mereka bermigrasi dalam kondisi yang sangat mengerikan, jadi mereka hanya berjalan melalui padang pasir tanpa barang, hanya ditemani sebotol air bersama mereka.”
Dia mengatakan ketika IOM mulai mensurvei migran yang mereka temui untuk mengetahui apakah mereka tahu tentang virus corona, jumlahnya mengejutkan.
Pada bulan Maret, ketika virus corona mulai menyebar melalui Somalia dan dinyatakan sebagai pandemi, 88 persen migran yang disurvei IOM belum pernah mendengar tentang virus ini.
Pada akhir Juni, kesadaran soal pandemi mulai ada, tetapi 49 persen masih tetap tidak menyadari jika virus corona sudah menjadi pandemi dunia.
“Hampir setengah dari populasi yang kami jangkau dan survei masih belum pernah mendengar COVID-19,” katanya.
“Ini karena kurangnya akses ke internet, ke informasi yang dapat diandalkan, dan dapat dihambat oleh hambatan bahasa.”
Ketika para migran diberi tahu tentang virus mematikan yang sangat menular ini, respon yang diterima Carlotta dari mereka rata-rata tidak percaya, terkejut, skeptis, takut, dan merasa tidak pasti.
“Sekarang ada stigma tambahan bahwa [mereka] mungkin pembawa virus,” katanya.
Berbicara dari sebuah kamp pengungsi internal, sebuah video yang dirilis IOM menampilkan seorang ibu dari enam anak asal Somalia, Halima Ibrahim Hassan.
Halima mengatakan IOM memberitahunya tentang virus corona pada akhir Maret dan menasihatinya tentang jarak sosial dan kebersihan tangan.
“Kami sangat menghargai ini. Sesuai dengan nasihat itu, saya jadi sering mencuci tangan,” katanya.
Dalam video lain, seorang pekerja IOM terlihat berjalan sambil berbagi nasihat kesehatan melalui megafon di kamp dan tempat penampungan sementara.
“Virus ini tidak hanya menyerang orang non-Muslim, virus ini bisa menular ke semua manusia,” katanya.
“Penyakit ini hanya bisa dicegah melalui kebersihan.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengingatkan infeksi COVID-19 telah menyebar di Afrika dengan jumlah orang yang tertular lebih dari setengah juta kasus dan 11.000 orang meninggal.
Di Ethiopia sendiri tercatat 6.000 kasus dan 100 kematian karena virus corona, sementara Somalia mencatat lebih dari 3.000 kasus dan setidaknya 90 orang telah meninggal dunia.
Juru bicara IOM Afrika, Yvonne Ndege menambahkan kebanyakan dari mereka rentan terhadap virus tersebut karena sering terpaksa tidur saling berdekatan satu sama lain dan rute migrasi yang mereka lalui memiliki keterbatasan fasilitas kesehatan dan sanitasi.
“Kenyataannya adalah sebagian dari masyarakat yang paling rentan di dunia, yang cenderung tertular penyakit yang mematikan ini, malah tidak mengetahui bahwa virus ini eksis. Ini mengerikan,” katanya.
Myanmar: warga ‘buta dan tuli’ terhadap virus corona
Beberapa pekerja kemanusiaan kepada Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International mengatakan pemadaman internet terlama di dunia di sejumlah kawasan Myanmar telah memutus akses ke informasi penting, termasuk tentang virus corona.
Sembilan kota di negara bagian Rakhine dan Chin telah terputus dari akses seluler sehingga berdampak pada sekitar 1 juta orang yang tinggal di zona konflik.
“Myanmar telah mengalami pemadaman internet selama setahun. Beberapa warganya masih tidak tahu ada pandemi,” kata wakil direktur HRW Asia, Phil Robertson di akun twitternya.
Ia mengatakan kepada ABC, mustahil untuk tahu berapa banyak orang di desa-desa di wilayah pemadaman internet itu yang tahu tentang virus corona, tapi ia memperkirakan ada puluhan ribu orang berada di kamp-kamp pengungsian yang seringkali merupakan inkubator ideal untuk penyebaran cepat penyakit.
“Hanya beberapa orang saja di kamp pengungsian yang mengetahui tentang COVID-19 ini,” kata seorang pekerja kepada Amnesty International yang mengestimasi hanya 5 persen saja yang mengerti jika virus ini berbahaya.
Seorang warga dari Minbya menyampaikan kepada Amnesty International jika mereka tahu tentang COVID-19 dari TV, koran, dan siaran parabola ilegal, tetapi tidak memiliki akses yang termutakhir dari internet.
“Saya khawatir karena di saat perang kami masih dapat bersembunyi di hutan, tapi kami jelas tidak bisa lari dan bersembunyi dari virus,” katanya.
“Rasanya kami seperti buta dan tuli, dan tidak ada seorang pun yang melaporkan apa yang terjadi di Minbya.”
Phil Robertson mengatakan, pemadaman internet telah didesain untuk membuat orang-orang di Rakhine dan komunitas internasional buta informasi tentang konflik yang terjadi di sana.
“Pemerintah sudah berlaku tidak adil dengan memutus orang-orang ini dari informasi tentang wabah COVID-19.”
Juru bicara pemerintah, Zaw Htay, mengatakan tidak bisa menerima pertanyaan dari media melalui sambungan telepon sebelum menutupnya. Ia juga tidak merespon lagi panggilan telepon maupun pesan yang dikirimkan kepadanya,
Angka penularan COVID-19 di Myanmar tercatat sangat rendah, dengan hanya 316 kasus dan 6 kematian. Tetapi ini menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk soal pengetesan dan kualitas sistem kesehatan.
Komunitas adat di Amazon, Brasil
Brasil telah menjadi salah satu negara yang paling terpukul di dunia akibat virus ini, di peringkat kedua setelah Amerika Serikat.
Brasil mencatat lebih dari 1,6 juta kasus, termasuk Presiden Jair Bolsonaro, yang secara konsisten menyepelekan virus ini dan kini dinyatakan tertular virus corona.
Lebih dari 66.000 orang telah meninggal, dengan tingkat kematian masyarakat adat terpencil lebih tinggi diperkirakan jumlahnya lebih dari 400 kematian dan 12.000 kasus penularan.
Tiago Amaral, penasehat internasional untuk Artikulasi Masyarakat Adat di Brasil (APIB) mengatakan di saat mayoritas dari 300 masyarakat adat Brasil terhubung ke media dan mengetahui wabah koronavirus, ada sekitar 107 kelompok masyarakat adat yang tidak memiliki kontak dengan dunia luar.
Kelompok-kelompok dengan kontak yang sangat terbatas atau nol itu tidak akan menyadari bahwa virus itu ada, katanya.
“Mungkin beberapa dari mereka bahkan tidak tahu … dan itu hal yang baik, karena mereka terisolasi,” katanya.
Tiago mengatakan, beberapa kelompok “berhak merasa takut” melakukan kontak dan tinggal jauh di Amazon.
Brasil sebenarnya memiliki undang-undang yang membantu melindungi cara hidup masyarakat adat, namun meningkatnya jumlah perampas tanah dan penebang di bawah Pemerintah sayap kanan membuat Amazon dalam risiko.
Dia menambahkan fokus utama kesehatan masyarakat adat adalah mencegah penyebaran penyakit ke wilayah adat.
“Sudah jelas, sejak awal, bahwa Pemerintah Federal tidak akan menjadi sekutu untuk memerangi pandemi ini,” katanya.
“Sangat jelas masyarakat adat harus menciptakan sarana bagi diri mereka sendiri untuk melindungi diri mereka sendiri.”
Dia mengatakan kelompok-kelompok pejuang hak-hak masyarakat adat telah bersatu dan memetakan sebuah rencana untuk membangun pangkalan kesehatan darurat sederhana di zona-zona yang paling parah, selain juga melakukan kampanye dan mengumpulkan uang untuk peralatan.
Sumber: ABC Indonesia/Erin Handley
Untuk mengetahui perkembangan dan informasi lengkap tentang Australia dalam bahasa Indonesia, silakan klik laman ABC Indonesia.