Oleh: Putri Yati*
PIRAMIDA.ID- Dalam keluarga terdapat keluarga inti dan keluarga besar, yaitu keluarga inti yang hanya berkait terhadap kedua orang tua dan anak, sedangkan keluarga besar sebalik dari keluarga inti, yaitu tingga nenek, kakek, paman, dan bibi.
Dalam rumah tangga materi yang diutamakan karena kebutuhan yang semakin bertambah apa lagi keluarga yang memiliki kebutuhan yang banyak, kasih sayang atau cinta dalam rumah tangga juga menjadi landas kebahagian, dan sikap dewasa serta saling percaya/support membuat keharmonisan.
Rumah tangga juga tidak akan terlepas dari permasalahan baik permasalahan yang kecil maupun permasalahan yang besar, permasalahan dalam rumah tangga banyak yang mengatakan sebagai bumbu pemanis agar dua pasutri yang menjalankan tidak merasa bahwa yang di jalankan seperti monoton atau jalan di tempat.
Biasanya yang membuat manisnya dalam rumah tangga bukan hanya dari permasalahan walau permasalahan yang di jalankan permasalahan kecil, karena dari permaslahan kecil membuat suami dan istri selalu mengeluarkan argument yang kecil menjadi besar.
Suami dan istri juga harus mengeluarkan apa yang mereka tidak suka dari sifat atau sikap pasangan mereka, karena agar tidak menumpuk kekesalan dan menjadi konflik yang mengakibatkan adanya kekerasan verbal maupun non verbal.
Kekerasaan juga tidak mengenal gender, siapapun pasti atau pernah mengalami kekerasan baik verbal maupun non verbal, tapi dalam kekerasan rumah tangga perempuan selalu sebagai korban sehingga tidak bisa memberi toleransi dan mengakibatkan perceraian serta laporan kepada pihak berwajib.
Dalam kekerasan rumah tangga biasanya terdapat pemicu yang biasanya pemicu tersebut kesalahan dari pihak yang menyebabkan adanya kekerasan seperti suami yang tidak menafkahi secara sempurnah kepada istri dan anak, perselingkuhan, dan mental suami atau suami yang selalu merasa benar, sehingga jika istri mengeluarkan pendapat suami akan selalu marah dan membuat tindakan kekerasan.
Pentingnya paham agama, kebudayaan, serta merubah kepribadian lebih baik lagi di saat akan menikah, kerena pernikahan bukan hanya jalan lurus serta pernikahan akan berlangsung seumur hidup, sehingga sebagai pemimpin kepala keluarga harus mencontohkan yang baik. Dan tidak memberi luka batin dan fisik kepada pasangan.
Kekerasan rumah tangga bukan terjadi pada zaman modern saja, bahkan pada zaman jihiliyah perempuan yang melahirkan seorang putri akan mendapatkan kekerasan dan bahkan akan di kubur hidup-hidup. Kekerasan juga bukan hanya ada di lingkungkungan sekitar kita, pada hiburan tanah air juga mendapatkan prilaku buruk dari pasangannya.
Banyak alasan mengapa korban tidak berani meaporkan kejahatan yang di lakukan pasangannya salah satunya pandangan orang yang berbeda-beda dan tidak dapat dukungan dari orang terdekat. Kekerasaan terdapat berbeda-beda dalam pengartian.
Seperti halnya kekerasan di alami penghibur tanah air yaitu lesti kejora dan suami risky bilar di duga korban di cekik dan di banting oleh pelaku, awal terjadi kdrt korban mendaptkan bahwa sumai (rizky bilar) mempunyai selingkuhan.
kekerasan menurut Galtung amatlah luas, ia menolak konsep kekerasan sempit yaitu kekerasan fisik belaka. Ia melihat bahwa kekerasan dari segi akibat dan pengaruhnya pada manusia
Dan Johan Galtung mengenali enam dimensi penting dalam kekerasan:
1. Kekerasan fisik dan psikologis: karena Galtung menolak konsep kekerasan sempit, yaitu kekerasan fisik. Menurutnya, kekerasan juga berdampak pada jiwa seseorang. Kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental atau otak.
2. Pengaruh positif dan negatif: contoh yang dipakai adalah kekerasan terjadi tidak hanya bila ia dihukum bila bersalah, namun juga dengan
memberi imbalan ketika ia ‘tidak bersalah’. Sistem imbalan sebenarnya mengandung “pengendalian”, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun membawa kenikmatan. Ia mau menekankan bahwa kesadaran untuk memahami kekerasan yang luas itu penting.
3. Ada obyek atau tidak: Obyek yang disakiti umumnya adalah manusia secara langsung.
4. Ada subyek atau tidak: Jika kekerasan memiliki subyek atau pelaku, maka ia bersifat langsung atau personal. Namun jika tidak ada pelakunya, maka kekerasan tersebut tergolong pada kekerasan struktural atau tidak langsung.
5. Disengaja atau tidak: perbedaan ini penting ketika orang harus mengambil keputusan mengenai kesalahan. Sering konsep tentang kesalahan ditangkap sebagai suatu perilaku yang disengaja, Galtung menekankan bahwa kesalahan yang walau tidak disengaja tetap merupakan suatu kekerasan, karena dilihat dari sudut korban, kekerasan tetap mereka rasakan, baik disengaja maupun tidak.
6. Yang tampak dan yang tersembunyi: kekerasan yang tampak adalah yang nyata dirasakan oleh obyek, baik secara personal maupun struktural. Sedangkan kekerasan tersembunyi tidak kelihatan namun tetap bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah (unstable equilibrium).
Ketidakadilan juga didapatkan oleh perempuan atau korban kekerasan di rumah tangga karena pelaku hanya mendapatkan hukum dengan kasusu atas penganiyaan atau pembunuhan itupun tidak semua pelau mendapatkan hukum atau laporan dari korban, karena masih banyaknya perempuan yang takut untuk mrelaporkan apa yang di alaminya.
Kekerasan rumah tangga biasanya terjadi berulang-ulang sehingga membuat mental dan fisik korban sangat memperhatikan, dan mendapatkan kekerasan ini istri atau wanita memiliki strategi atau usaha agar tidak tertekan dalam permasalahan.
Usaha untuk mengatasi kondisi yang menyakitkan atau mengancam tersebut dikenal dengan istilah coping (Lazarus, 1976), Lazarus dan Folkman (dalam Folkman, 1984) membedakan strategi menghadapi masalah menjadi dua macam.
Pertama, disebut dengan strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada masalah , merupakan usaha individu untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dirasakannya dengan cara menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya stress secara langsung. Dalam masalah ini biasanya di arahkan agar individu lebih ada kemauan dan usaha agar tidak timbul stress.
Yang selanjutnya disebut dengan strategi menghadapi masalah. Strategi menghadapi masalah merupakan kecenderungan bentuk tingkah laku individu untuk melindungi diri dari tekanan-tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh problematika sosial (Folkman, 1984).
Sering mendapatkan kekerasan biasanya korban akan membuat atribusi agar bisa menyesuaikan yang terjadi, dalam adanya atribusi biasanya korban beranggapan bahwa mereka dapat mengontrol keadaan atau lingkungan (Kelley, dalam Tennen dkk, 1986) dan reaksi mereka sendiri (Taylor, dalam Tennen dkk, 1986).
Menurut Follette dan Jacobson (1987), orang yang mengatribusikan peristiwa yang dialaminya pada sesuatu yang di luar dirinya akan memiliki cara yang berbeda untuk menghadapi peristiwa tersebut dibandingkan dengan orang yang tipe atribusinya internal. Misalnya individu yang tipe atribusinya internal, stabil dan global akan cenderung menerima dirinya dalam kondisi tidak berdaya dan tanpa harapan (Metalsky, dkk, 1987).
Biasanya istri atau korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya cendrung sabar, pendiam, emosional dan bahkan korban selalu menerima kekerasan yang di berikan sumai atau pelaku dalam kekerasan tersebut, dan banyak usaha agar pelaku tidak selalau menyerang fisik dan mental korban dan jika usaha tidak mendapatkan hasil yang di inginkan maka jalan perceraian salah satunya.
Fakta ini sesuai dengan pendapat Follette dan Jacobson yang menyatakan orang yang mengatribusikan peristiwa yang dialaminya pada sesuatu yang di luar dirinya akan memiliki cara yang berbeda untuk menghadapi peristiwa tersebut dibandingkan dengan orang yang tipe atribusinya internal.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Angkatan 2020.