Oleh: Sakila*
PIRAMIDA.ID- Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Konflik biasanya diidentikkan dengan tindak kekerasan.
Dalam setiap hubungan antar individu akan selalu muncul dengan adanya konflik, tak terkecuali dengan hubungan keluarga Konflik dalam keluarga biasanya terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antar anggota keluarga.
Permasalahan keluarga terkait dengan Membagi harta waris, bisa menjadi kompleks dimana para ahli waris ingin mengambil seluruhnya harta peninggalan, sehingga bisa menimbulkan kerugian untuk orang lain bahkan bisa menyebabkan timbulnya kriminalitas seperti perampokan dan pembunuhan (Rumambi, 2015). Selain itu dikarenakan oleh sifat rakus dan tamak, hal ini juga bisa terjadi disebabkan kurangnya pemahaman terkait pembagian harta warisan.
Pembagiannya ditunda lebih lama atau meninggal dunia nya beberapa ahli waris sebelum dibagikannya harta warisan, sehingga dbutuhkan perhitungan yang kompleks dan dasar pijakan hukum yang jelas pada saat akan dibagikan,sehingga pihak terkait tidak dirugikan (Tirkaamiasa dan Usino, 2015).
Untuk menjaga kurukunan di dalam keluarga, maka solusi terbaiknyanyaitu dengan menggunakan panduan dari Al-quran dan Sunnah (Rosmila et al., 2016). Pembagian harta warisan dianggap bukan hanya sekedar mempunyai nilai ekonomis (Tirkaamiasa dan Usino, 2015). Kadang timbul perselisihan dalam membagi harta warisan ini yaitu disebabkan perubahan sosial di tengah masyarakat yang masih ada.
Yang pertama, yaitu disebabkan jumlah warisan yang diterima laki-laki lebih banyak dari perempuan, Padahal kebutuhan-kebutuhan sosial pada dasarnya tidak membedakan jenis kelamin (Wahyudani, 2015). Kedua yaitu hak mewaris anak hasil perkawinan siri, di mana perkawinan ini dilaksanakan sesuai dengan agama, hanya tidak dicatatkan dan masih terjadi di dalam masyarakat Indonesia (Agustina, 2015). Ketiga adalah status anak angkat dalam memperoleh harta warisan dimana hal tersebut sudah di atur pada peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 (Karaluhe, 2016).
Selama ini perhitungan jumlah warisan dan penentuan ahli waris yang diperoleh setiap ahli waris masih dilaksanakan dengan cara manual (Mufadhol, 2011). Perhitungan secara manual yang dimaksud adalah seluruh keluarga berkumpul dan jika diantara keluarga tidak ada yang paham akan cara atau prosedur pembagian warisan, keluarga tersebut bisa mengundang seorang yang paham dan telah terbiasa membagikan warisan (Minarni at al., 2018). Hal ini adalah masalah yang sensitif, oleh karena itu diperlukan ketelitian pada saat menghitung harta waris yang akan dibagikan (Septiana et al., 2017).
Belakangan diketahui banyak terjadi konflik yang ada di masyarakat berhubungan dengan harta tanah dalam pembagian waris. Hal itu biasanya terjadi karena tidak mendahulukan musyawarah bersama antar anggota keluarga. Meskipun dalam pembagiannya sudah sah secara ketentuan hukum pembagian waris, namun selalu ada pihak yang tidak menerima hasil pembagian tersebut. Akibatnya, terjadi perebutan harta warisan setelah orang tua meninggal dunia. Perihal semacam inilah yang bisa menyebabkan perpecahan antara keluarga.
Konflik keluarga yang terjadi di masyarakat ini kerap terjadi, paling utama dalam pembagian warisan tanah. Banyak dari masyarakat yang memutus tali silaturahmi sebab berebut tanah hasil peninggalan. Tidak sering pula, kerap terjadi pembunuhan atau perkelahian antar keluarga.
Harta warisan adalah segala wujud harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia setelah dikurangi dengan hutang piutangnya (Titik Khumairoh, 2011).
Konflik harta warisan umumnya tidak pernah terselesaikan, terutama karena hanya penyelesaian sementara melalui musyawarah, tidak satu pun yang berhasil diselesaikan secara tuntas. Meskipun demikian, Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi sebagai lembaga adat tertinggi penyelesaian kasus peradilan adat tidak dimanfaatkan karena jika menaikkan kasus ke tingkat yang lebih tinggi membutuhkan biaya yang tinggi pula. Hanya 1 (satu) dari 20 kasus yang diselesaikan secara tuntas melalui peradilan negeri.
Meskipun perkara harta warisan sudah putus di tingkat desa, tetapi konflik dalam keluarga tetap berlanjut. Konflik yang tampak berupa pertengkaran, salah satu pihak tidak hadir dalam acara keluarga, ada juga yang pindah rumah meninggalkan kampung halaman karena pertengkaran tersebut. Bahkan ada yang sampai meninggal pun salah seorang ahli waris tidak datang untuk menjenguk karena kebencian dalam hal pembagian warisan. mediatornya adalah ketua adat, tokoh-tokoh masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Sesuai dengan proses resolusi dengan metode penyelesaian konflik oleh Liliweri yaitu pada metode kompromi. Sama halnya dengan metode akomodasi, metode kompromi juga mengandalkan penengah atau mediator sebagai pengontrol konflik. Pada konflik ini mediator yang sangat berperan adalah ketua adat.
Indonesia lembaga adat desa sebagai wadah organisasi permusyawaratan dan mediator dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, diharapkan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat yang berkenaan dengan adat istiadat sehingga menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis pada masyarakat desa itu sendiri. lembaga adat desa sebagai mediator penyelesaian konflik keluarga muslim sasak pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan suatu masyarakat, dalam menjalankan tugasnya tentu tidak lepas dari prinsip, prosedur dan fungsinya sebagai lembaga adat desa.
Melestarikan nilai-nilai adat istiadat dan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyelesaikan berbagai persoalan atau konflik yang terjadi dengan prinsip perdamaian atau secara damai dan kekeluargaan serta mempertahankan keharmonisan sosial dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Menyelesaikan masalah konflik keluarga secara adil dan bertanggung jawab, memberikan soulsi atau jalan keluar yang menciptakan kedamaian pihak yang bertikai, bersikap menghormati dan mengerti berbagai perbedaan pendapat, merasakan masalah yang mereka hadapi dan fokus pada masalah yang mereka hadapi dan bersikap netral diantara mereka yang bertikai dan tetap mengacu pada nilai-nilai adat seperti asas kerukunan, azas keselarasan dan azas kepatutan termasuk melakukan tiga cara yaitu konsiliasi, mediasi. Solusi dalam penyelesaian konflik keluarga diselesaikan secara kekeluargaan dan memberikan nasehat kepada meraka untuk saling menerima dan saling menghargai serta Saling memahami dan memaklumi perbedaan masing-masing.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Sosiologi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).