Purnama Ayu Rizky*
PIRAMIDA.ID- Ada kredo bahwa sejarah biasanya ditulis pemenang, sementara mereka yang kalah menulis komedi. Buat kelompok yang terpinggirkan, komedi menjadi sarana penting untuk bertahan hidup—bahkan melawan penindasan. Pemikir budaya Rusia Mikhail Bakhtin (1984) pernah berujar, suara yang kalah harus secara halus menanamkan kritik tanpa diketahui. Komedi adalah salah satu jalannya.
Masalahnya, sebagai produk budaya, komedi bisa berwajah ganda. Di satu sisi, ia menjadi alat kritik sosial yang ampuh. Tapi pada sisi lain, ia juga bisa merendahkan kelompok marjinal dan melanggengkan status quo. Artinya, tak semua komedi berpihak pada yang kalah. Kadang, komedi jadi agen para pemenang untuk mendukung program atau menormalisasi penindasan juga.
Salah satu contohnya adalah lelucon mendiang Olga Syahputra pada 2011 lalu. Dalam sebuah scene komedi di televisi, Olga yang saat itu melakoni peran sebagai Suster Ngesot, ditanya oleh Sule, “Olga, kenapa lu jadi suster ngesot?” Dengan santai, Olga menjawab, “Sepele, diperkosa sopir angkot,” ujaranya kala itu. Lelucon Olga sendiri panen protes karena dianggap menyakiti penyintas perkosaan dan menormalisasi rape culture.
Meski demikian, komedi juga punya peran yang penting sebagai alat kritik sosial. Ini selaras dengan analisis psikoanalis Sigmund Freud dalam Jokes and Their Relation to the Unconscious (1960) yang menyebutkan dua fungsi komedi.
Fungsi pertama adalah melerai ketegangan dan kecemasan. Scott Weems, dalam Ha! The Science of When We Laugh and Why (2014) menjelaskan lebih jauh soal fungsi ini. Menurut Weems, komedi melibatkan proses psikologis yang membuat manusia memberikan respons yang berlawanan dari kecemasan yang ia alami.
Tawa mampu meningkatkan pelepasan beta endorfin, bahan kimia yang mengikis depresi dan hormon pertumbuhan manusia alias HGH. Itulah mengapa orang cenderung lebih mudah menertawakan penderitaan, ketimpangan sosial, atau penindasan dengan cara paling janggal sekalipun.
Kedua, komedi bisa menjadi sarana kritik atau resistensi atas kondisi sosial dan politik. Menurut Freud, lelucon satir, ironi, atau sarkasme, adalah cara mengungkap kebenaran yang sukar diterima jika disampaikan apa adanya.
Ketika Kritik Komedi Berujung Represi
Fungsi komedi yang merangkap sebagai alat kritik, tak melulu berakhir bahagia bagi para komediannya. Misalnya, lelucon satir Bintang Emon soal penanganan kasus penyidik KPK Novel Baswedan membuatnya diserang dari berbagai penjuru.
Serangan digital pertama yang ia alami terjadi pada 14 Juni 2020, ketika ia dituding mabuk sabu-sabu, sehingga kerap bicara ngawur. Tak berhenti di situ, seorang yang mengaku-ngaku politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Charlie Wijaya melaporkan komedian itu ke Kementerian Komunikasi dan Informasi, karena dianggap menghina aparat penegak hukum.
Bintang Emon tak sendiri. Sebelumnya, seorang warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, Ismail Ahmad diringkus polisi karena mengutip guyon lama Gus Dur soal polisi. Ia mengunggah meme dengan tulisan: “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: Patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”. Ismail Ahmad memang bukan komedian, tapi sikap aparat ini menjadi pengingat betapa lelucon kritis tak cukup “lucu” bagi mereka yang jadi sasaran kritik.
Di sepanjang sejarah, lelucon bermuatan kritik juga harus berhadap-hadapan dengan represi penguasa dalam berbagai takaran. Cak Durasim, seniman Ludruk Alap-alap Surabaya ditangkap pemerintah kolonial Jepang dan disiksa hingga babak belur karena kritiknya.
Dikisahkan dalam Profil Tokoh Kabupaten Jombang (2010), saat tengah pentas di Keputran, Kejambon, Surabaya, Cak Durasim melantunkan kidung yang sangat populer kala itu. Kidung, atau biasa disebut “parikan” oleh warga Surabaya, itu berbunyi:
“Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah soro.”
Artinya, bekupon (sangkar burung dara), Ikut NIPPON (Jepang) bertambah sengsara.”
Cak Durasim memang ajeg mengkritik kekejaman penjajah Jepang, yang menurutnya lebih kejam ketimbang kolonialis Belanda. Malangnya, ia harus memanen kekerasan di penjara Jepang hingga akhirnya meninggal pada 1944.
Bertahun-tahun kemudian Jojon, pelawak Srimulat yang sohor dengan kumis ala Charlie Caplin dan celana longgar hingga atas pinggang, harus berurusan dengan pemerintah Orde Baru karena lawakannya soal Soeharto.
“Kalau di uang Rp500 itu gambar monyet, kalau di Rp50 ribu itu bapaknya monyet,” demikian penggalan lawakan Jojon di salah satu stasiun TV nasional medio 1990an. Uang Rp50 ribu saat itu memang bergambar Soeharto yang menyebut dirinya sebagai Bapak Pembangunan.
Jojon tidak sampai dipenjara, melainkan hanya mendapat teguran saja dari pemerintah. Kasusnya pun hanya bergulir seminggu, tak pernah berkembang sampai meja hijau.
Masih di era Orde Baru, film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena (1983) dilarang tayang sementara oleh rezim Soeharto. Dalam wawancara dengan Kompas, Indro Warkop menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh jumlah penonton film tersebut membludak hingga 658.866, melampaui film keramat G30S/PKI. Tapi ada sebab lain.
Warkop DKI sudah terkenal sebagai kelompok komedian yang konsisten menyuarakan kritik sosial. Grup itu kerap melempar lelucon yang menyindir militerisasi kampus, pemaksaan P4, maraknya gelar sarjana asing, akal-akalan program Keluarga Berencana (KB), sampai urbanisasi dan transmigrasi.
Di film Maju Kena Mundur Kena sendiri bertebaran kritik terhadap pemerintah. Misalnya tampak dalam percakapan, “Ini bukan hasil korupsi, kan? Korupsi bikin sakit hati.”
Di luar negeri, kasus komedian Amerika Lenny Bruce pada 1964 merupakan salah satu yang layak dicatatat. Saat itu Bruce bahkan ditahan empat bulan karena dianggap mengolok-olok agama sekaligus metode hukuman mati yang terkenal di Amerika.
“Seandainya Yesus terbunuh 20 tahun silam, murid-murid sekolah Katolik akan mengenakan kursi listrik di leher mereka, bukan salib,” ujar Bruce.
Contoh yang paling anyar terjadi pada empat komedian Uganda yang tergabung dalam grup komedi Bizonto. Pada Jumat (24/7), Julius Sserwanja, Simon Peter Ssabakaki, Merceli Mbabali, dan Gold Kimatono ditangkap polisi setempat. Polisi menuduh mereka mempromosikan sektarianisme, menebar kebencian dan ketakutan dalam video humor mereka.
Penangkapan ini sendiri dipicu oleh video yang diunggah pada 15 Juli 2020. Di dalamnya, mereka menyerukan ajakan kepada orang-orang untuk berdoa bagi pemimpin di pemerintahan Uganda, yang mencakup Presiden Yoweri Museveni dan kepala badan pemerintah termasuk Komisi Pemilihan, Otoritas Pendapatan Uganda, Penjara Uganda, Bank Uganda, Kementerian Keuangan, Organisasi Keamanan Internal, dan Polisi Uganda sebagai pemimpin tertinggi negara itu.
Kendati tak secara eksplisit mengatakannya, tetapi para pemimpin yang disorot video ini semuanya berasal dari wilayah barat Uganda, sehingga menyiratkan bahwa kekuasaan terkonsentrasi pada sekelompok oligarki yang sangat terpusat di daerah tertentu saja.
Namun, rentetan represi ini tak efektif dalam membungkam komedi. Hingga hari ini, komedi yang kritis masih berumur panjang, kendati sejarah komedi tetap diwarnai teror dan penangkapan dari penguasa baperan.
Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana UI. Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman remotivi.or.id.