Bismar Sibuea*
PIRAMIDA.ID- Malam itu, pukul satu, atau lebih tepatnya pukul satu dini hari, aku tak ingat lagi tepatnya hari apa, tanggal berapa, namun aku masih ingat saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP.
Malam itu tiba-tiba Ayahku membangunkan aku. Hanya aku yang dbangunkannya dari tidurku. Adik–adikku masih tertidur pulas dengan mimpi mereka yang tak terbeli, setelah sepanjang hari, seharian mungkin harus menjaga tingkah, berlaku malu, menutup wajah, menebalkan muka dengan senyum palsu, lantaran keadaan keluarga kami yang memang sedang menahan, menangggung malu..
Ayahku memutuskan mengusir ibuku sebulan lalu, setelah ayahku mendapat berita dan didatangi beberapa debt collector dari beberapa koperasi; setelah ayahku tahu kalau kartu Jamsostek-nya telah digadaikam ibuku kepada seorang rentenir di kampungku; setelah entah sudah berapakali ayah dan ibu harus jadi “tontonan” gratis warga di kampung kami, kampung yang berbaur 2 atau 3 agama, 3 atau 4 suku, namun didominasi suku Batak.
Iya, kampung kami yang dua tahun terakhir selalu mendapat tontonan gratis sejak ayah dan ibuku pindah dari desa Rambung Merah, ke desa gang Aman. Tempat tinggal ayah dan ibuku. Sedang aku sejak kecil sudah diasuh oleh oppungku, ibu dari mama ku.
Semenjak ibu dan ayahku pindah ke rumah kontrakan yang kami tinggalin saat itu, para warga kerap kali mendapat hiburan gratis; tontonan yang tak sepatutnya dipertontonkan; hiburan yang tak seharusnya dianggap hiburan, karena di atas hiburan itu, aku, adik adikku, ibu dan ayahku yag harus menanggung malu.
2 tahun terakhir ayah dan ibuku selalu ribut, selalu bertengkar, dan setiap bertengkar selalu saja warga kampung menonton. Memang, setiap ayah dan ibuku ribut, selalu terdengar ke warga kampung. Maklum kami menyewa rumah kontrakan yang dinding rumah hanya berbatas triplek saja sebagai pembatas dengan rumah sebelahnya. Spontan saja warga kampung menonton, seperti sedang menonton acara di televisi, yang sengaja didramitisir untuk menarik perhatian para penonton.
Dan memang setiap ayah dan ibuku ribut, spontan aja tanpa aba-aba, warga kampung akan secepat kilat datang berduyun–duyun, seakan keributan keluarga kami hiburan yang sebanding dengan artis papan atas. Anehnya keributan ibu dan ayahku, kami, benar-benar mereka anggap hiburan, karena saat ayah dan ibuku ribut, hingga adu pukul, tak satupun dari mereka yang melerai.
Mereka bahkan sesekali terdengar bersorak sorai seperti sedang menonton pertandingan tinju, dan aku hanya bisa terdiam, tertunduk malu di balik pintu, mengintip dari sela-sela engsel pintu, melihat orang–orang yang menonton ibu dan ayahku bertengkar dan berantam di teras rumah, dan permasalahannya selalu itu dan hanya itu saja: “hutang”.
Ibuku yang tak cukup bijaksana dalam mengatur keuangan kami, ayahku yang tak cukup sukses untuk bisa menghidupi kami dengan ekonomi yang mapan, dan kami anak-anaknya berjumlah 6 orang yang membutuhkan tak hanya dana untuk hidup saja, melainkan untuk pendidikan kami, sekolah kami serta kurangnya kerukunan, keharmonisan di keluarga kami, buruknya keimanan kami dalam beragama, dan lemahnya kerjasama kami yang semakin memperburuk situasi keuarga adalah hal hal yang meyebabkan kami jadi hiburan rutin bagi warga kampung, karena setiap minggu ada saja yang datang menagih hutang, dan setiap itu pula aku harus terdiam, tertunduk, terpaku di balik pintu, melihat adik-adikku yang tercengang, menangis, malu, sedih melihat orangtuanya yang beradu mulut, adu pukul, dan selalu ditonton warga.
Tak bisa kubayangkan betapa depresinya adik-adiku yang masih muda, masih belia harus selalu dan harus terlatih melihat momen-momen yang tak layak dilihat anak kecil, di mana aku sendiri masih duduk di kelas 3 SMP dan adikku bahkan masih ada yang belum sekolah.
Mereka juga sudah tahu malu, pastilah mereka akan jadi bahan olok-olokan di kampung, kawan bermain, dan kawan sekolah. Malu yang harus kami tanggung. Setiap pagi aku pergi ke sekolah melewati rumah-rumah warga, aku selalu mendapatkan tatapan warga kampung yang melihatku dengan sinis; matanya tampak mengejek, seakan pesimis dengan masa depan ku; jijik, seakan aku benar benar remaja yang terbuang di kampung.
Syukurlah saat itu kelakuanku yang tak buruk, yang tak pernah berbuat onar, tak pernah mencuri, menjadi obat penawar bagi mereka untuk tidak begitu hina memandang aku dan adik-adikku.
Situasi ini harus kami tanggung bersama-sama dalam waktu yang lama, bahkan kepindahan ibu dan ayahku dari kampung sebelumnya juga disebabkan masalah yang dengan warga kampung sebelumnya. Iya, tetap saja karena “utang” ibuku. Itulah yang kudengar dari ayahku saat aku dijemput dari rumah oppungku dan mengajakku kembali, meminta kembali kepada oppungku, agar aku kembali tinggal bersama ibu dan ayahku.
Namun, permasalahan yang sama terulang kembali di kampung gang Aman yang kami tinggali, bahkan lebih parah.
Setiap pulang sekolah, ingin rasanya bergabung bersama kawan-kawan sekampung, bermain dengan teman sebaya, tapi terkadang minder itu datang, malu nanti pasti akan diolok-olok. Begitulah yang aku lihat saat adik-adikku bermain bersama kawan sebaya mereka di kampung.
Mereka juga sering bercerita padaku, bagaimana mereka juga sudah terkenal di sekolah sebagai anak “parutang” (tukang utang). Karenanya, aku lebih sering berdiam diri di rumah atau pulang sore menjelang magrib. Ya, aku selalu di sekolah, bermain tenis meja, namun sesekali menjelang magrib aku duduk di warung depan rumahku, warung seorang veteran militer yang cukup menyayangi keluarga kami. Tempat ibuku biasa berutang sesekali untuk dapur.
Nenek dan kakek veteran itu tak bisa kulupakan jasanya, merekalah yang selalu menjadi tempat pengaduan ibuku, keluh-kesah ibuku dia curahkan kepada mereka. Hanya mereka yang selalu menampung kesedihanku, airmata ibuku, kegamangan ibuku, tak berdayanya ibuku.
Hingga sampai pada malam itu, pukul satu, ayahku membangunkan aku. Lalu ayahku menggiringku ke teras yang lebarnya hanya 2 meter kali 2 meter. Aku masih binggung kenapa ayahku membangunkan aku sepagi itu. Mulai berkecamuk di benakku dan berpikir kemungkinan terburuk, apakah kami akan lari pagi itu, menghindari para rentenir, para debt collector, apakah kami akan pindah rumah dini hari itu juga. Entahlah, tak bisa kupikirkan, tak bisa kubayangkan betapa gamangnya aku pada saat itu.
Sebenarnya hatiku sudah menjerit, menangis, memohon ampun pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, apalagi masalah yang harus kami hadapi saat ini, apalagi yang harus kutanggung ini, ingin rasanya lari dari kenyataan yang aku lewati, kepahitan yang aku kecap saat itu, ingin menjerit rasanya, ingin menolak rasanya, entahlah..
Setelah menutup pintu kembali, ayahku menarikku ke depan teras tepatnya di pinggir jalan. Ayahku mengeluarkan selembar kertas, akupun mulai bingung, kira-kira lembaran apakah itu, apakah catatan hutang kami yang baru. Aku mulai berspekulasi terburuk, apa mungkin itu juga seperti peringtan terakhir untuk keluarga kami. Ahh, ketir rasanya.
Tak sanggup aku lagi menduga-duga, aku memillih diam dan menunggu ayahku membuka lipatan kertas itu serta memberikannya padaku. Ayahku menyuruh aku membacanya dalam hati, agar adik-adikku tidak terusik tidurnya. Ayahku sudah membaca surat itu sebelumnya.
Beginilah isi surat sederhana itu.
*
Pak Dom,
Aku ngaku salah, minta maaf aku. Ngeri kali kurasa perasaanku kek gini, kau usir aku dari rumah, kau pisahkan aku dari anak anak. Si Lisa masih kecil, siapa yang rawat dia.
Pak Dom,
Kuakuinya aku yang salah, tapi memang tak cukup laginya gajimu kubagi-bagi, kalau dah habis gaji yang kau kasih samaku, aku takut minta lagi samamu, gak tega aku, kau pun kulihat sudah capek kali yang kerja itu. Makanya sering aku minjam uang diam-diam, tanpa kukasih tahu samamu duluan, karena takut aku. Kuakuinya salah aku di situ.
Pak Dom,
Selama sebulan aku di rumah mamak, pahit kalinya kurasa. Gak kulihat lagi orang si Bismar. Bukan karena jauhnya. Gak kulihat lagi si Lisa, masih kecil kali dia harus kutinggal. Di sinipun aku kerja sedikit, aku ikut ngupas bawang, kukumpul–kumpul uangnya. Maksudku, ijinkanlah aku pulang lagi ke rumah. Aku pun yang bayari utang itu, dari gaji mengupas bawang, nanti ku kumpulkan untuk bayar utang itu. Gak kuganggu pun gajimu. Memang sedikitnya gajiku, lama baru bisa kubayar semua utang utang itu.
Tapi pikirkanlah. Ingatlah, pak Dom, anak-anak kita masih kecil, siapalah yang mengurus orang itu. Sekolah masih semua, siapa yang cuci baju sekolahnya, biarlah aku pulang, aku pun malu di sini.
Apalagi kan pak Dom, aku sudah muallaf, sudah masuk Islam. Sudah kutinggalkan agamaku, masa aku harus pulang lagi ke rumah mamak. Kita dulu kawin lari karena lain agama, sekarang apalah lagi mau kubilang sama orang inang-amang, malu kali aku di sini, pak Dom.
Gak usahlah balas surat ini pak Dom. Kalau memang kau izinkan aku pulang, suruhlah si Bismar jemput aku, entah kapan pun. Janji pun aku gak kuulangi pun lagi kek gini,
Malu aku di sini, pak Dom. Yang pahitan, malu kali kurasa, pikirkanlah ya, pak Dom.
**
Mendesir jantungku, menetes air mataku, bergetar jari jariku memegang kertas dan melipat kertas itu. Aku imajinasikan dengan pikiranku sendiri, begitu berat, begitu besar malu yang harus ditanggung ibuku, begitu berat beban pikirannya. Kuusap air mataku yang kusadari menetes, kukembalikan kertas itu pada ayahku ,
Lalu ayahku bertanya, “Gimana menurutmu, Bis? kita jemputnya mama? Kau lah kutanya.”
Dengan spontan aku langsung menjawab, “Biarlah kujemput mama sekarang, pak.” ayahku pun tak menjawab lagi, hanya melipat kertas dan masuk ke rumah, membiarkanku pergi berjalan kaki.
Dini hari itu, sekitar pukul satu aku berjalan kaki menuju rumah oppungku, tempat aku dibesarkan. Tak jauh, hanya berjarak sekitar 1 kilometer, hanya beda 3 gang dari rumah kami.
Namun selama dalam perjalanan ke sana, jauh rasanya. Sepanjang jalan air mataku menetes, tak berhenti aku menggerutu dalam hati. “Berat, pedih, ketirnya hidup kami,” batinku. Aku tak lagi menghiraukan jalanan yang aku lewati yang sebenarnya merupakan jalan “angker”, di mana beberapa kali terjadi pembunuhan dan perampokan.
Namun sedikitpun aku tak kepikiran ke situ lagi. Aku tak menghiraukan itu semua, yang ada dalam benakku hanya rupa wajah ibuku yang sederhana, yang sudah lama tak kulihat, yang menanggung malu, aku ingin sampai cepat sekali ke rumah oppungku, menjemput ibuku, membawa ibuku pulang..
Sesampai di rumah oppungku, kulihat rumah oppungku sudah gelap, lampu sudah dipadamkan. Tampaknya semua penghuni rumah oppung sudah terlelap. Tak ada tanda manusia yang masih terjaga, yang ada hanya suara dengkuran, entah dengkuran siapa. Aku memberanikan diri mengetuk pintu yang sudah lama tak kuketuk, pintu yang dulu saat aku masih duduk di Sekolah Dasar aku ketuk setiap harinya lantaran kemalaman pulang menonton dari rumah kawan.
“Tok..tok..! Pung, pung,”seruku.
Aku tak mengucapan assalamualaikum, karena oppungku bukanlah seorang muslim. Kami berbeda agama. Tapi aku tau betul kalau oppungku tak pernah melihat aku sebagai cucu yang beda, dia tidak bedakan aku dengan cucunya yang seagama dengannya.
Selang 3 menit aku tiba di sana dan terus mengetuk pintu, akhirnya oppungku terjaga dan terdengar suara bertanya.
“Siapa itu, tunggu sebentar.”
“Aku, pung. Bismar,” jawabku.
Oppungku menyalakan lamput tengah rumah lalu membukakan pintu. Dengan setengah sadar oppungku melihatku, seraya bertanya, “Bah, kaunya itu Bismar. Ngapain kau malam-malam ke sini,” tanyanya dengan logat Batak nya yang sangat kental.
Mendengar ada percakapan di depan, ibu dan oppung boru ku juga keluar dari kamarnya.
“Bah, kenapa, Bis? Yang ada apanya, kok jam segini ke sini, malam-malam kali gini, siapa kawanmu?” tanya ibuku ke aku.
“Masuklah kau. Duduklah. Ada apa sebenarnya, bilanglah,” tanya oppung boruku.
Aku pun bercerita kalau aku diminta ayahku untuk menjemput ibuku agar kembali ke rumah.
Oppungku nampak tak begitu setuju, masih terlukis di wajahnya bahwa sebenarnya oppungku tak begitu setuju, masih terlukis di wajahnya tak begitu terima dengan tindakan ayahku yang mengusir ibuku dari rumah.
Namun dengan pertimbangan yang matang, akhirnya oppungku dengan berat melepas ibuku bersamaku untuk pulang ke rumah. Ibuku pun bergegas, menyiapkan pakaiannya yang sempat dia bawa ketika meninggalkan rumah kami..
Sepanjang jalan menuju rumah, aku dan ibuku tak banyak bicara. Aku dan ibuku memang tak sering bicara dari hati ke hati, kami tak pernah ada momen saling curhat, ada kekakuan. Namun aku tahu ibuku sangat ingin memelukku, menangis di hadapanku, berkeluh-kesah tentang keperihan yang sudah ia lewati, tentang perjuangan yang sudah dia jalani namun hampir saja terasa hambar.
Dan aku pun sangat yakin ibuku tahu kalau pada malam itu hatiku menangis dan meringis melihat ibuku yang harus jadi tokoh utama cerita kami ini, yang harus menanggung beratnya hidup kami. Peliknya, rumitnya kami yang miskin harta, miskin benda, miskin pula iman, miskin pula kerukunan. Aku yakin ibuku tahu, bisa mendengar hatiku, bahwa tangan yang lemah ini ingin terus menggemgam tangannya, memapahnya, menguatkan hatinya, berjanji padanya.
Ibu, aku tak mau lagi ada kejadian serupa, kejadian yang buat ibu menangis, terusir dari rumah sendiri. Aku tak mau lagi ibu menuliskan surat untuk ayah, surat yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidupku, bahkan sebaitpun. Surat sederhana dari tangan yang berat menggemgam malu. Surat yang bukan dari perempuan yang begitu paham seni. Surat lugas tanpa kiasan yang melukiskan betapa beratnya menjadi ibuku, beratnya menjadi ibu adik-adiku.
Ibu, anakmu ini masih lemah, masih kecil, masih beranjak remaja. Besarkan aku dengan kasih sayangmu, kuatkan aku dengan harapanmu, sukseskan aku dengan mimpimu, jaga aku dengan doamu.
Anakmu yang lemah ini akan menjadi kuat, anakmu yang sakit ini akan jadi sehat, anakmu yang rapuh ini akan menjadi gagah, anakmu yang pengeceut ini akan jadi pemberani, anakmu yang pemalu ini akan gagah melangkah.
Aku lah anakmu yang akan mendongkakkan kepala ,mengangkat dagu, memapahmu, membiarkanmu selalu tersenyum. Engkau hanya akan mengeluarkan air matamu karena bahagia, bukan karena tak berdaya serta bangga seraya berkata, “Itu lah anakku yang kubesarkan dengan segala upaya, dengan segenap ketulusan, dengan sepenuh jiwaku, dengan tetesan keringat yang bercampur tetesan air mataku yang murni, dengan rasa maluku yang harus berhutang kemana-mana demi melihat anakku berangkat sekolah.”
Iya, yang kami mau dan tahu saat itu, anak-anak mu ini, berangkat sekolah dengan sarapan, dengan ongkos pulang, dan uang jajan seadanya, setelah kami pergi baru kau menangis, berfikir kembali mencari uang, mencari utang, gimana agar saat kami pulang sekolah nanti ada yang bisa kami lahap untuk makan siang.
Aku mau kau panjang umur, ibu. Aku mau Tuhan mendengar apa yang aku doakan, bahwa Tuhan itu adil. Jika air mata ibu keluar hari ini untuk sebuah kepedihan, kepahitan, maka Tuhan juga pasti beri kesempatan kau hidup untuk air mata bahagiamu, airmata banggamu. Bahwa Allah pasti tuntun aku dan beri kesuksesanku untuk ibu, untuk air mata bahagia itu, untuk melukis senyum tulus nan sederhana itu.
Dan jika aku belum sukses juga, maka aku yakin Tuhan pasti beri ibu umur berapapun lamanya untuk menunggu kesuksesan itu. Itulah janjiku malam itu.
Penulis merupakan dosen di Universitas Simalungun dan UISU Kota Pematangsiantar.
Editor: Red/Hen
Ceritanya persis dengan cerita kedua orangtuaku juga.
Dan dari rumitnya kehidupan mulai dari agama,materi membuat diri bahwa dunia benar2 pahit tapi dengan pahitnya bahkan bisa membuat kehidupan kedepannya berbuah manis
#Mantap pak
Sukses selalu. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT