PIRAMIDA.ID- Hari Kusta Internasional selalu diperingati pada pekan terakhir Januari setiap tahunnya. Di Indonesia, penyakit ini dulu dianggap kutukan. Upaya edukasi dan pengobatan terus dilakukan, tetapi hingga saat ini masih banyak tantangan harus diselesaikan.
Paulus Manek tidak pernah membayangkan harus berhenti sekolah pada 1994. Ada yang berubah pada tubuh kecilnya, dan membuat dia malu melanjutkan ke SMA. Sebenarnya dia mengalami kusta, tapi karena pemahaman yang keliru, masyarakat di sekitar tempat tinggal Manek menganggap apa yang terjadi sebagai kutukan.
“Kemungkinan saya mengalami saat saya bersekolah tingkat SMP, mungkin karena tiap hari bertemu dengan orang yang tidak pernah berobat tetapi tidak kelihatan. Sehingga waktu saya selesai sekolah itu langsung pada level yang cukup memprihatinkan,” papar Manek.
Bukan hanya Manek, di sekitar Kupang, Nusa Tenggara Timur pertengahan 90-an itu ada cukup banyak penderita kusta. Ketika itu mereka belum paham, bahwa kusta menular melalui kontak dekat dalam jangka panjang. Dari penelitian, pada setiap 100 orang yang berinteraksi dengan penderita kusta, 95 orang mampu melawan penularan dengan daya tahan tubuh yang baik, 3 orang tertular namun bisa sembuh sendiri, dan 2 orang tertular akan membutuhkan pengobatan intensif.
Bangkit dari Stigma
Butuh waktu enam tahun bagi Paulus Manek untuk bangkit dari rasa malu akibat diskriminasi di tengah masyarakat. Sebuah lembaga bernama The Leprosy Mission International, mendampingi Manek untuk sembuh.
Pada tahun 2000, Manek memutuskan kembali bersekolah di tingkat SMA. Setelah selesai, seorang pastor di Kupang membiayai kuliahnya sampai lulus. Karena perjalanan hidupnya itulah, Manek kini mengabdikan diri sebagai Ketua Umum Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) yang memiliki 3.816 anggota di NTT, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Organisasi ini aktif melakukan edukasi bagi masyarakat dan pendampingan bagi penderita kusta, termasuk mendorong mereka berobat secara rutin.
“Untuk saat ini, obat kusta tersedia gratis di setiap Puskesmas, juga ada bimbingan dan konseling. Indonesia ini masih ada pada posisi ketiga di dunia, setelah India dan Brazil. Untuk menekannya, paling penting adalah pencegahan,” tambah Manek.
Dokter di Puskesmas memiliki peran penting, kata Manek, karena merekalah yang berpotensi besar menemukan kasus kusta baru. pemeriksaan massal di sekitar lokasi kasus baru ini, mampu menekan potensi penularan.
“Diskriminasi terbesar adalah setelah teman-teman sampai pada level tangannya kiting, kakinya puntung, jarinya puntung. Sehingga saran saya, upaya pemerintah pada pencegahan ditingkatkan lagi,” ujarnya.
Dipecat dari PNS
Diskriminasi pula yang memupus harapan Muh Amin Rafi menjadi pegawai negeri sipil di Sulawesi Selatan.
“Saya sendiri dulu CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) yang dipecat tahun 1985 karena kusta. Saya sudah bekerja 3 tahun, belum prajabatan pas mau menjadi pegawai tetap, lalu dipecat,” kenang Amin.
Muh Amin Rafi adalah ketua Persatuan Kusta Perjuangan Sulawesi Selatan, di Makassar. Organisasi itu sendiri, berdiri tahun 2018 juga karena tindak diskriminasi. Ketika itu, layanan kesehatan menerapkan sistem rujukan yang menyulitkan bagi orang dengan kusta. Mereka menggelar demo untuk menuntut perbaikan sistem dan berhasil.
Gerakan itu kemudian dihidupkan sampai sekarang, khusus untuk melakukan advokasi hak-hak orang kusta. Salah satunya, belum lama ini ketika pekerja kusta diberhentikan oleh penyedia jasa layanan kebersihan, PKPSS memperjuangkan hak mereka untuk tetap bekerja.
Amin sendiri bekerja sebagai penjaga parkir di Makassar. Dia tinggal di kompleks orang dengan kusta Jongaya, Jalan Dangko. Menurut sejarah, kompleks ini sudah berdiri sejak tahun 1936 dan kini ada sekitar 400 orang tinggal disana. Orang dengan kusta merasa nyaman tinggal bersama disatu kawasan, karena merasa tidak menerima stigma dari masyarakat.
“Mereka kan terisolasi dari keluarga, termasuk saya ini, akhirnya kita masuk ke kompleks itu. Lebih enjoy rasanya, seperti punya surga,”lanjut Amin.
Amin sendiri sudah sembuh dari kusta dan menikah selama 30 tahun, dengan enam anak dan tujuh cucu. Baik istri, anak maupun cucunya tidak ada yang tertular kusta. Seseorang yang sudah sembuh memang tidak beresiko menularkan.
“Memang dia penyakit menular. Saya sudah lama sembuh, cuma memang dampaknya karena meninggalkan cacat, jadi persepsi orang seolah kami tidak pernah sembuh,” papar Amin.
Kemensos Dorong Kemandirian
Di Dusun Sumber Glagah, Desa Tanjung Kenongo, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur juga ada kawasan khusus bagi orang dengan kusta. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dan telah selesai menjalani perawatan di RS khusus kusta, Sumber Glagah. Menteri Sosial Tri Rismaharini awal Januari lalu sempat berkunjung kesana.
Dalam rilis media yang dibagikan kementerian, Menteri Sosial mendorong orang dengan kusta yang sudah sembuh untuk kembali ke daerah asal dan menjalani kehidupan mandiri.
“Kalau bapak dan ibu sudah sembuh, lebih baik mandiri dan keluar dari sini, sehingga tidak terbebani. Kawasan Dusun Sumber Glagah ini kan untuk yang sakit, sebagai shelter setelah berobat di rumah sakit. Kalau yang sakit tinggal di luar, khawatirnya masyarakat tak menerima, disini kan komunitas jadi bisa saling memahami,” kata Risma.
Orang dengan kusta mulai tinggal di Sumber Glagah sejak sekitar tahun 1982. Kementerian Sosial menyebut, saat ini ada 199 Kepala Keluarga, dengan sekitar 25 persennya masih menderita kusta. Kemensos menjanjikan alat bantu seperti kaki palsu dan kursi roda bagi mereka yang membutuhkan. Kepada Risma, mereka mengaku masih belum terbebas dari stigma yang menyebabkan sulit berinteraksi dengan masyarakat.
Menurut Kementerian Kesehatan, Indonesia mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000 dengan prevalensi kurang dari satu per sepuluh ribu penduduk. Namun, ada sepuluh provinsi yang belum mampu mencapai posisi ini. Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat adalah sejumlah contohnya. Secara total, jumlah orang dengan kusta di Indonesia saat ini ada di kisaran 15 ribu hingga 17 ribu.(*)
VOA Indonesia