PIRAMIDA.ID- Dalam satu dekade terakhir, pencarian model bisnis merupakan pekerjaan rumah terbesar bagi pengelola industri media, tak terkecuali di Indonesia.
Iklan merupakan sumber pendapatan yang ratusan tahun membiayai perusahaan pers sebelum perkembangan teknologi menghantam sendi utama penopang industri media.
Salah satunya adalah ketika media sosial membuat peran media arus utama sebagai penyampai informasi dan entitas bisnis tergerus. Tak pelak, perusahaan lebih tertarik memasang iklan di akun-akun sosial media yang mempunyai pengikut besar dari pada memasang iklan di media massa. Penyebab utamanya adalah jumlah pengikut mereka yang tak jarang melampaui angka yang dimiliki akun sosial media yang dikelola perusahaan-perusahaan media arus utama.
Untuk tetap bertahan, berbagai media daring akhirnya mencoba mengembangkan berbagai jenis model bisnis yang beragam. Media mulai dari memaksimalkan iklan digital seperti banyak yang dilakukan media digital dengan bantuan aplikasi yang disediakan mesin pencari, menerapkan langganan berbayar seperti Katadata dan Kumparan, hingga mengumpulkan sumbangan publik seperti media dari Inggris The Guardian.
Namun, di tengah tantangan yang dihadapi media di tanah air saat ini, penulis yang meneliti praktik jurnalisme berpendapat bahwa model langganan berbayar merupakan opsi yang saat ini paling realistis bagi media daring. Tak hanya untuk menyelamatkan perusahaan pers, tapi lebih penting lagi untuk menjaga kelangsungan jurnalisme yang berkualitas demi pencerahan publik.
Menjaga kualitas
Sejumlah survei yang digelar dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan sistem ini cukup memberikan harapan bagi para pengelola media terkait model langganan berbayar.
Salah satunya, survei Reuters Institute, lembaga yang didedikasikan kantor berita Reuters untuk penelitian dan pengembangan jurnalisme, yang dipublikasikan dalam Digital News Report 2020, bertajuk “How and Why People are Paying for Online News” (Bagaimana dan Mengapa Orang Membayar Berita Daring?).
Dari 4.000 responden di Amerika Serikat dan Inggris, 20% di antaranya pelanggan berbayar media online. Padahal, mengkonversi 5% pengunjung menjadi pelanggan berbayar merupakan sebuah pencapaian luar biasa.
Laporan Reuters tersebut juga menyebutkan, peningkatan jumlah pelanggan berbayar terjadi sejak Donald Trump disumpah sebagai Presiden Amerika Serikat, dan kian maraknya sebaran hoaks di negara itu.
Dari survei tersebut, alasan utama berkaitan dengan motivasi pembaca untuk berkontribusi menjaga kualitas jurnalisme yang mereka dapatkan dengan cara membayar.
Hampir 65% responden di Amerika Serikat dan Inggris mengatakan mereka membayar untuk mendapatkan produk jurnalistik yang berkualitas–yang tidak tersedia di laman berita gratis.
Lebih dari setengah responden di Amerika Serikat (52%) bahkan mengatakan bahwa alasan mereka karena ingin mempertahankan kualitas jurnalisme.
Beranjak dari temuan survei tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem langganan berbayar dapat menjadi pembeda antara konten jurnalistik yang berkualitas dan yang tidak di dunia maya.
Konteks Indonesia
Meski survei dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris, saya melihat potensi model langganan berbayar untuk kembali digalakkan di Indonesia.
Betul bahwa penerapan model bisnis ini menghadapi tantangan cukup besar. Banyak media yang telah berusaha menerapkannya tapi tidak berhasil.
Contohnya The Jakarta Post yang tahun lalu akhirnya harus melepas sebagian besar wartawannya karena bisnisnya turun.
Tantangan terbesar dari model langganan berbayar adalah kepercayaan masyarakat bahwa informasi yang mereka dapatkan di internet itu gratis karena sejak awal kemunculannya, media online di Indonesia tidak memungut bayaran.
Namun apabila media berhasil membangun kesadaran bahwa informasi berkualitas hanya bisa diperoleh dengan upaya sungguh-sungguh para pekerja media, saya percaya bahwa model bisnis ini bisa berjalan lagi.
Seperti Amerika Serikat, Indonesia juga menghadapi masifnya penyebaran hoaks dan disinformasi. Untuk menghantarkan informasi yang berkualitas, para pekerja pers mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa, sehingga perlu dihargai dengan layak.
Dua prasyarat utama untuk menerapkan sistem berbayar ini adalah kepercayaan dan kualitas.
Oleh sebab itu, saya merasa media yang sudah memiliki reputasi tinggi seperti Kompas, Tempo, dan Republika harus menjadi yang terdepan untuk membangun kultur berlangganan.
Fanatisme berbayar
Media-media besar memiliki lebih banyak pembaca loyal dan fanatik, yang relatif lebih mudah dikonversi menjadi pelanggan berbayar.
Di samping itu, dengan tradisi jurnalistik yang panjang, media-media tersebut memiliki sumber daya yang lebih memadai untuk menghasilkan berita-berita berkualitas, seperti laporan investigasi.
Laporan-laporan mendalam dan investigatif, yang mengungkap skandal dalam pengelolaan dana publik misalnya, menggugah rasa ingin tahu publik, sehingga lebih menjual dibanding laporan yang hanya berdasarkan wawancara semata.
Tentu bukan berarti media kecil dan lokal tidak bisa menerapkan sistem berlanggganan.
Laporan Poynter, lembaga non-profit riset dan pendidikan jurnalistik terkemuka di Amerika Serikat, pada penghujung tahun lalu, menyebutkan peningkatan pelanggan media lokal di negeri itu melampaui 50%.
Selain perubahan gaya hidup akibat pandemi COVID-19, yang kian mempercepat digitalisasi, menurut Poynter, media lokal memiliki kelebihan dalam personalisasi konten sesuai dengan kebutuhan audiens. Media lokal dapat menyoroti isu-isu keseharian, yang bersentuhan langsung dengan kepentingan pembaca mereka.
Jika media telah telah melakukan berbagai inisiatif, maka bola berada di tangan publik. Perlu dipahami bahwa problem pada industri media tidak semata mengancam jurnalisme dan mata pencaharian para pekerjanya. Tapi lebih jauh, berdampak pada kualitas kehidupan demokrasi.
Demokrasi yang sehat memerlukan media dan jurnalis yang kritis dan independen. Merekalah yang mengawasi tingkah polah para pemegang kekuasaan dan korporasi besar. Maka, menjadi pelanggan berbayar adalah salah satu bentuk kontribusi untuk demokrasi yang sehat.(*)
The Conversation